Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Karya

Menelisik Jejak Islam di Mezquita Cordoba

Menelisik Jejak Islam di Mezquita Cordoba

Karya, Travelling
Oh, holy place of Cordoba! From passion, your presence Passion wholly eternal In which there’s no going and coming … Sacred for lovers of art, you are the glory of faith, You have made Andalusia pure as a holy land[1]   Kedua mata saya mengembun tak lama setelah memasuki La Catedral De Cordoba alias Mezquita Cordoba alias Masjid Cordoba. Beragam rasa mengaduk. Rasa syukur karena bisa menjejak tempat yang sejak saya kecil telah begitu lekat di pikiran dengan segala keagungan dan rangkaian kisah yang ada di baliknya. Takjub dengan ratusan pilar-pilar yang masih berdiri kokoh, khas dengan garis-garis merah di tiap lengkungannya. Dan, ini yang mungkin yang paling membuat batin saya tercekat hingga kemudian meneteskan air mata, rasa sedih bahwa saya tak bisa shalat di “masjid” ini. Bahw...
Sastra Islam dan FLP

Sastra Islam dan FLP

Karya, Opini
Apakah Sastra Islam benar-benar ada? Kalau ada seperti apa batasannya? Apakah sama Sastra Islam dengan Sastra Islami? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih menjadi polemik dalam dunia kesusasteraan Indonesia Selama ini istilah Sastra Islam masih disebut secara “malu-malu” dan terselubung oleh para sastrawan Islam. Taufik Ismail menyebut Sastra Dzikir, Kuntowijoyo memakai istilah Sastra Profetik, Danarto menggunakan istilah Sastra Pencerahan, M. Fodoli Zaini  menyebutnya sebagai Sastra yang terlibat dengan dunia dalam, sementara Sutardji Caloum Bachri memberi istilah Sastra Transenden dan Abdul Hadi W.M. mengistilahkan Sastra Sufistik, untuk karya-karya mereka yang berakar dari wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Namun selain Abdul Hadi W.M. tak satupun sastrawan di atas ya...
Tantangan Penulis Muslim

Tantangan Penulis Muslim

Opini, Senandika
SAAT INI, dunia Melayu—yang termasuk dalam benua Asia—tengah bangkit. Kebangkitan ini terjadi dalam banyak hal, tidak hanya masalah ekonomi, tapi juga kebudayaan. Kishore Mahbubani, pemikir kebijakan publik dari Singapura, dalam bukunya The New Asian Hemisphere, menulis, “Dulu, bangkitnya Barat mengubah dunia. Bangkitnya Asia sekarang akan membawa perubahan signifikan yang serupa.” Dalam buku tersebut, Mahbubani mengutip sebuah narasi dari Larry Summers yang menulis, “Kebangkitan Asia, berikut semua ikutannya akan menjadi kisah-kisah sukses dalam buku-buku sejarah yang akan ditulis 300 tahun dari sekarang, dengan Perang Dingin dan bangkitnya Islam sebagai kisah-kisah pengiringnya.” Kata ‘bangkitnya Islam’ yang disinyalir Larry Summers itu tidak bisa dilepaskan dari bangkitnya sastra dan...
Nu-Ra-Ni

Nu-Ra-Ni

Cerpen, Karya
Lelaki itu termangu. Lama. Dia tahu teman-temannya pasti akan mencibir dia habis-habisan jika hari ini dia memutuskan untuk tidak ikut. Cibiran itu mungkin akan lebih dalam jika mereka tahu alasannya. Kini sudah dihabiskannya dua cangkir kopi meski hari masih terlalu pagi untuk ngopi. Suasana senyap. Dingin. Dia sudah di ruangannya, sementara teman-temannya mungkin masih di jalan atau masih melingkar dibalik selimut, atau memeluk anak istri. Diliriknya jam, empat jam lagi. Kini dia melihat jarum detik yang berdetak maju. Mendengarkan suara ketukan yang entah kenpa mendadak jadi sangat keras.  Hidup itu bergeser Japri! Dia memaki dirinya sendiri. Lalu merenung-renung tak jelas. Setengah jam yang lalu masih dirasakannya kopi panas dan pisang goreng Bu Leha, masih ditepuknya bahu Kang Samron...
Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 4 )

Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 4 )

Karya, Kritik Sastra
Danarto (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940) meyakini bahwa sastra merupakan alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. Salah satu karya sastranya adalah cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya” yang disiarkan pertama kali di Horison, Juni 1988, lalu dimuat dalam buku kumpulan cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Menurut Abdul Hadi WM, “Lempengan-lempengan Cahaya” berhasil memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental yang diidamkan setiap penulis sufistik. “Lempengan-lempengan Cahaya” memilih tempat di Palestina ketika pasukan Israel bentrok dengan orang-orang Palestina yang melancarkan intifadah. Cerpen ini dibuka dengan percakapan antara Surah al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surah Ali Imran ayat 18-19 sebelum ketiganya diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan kemudian ter...
Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 3)

Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 3)

Karya, Kritik Sastra
Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Renggat, Riau, 24 Juni 1941) dalam khazanah kesusastraan Indonesia barangkali lebih terkenal dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan pada tahun 1970-an. Menurutnya, “Kata (dalam puisi) harus dibebaskan dari beban pengertian.” Tapi dalam perjalanan kepenyairannya ia terus melakukan pengembaraan dan pencarian spiritual. Tidak heran terdapat juga nada sufistik atau mistikal dalam sajak-sajaknya yang awal (terhimpun dalam buku O dan Amuk) yang cenderung nihilistik. Menurut Abdul Hadi WM, gejala itu semacam kerinduan penyair akan sastra transendental. Dalam kumpulan puisinya ketiga, Kapak, kecenderungan sufistik semakin jelas. Kapak secara umum merupakan kumpulan puisi berisi renungan akan maut dan kefanaan manusia. Renungan yang mendalam akan...
Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 2)

Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 2)

Karya, Kritik Sastra
Menyimak Kuntowijoyo kita mendapatkan bahwa untuk sebuah sastra transendental yang terpenting ialah makna, bukan semata-mata bentuk. Oleh karenanya ia lebih bersifat abstrak, bukan konkret; spiritual, bukan empiris; dan yang di dalam, bukan yang di permukaan. Dalam esai “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental” Kuntowijoyo menyatakan pembebasan pertama yang harus dilakukan oleh pengarang, berhubungan dengan sastra, adalah menyangkut bahan penulisan. Para pengarang selama ini, menurut dia, selalu terikat dan tergantung pada aktualitas. Keterikatan dan ketergantungan semacam ini harus dilepaskan agar seorang pengarang bisa mendapatkan sebuah gagasan murni tentang dunia dan manusia. Dengan cara demikian angan-angan dan pikiran kita sanggup mencipta sebuah “dunia tersendiri”...
Melodrama Hamka dalam Raun Sebalik

Melodrama Hamka dalam Raun Sebalik

Karya, Resensi
Rinai Kabut Singgalang (RKS) karya Muhammad Subhan terbit pada Januari 2011 me­nye­marakkan dunia sastra Indonesia. Novel ini seperti gabungan antara novel semi­biografis dan novel islami, hanya saja menggunakan gaya bahasa klasik, seperti karya sastra Indonesia paruh pertama abad 20. Novel ini membawa ingatan saya pada gaya tutur roman Siti Nurbaya atau pun Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck; gaya bahasa yang men­dayu-dayu seperti puisi dan cenderung menggunakan kali­mat inversi—predikat menda­hului subjek. Muhammad Subhan secara tidak langsung telah memberi sinyal bahwa novelnya ini memang sangat terinpirasi—atau terobsesi?—dengan karya-karya Buya Hamka. Di awal buku, kita disuguhkan kutipan buku Hamka, “Seni tidak ada kalau cinta tidak ada. Apa sebabnya ada keindahan? Sebabnya ialah kare...

Pin It on Pinterest