Jumat, April 19Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti


Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 4 )

Sumber: agung-on-sastra.blogspot.com
Sumber: agung-on-sastra.blogspot.com

Danarto (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940) meyakini bahwa sastra merupakan alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. Salah satu karya sastranya adalah cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya” yang disiarkan pertama kali di Horison, Juni 1988, lalu dimuat dalam buku kumpulan cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Menurut Abdul Hadi WM, “Lempengan-lempengan Cahaya” berhasil memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental yang diidamkan setiap penulis sufistik.

“Lempengan-lempengan Cahaya” memilih tempat di Palestina ketika pasukan Israel bentrok dengan orang-orang Palestina yang melancarkan intifadah. Cerpen ini dibuka dengan percakapan antara Surah al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surah Ali Imran ayat 18-19 sebelum ketiganya diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan kemudian tersebar ke seluruh dunia. Kias-kias Danarto sangat indah dalam cerpen ini.

Danarto membangun suasana permulaan ceritanya sebagaimana lqbal memulai hal yang sama di dalam Javid Namah atau seperti Fariduddin Attar memulai Musyawarah Burung. Suasananya mistis dan memerlihatkan bahwa pengarangnya piawai melukiskan kesadaran kosmik. Setelah diterima oleh Nabi Muhammad, ayat-ayat itu kemudian dikenal luas oleh umat Islam. Ayat-ayat itu meluncur terus sebagai lempengan-lempengan cahaya yang tak terhitung jumlahnya. Di antaranya ribuan meluncur pula di wilayah Palestina yang diduduki tentara Israel. Ayat-ayat itu disimpan dalam kalbu putra-putra Palestina dan menjadi bagian dari darah dagingnya. Karena menyimpan ayat-ayat itulah orang-orang Palestina dikejar dan dibantai secara keji oleh tentara Israel. Termasuk gadis kecil Fatimah. Danarto ingin melukiskan bahwa keyakinan yang mendalam orang-orang Palestina terhadap ajaran Al-Quran merupakan suatu ancaman bagi kaum Zionis Israel.

Dalam esainya “Proses, Proses, Proses, Proses” (terangkum dalam buku Duapuluh Sastrawan Bicara) Danarto mengatakan, “Daerah penciptaan itu netral. Seperti ruang kosong di mana kita bisa mengisinya sebebas-bebasnya. Dengan apa saja. Ruang kosong itu murni.” Katanya lagi, “Dan segala-galanya ternyata suatu proses. Jagat kecil, tubuh kita berproses terus, menembus ruang dan waktu. Mentransformasikan dirinya menjadi apa saja. Itulah sebabnya bila kita bercermin makin lama makin tampak betapa tidak adanya identitas itu. Segalanya kehilangan makna. Segala makin abstrak. Segalanya tak lebih dari onggokan daging. Lenyap. Tak ada. Hanya Allah sajalah yang ada. Mahasuci Allah dari segala bentuk.”

Dalam sebuah wawancara Abdul Hadi WM terhadap Danarto (“Angkatan 70 Lahir dari Sumber Itu Sendiri”,  Berita Buana, 14 Agustus 1984), Danarto berkata bahwa sastra merupakan ikhtiar pencerahan. Kata-kata hanya sarana bagi penglihatan batinnya. Dengan kata-kata dia harus mampu menjadikan yang abstrak berdaging dan “yang tersirat” menyebabkan pencerahan. Ini bisa dicapai dengan kekuatan kesadaran “bumi yang berenang di langit” yang merupakan kebalikan dari “bumi yang menggumuli kebumiannya”.

Menurut Danarto pula, terpengaruh Timur sama jeleknya dengan terpengaruh Barat. Seorang penyair atau pengarang yang benar menulis bukan karena adanya pantun, syair, haiku, seloka, dandanggula, soneta, rubayat, atau sajak bebas dalam sastra modern. Juga bukan karena adanya novel realis, roman, lakon absurd dan lain-lain sebagainya. Seorang pengarang menulis karena memperoleh inspirasi atau ilham, sehingga karya yang lahir bukan cuma berdasar perbandingan dengan karya yang telah ada, melainkan sebagai hasil menjenguk langit atau memeroleh limpahan pencerah batin. Dengan begitu sebuah karya menjadi orisinal.

Menurut Danarto, sebelum mencipta seorang pengarang harus berhubungan langsung dengan Tuhan, suatu hal yang mudah sekali dilakukan dalam peradaban Islam. Terutama melalui shalat, zikir, wirid, tartil, tafakur, uzlat, dan lain-lain. Bagi seorang pengarang kreatif apa yang dijumpainya dalam kebudayaan Timur dan Barat tidak lebih hanya merupakan bahan perbandingan belaka. Dalam kerja penciptaan nyatanya segala yang kita serap dari luar akan lebur dan terkubur oleh keringat kita dan dapat menjelma sesuatu yang baru sama sekali.

***

Sebuah karya sastra tidak lahir begitu saja. Ia tidak muncul dari ruang yang kosong. Karya sastra yang kuat biasanya lahir dari penulis yang pula kuat visi atau pandangan kepengarangannya. Menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya sebenarnya dapat disebut merupakan akibat logis dari wawasan estetika (sastra) Islam. Lebih lanjut bisa dikatakan dalam wawasan tersebut identitas kekaryaan tidak bisa dipisahkan dari integritas kemanusiaan seseorang—termasuk dari integritas kehambaan seseorang di hadapan-Nya. Sebagaimana menurut Abdul Hadi WM, esensi penciptaan karya sastra adalah pencarian dan realisasi diri. Dan sebagai representasi simbolik dari dunia kerohanian, seni (sastra) semestinya mampu menjadi semacam tangga naik menuju pengalaman religius dan transendental. Mengutip Danarto, sastra merupakan alat untuk menerima dan memberikan pencerahan.

Tapi juga karena karya sastra tidak lahir begitu saja, ia memerlukan proses. Dalam esainya “Jelmaan Ruang-Waktu”  (terhimpun dalam bunga rampai Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang) Danarto menulis dengan bersahaja: “Ketika proses duduk di atas segala-galanya, maka ia menjadi dasar pandangan penulisan … Kalau ada tokoh di dalam cerpen saya kelihatan paling benar, maka adalah kebenaran dalam proses … Apakah ada kebenaran selain kebenaran dalam proses? Lalu saya pun merangkai-rangkai kalimat yang mengalir. Deras. Biarlah kalimat-kalimat itu sukar dipegang, sebagaimana proses.” Begitulah, menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya bisa jadi dijalani tidak gampang, tetapi bukan berarti tidak mungkin.

Bandung, 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This