Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Renggat, Riau, 24 Juni 1941) dalam khazanah kesusastraan Indonesia barangkali lebih terkenal dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan pada tahun 1970-an. Menurutnya, “Kata (dalam puisi) harus dibebaskan dari beban pengertian.” Tapi dalam perjalanan kepenyairannya ia terus melakukan pengembaraan dan pencarian spiritual. Tidak heran terdapat juga nada sufistik atau mistikal dalam sajak-sajaknya yang awal (terhimpun dalam buku O dan Amuk) yang cenderung nihilistik. Menurut Abdul Hadi WM, gejala itu semacam kerinduan penyair akan sastra transendental.
Dalam kumpulan puisinya ketiga, Kapak, kecenderungan sufistik semakin jelas. Kapak secara umum merupakan kumpulan puisi berisi renungan akan maut dan kefanaan manusia. Renungan yang mendalam akan maut dan kefanaan inilah yang membawa Sutardji pada kesadaran transendental baru, yaitu kesadaran sufistik.
Dalam sajak-sajaknya terdahulu penyair ini lebih cenderung menyuarakan kegelisahan seorang pencari yang selalu menemui jalan buntu atau kesia-siaan; keberangan seorang pemberontak terhadap setiap bentuk kemapanan, termasuk kemapanan dalam nilai-nilai. Dalam sajak di atas penyair ini mulai menemukan ketenangan dalam kehidupan spiritual atau spiritualitas. Ketenangan batin sebagai pijakan baru bagi seorang penempuh ilmu suluk merupakan suatu babakan penting sebelum tercapainya pencerahan batin.
Sebagai penyair tampak Sutardji bertarung habis-habisan melawan problem paling esensial yang menyebabkan penderitaan manusia modern, yaitu keterasingan manusia dari Tuhan dan dirinya yang hakiki, yaitu diri sebagai makhluk spiritual. Rasa asing ini diperparah oleh kungkungan ego yang ingin menguasai seluruh gerak diri dengan kebebasan sepenuhnya, sedangkan kebebasan tersebut diperoleh dengan menjadikan ego sebagai Tuhan. Namun demikian, kebebasan tersebut ternyata tidak membuat manusia bebas dari penderitaan. Problem manusia modern tersebut dikemukakan dalam sajak “Walau”: “dulu pernah kuminta tuhan/dalam diri/sekarang tak”.
Melalui sajak “Walau” Sutardji jelas ingin membebaskan diri dari semacam tragedi kekosongan makna hidup semacam itu. Menurut Abdul Hadi WM, pada saat yang sama Sutardji ingin memasuki kesadaran al-Hallaj (yang dikenal luas slogannya “Ana al-Haq”). Di sinilah titik yang memisahkan fase nihilistik kepenyairan Sutardji dan yang menghubungkannya dengan kecenderungan sufistik. Sesudah melahirkan sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi Kapak, Sutardji pada permulaan tahun 1980-an beristirahat menulis sajak untuk beberapa waktu lamanya dan mendalami tasawuf. Pada masa inilah dia mulai mengaitkan sastra transendental dengan pencarian nilai-nilai sufistik dalam kehidupan kepenyairannya. Dia pun menerima gagasan Kuntowijoyo dengan sangat antusias.
Puisi sejati, menurut Sutardji, harus dibebaskan dari keterikatan yang berlebihan terhadap aktualitas dan gejala kehidupan yang bersifat permukaan. Kita harus mencari kebenaran hakiki di sebaliknya dengan melakukan pencerahan ruhani. Ini bukan berarti kita harus acuh tak acuh terhadap peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sekitarnya. Tapi keterlibatan kita ialah keterlibatan yang lebih dalam.
Menurutnya, peranan penyair bukanlah sekedar penyaksi kejadian di alam zawahir. Penyair yang sejati mempunyai peranan utama sebagai penyaksi kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki merupakan pusat kehidupan, logos atau logosentris, yang tidak dapat dienyahkan dari sebuah maqamat (discourses) yang disebut puisi. Menurut Sutardji, puisi ialah ungkapan sebuah perjalanan spiritual menuju lubuk rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran (al-Haqq) itu sendiri. Jika seorang penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami pencerahan. Dan oleh sebab itu ia akan mengalami kebangunan diri kembali atau transformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya.
Dalam esai pendeknya “Sastra Transendental” (harian Pelita, 21 Oktober 1987), Sutardji mengatakan bahwa puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan ialah puisi transendental. Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan sastra transendental Sutardji memberi contoh ucapan Rumi dalam mukadimah Matsnawi: “Aku tidak menyanyikan Matsnawi supaya orang membawanya dan mengulang-ulangnya, tapi agar orang meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Matsnawi adalah tangga pendakian menuju kebenaran. Jangan engkau pikul tangga itu di pundakmu sambil berjalan dari satu kota ke kota lain.”
Perjalanan transendental yang dianjurkan Rumi ialah perjalanan dari diri (yang rendah) ke diri (yang luhur), dari lower self ke higher self. Jadi ia merupakan perjalanan mendaki atau vertikal, bukan perjalanan horisontal, dan bukan perjalanan astronot yang meninggi menuju bulan, tetapi perjalanan hati menuju puncak terdalam batin sendiri. Sutardji, dengan mengikut Rumi, mengatakan bahwa semangat ketuhanan yang ada dalam diri manusia harus diupayakan lahir kembali dan inilah antara lain fungsi sastra sufistik.
Puisi sufistik sebagai sastra transendental, menurut Sutardji, merupakan perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya. Tanpa dimensi spiritual manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaannya. Dia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi dengan segala aktivitas bernilai relatif yang dijalankannya dari hari ke hari sekadar menunggu atau menunda saat kematiannya.