Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Proses Kreatif Nenek Mallomo, Lelaki itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar

daeng gege

Kemenangan saya di Lomba Penulisan Cerita Rakyat Kemendikbud 2015, membuat saya menerima banyak pertanyaan terutama seputar tips menulis cerita rakyat. Banyaknya pertanyaan yang muncul, mungkin karena peserta lomba yang diselenggarakan Kemendikbud ini, memang hampir menembus angka 3000 peserta lomba. Saya pun kaget campur senang ketika pertama kali saya dihubungi masuk 8 besar dan diundang ke Jakarta untuk tahap verifikasi naskah.

Judul cerita rakyat saya yang terpilih sebagai pemenang pertama adalah Nenek Mallomo, Lelaki Itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar. Dari judulnya saya sudah berusaha untuk memunculkan satu tips bahwa, sebuah cerita rakyat tidak harus berjudul jadul. Saya tak memilih judul Legenda Nenek Mallomo, karena menurutku terlalu lazim. Saya berusaha untuk mencari sesuatu yang unik mulai dari judulnya. Setelah merasa mendapat sebuah keunikan pada judul, saya berusaha untuk mencari hal yang unik dari segi isi. Ketika saya menulisnya, saya berpikir bahwa akan ada peserta bahkan mungkin banyak yang juga mengangkat cerita rakyat yang sama yakni tentang Nenek Mallomo. So, saya harus menghidangkan sesuatu yang beda dari segi isi.

Legenda Nenek Mallomo ini belum pernah dibukukan ataupun diceritakan utuh sebagai cerita rakyat oleh siapa pun. Ketika saya searching, semua tulisan tentang Nenek Mallomo hanyalah potongan-potongan kisah dan semua hampir sama. Inilah tantangan terberat saya, bahwa saya harus menulis cerita rakyat yang belum pernah dituliskan utuh sebelumnya. Selebihnya hanyalah potongan kisah, dan apa-apa yang pernah saya dengar. Saya punya bekal dua potongan adegan tentang Nenek Mallomo yang saya dengar dari guruku waktu saya masih SD, dan dua potongan adegan itu tak ada di blog mana pun ketika saya searching. Dua potongan adegan ini adalah modal terbesar saya karena benar-benar adalah hal baru. Adegan itu adalah, ketika Nenek Mallomo ditantang membuat tali dari debu dan ketika akan membuat lumbung padi setinggi gunung.

Berbekal dua adegan itu, saya berusaha lagi untuk mencari cerita yang mendukung jika latar waktunya ratusan tahun yang lalu. Untuk hal itu, saya menemukan ide untuk menuliskan tempat minum tokohnya terbuat dari buah majah. Saya tidak sekadar menuliskan bahwa wadah minumnya terbuat dari buah majah tapi juga menceritakan proses pembuatannya, dan kebetulan saat masih SD saya sering melihat orang di kampung saya membuat tempat air minum dari buah majah yang dikeruk isinya lalu dikeringkan.

Selebihnya, saya tinggal menulis sesuai alur yang ada di kepala. Hal yang sangat memudahkan untuk menulis cerita ini karena saya lahir dan besar di latar cerita. Saya tak ragu menulis tokoh berjalan ke arah selatan, ke arah kerajaan Soppeng karena memang saya benar-benar tahu kondisi medan.

Saat saya presentasikan cerita rakyat ini di depan juri, saya berusaha meyakinkan juri untuk tiga hal. Pertama, cerita rakyat yang saya angkat belum pernah diangkat sebagai cerita rakyat yang utuh dalam buku atau blog. Kedua, bahwa cerita rakyat yang saya tulis benar-benar ada di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, berusaha meyakinkan juri bahwa, selain Nenek Mallomo, saya banyak mengetahui budaya Bugis yang lain. Bahkan ketika juri meminta saya untuk menceritakan ulang, saya tidak fokus ke alur cerita saya. Saya malah fokus bercerita bahwa semua latar yang ada di cerita saya, pernah saya lihat. Semua properti yang ada dalam cerita saya, pernah saya lihat cara pembuatannya. Misalnya pembuatan tempat minum dari buah majah, pembuatan tali dari pelepah pisang, bahkan pohon bitti yang ada di cerita saya pun, saya jelaskan detail warna bunga dan buahnya. Dan itu tak ada meski di-searching di mesin pencari mana pun. Intinya, juri harus yakin bahwa saya memberi hal baru dalam cerita yang saya angkat.

Berbekal dari wawasan dan pengalaman saya tentang Nenek Mallomo, saya kemudian masuk Kelas On Line (KoL) Cerita Rakyat yang diadakan FLP. Di kelas OL ini saya banyak belajar jenis cerita rakyat.

Setiap mengikuti lomba, saya selalu berusaha untuk mengendapkannya dulu sebelum mengirimkannya. Mengendapkannya sambil berpikir kemungkinan ending lain yang bisa muncul. Selain itu, saya juga punya teman yang siap jadi proofreader saya. Setelah dia baca dan beri masukan, baru kemudian saya memantapkan hati untuk kirim. Terima kasih, Sultan Sulaiman, proofreaderku.

Setiap menang lomba, saya selalu merasa bahwa yang menang adalah karya saya. Banyak penulis yang jauh lebih hebat ikut lomba, tapi saya menang dari ide, saya menang dari teknik bercerita. Terlebih, bagi saya setiap lomba selalu menyiapkan lawan tangguh. Selalu ada faktor X untuk menang. Faktor X itu adalah doa dan keberuntungan. Semakin besar X semakin besar peluang untuk menang. Jadi setiap mengikuti lomba, saya selalu berusaha semaksimal mungkin, menulis yang terbaik, setelah itu menunggu campur tangan faktor X.

Hadiah 30 juta di lomba cerita rakyat ini adalah hadiah terbesar yang saya terima selama ini. Beda tipis tahun sebelumnya, tahun 2012, mendapatkan 25 juta untuk juara I Lomba Novel Republika. Atau tahun 2014 mendapat tiket jalan-jalan ke Beijing selama 5 hari setelah menang Kompetisi Tulisa Nusantara Kemenparekraf. Tapi di balik ‘kebesaran’ hadiah itu, ada hal lain yang tak bisa diungkapkan setiap menang lomba. Hal lain itu adalah …. ya, tak bisa diungkapkan.

*S Gegge Mappangewa. Staff Divisi Kaderisasi BPP FLP 2013-2017. Pemenang pertama Lomba Cerita Rakyat  Nusantara 2015 yang diadakan Kemendikbud.

*Tulisan ini diambil dari website resmi S Gegge Mappangewa http://www.geggemappangewa.com/behind-the-scene-nenek-mallomo-lelaki-itu-dan-sepotong-kayu-yang-bersandar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This