Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Senandika

Perspektif (1)

Perspektif (1)

Senandika
Akhirnya Munas IV FLP tuntas digelar dengan menghasilkan berbagai perbaikan. AD/ART yang terus disempurnakan sampai terpilihnya Ketua Umum FLP 2017-2021. Tentu saja, terdapat dinamika yang menandakan kedewasaan gerak organisasi tersebut, sejak pengusungan bakal calon, kampanye-kampanye para pendukung dan bakal calon di medsos, sampai lobi-lobi politik menjelang pemillihan. Menariknya, semua itu dilakukan dengan keceriaan dan penuh kesantunan. Alih-alih, membuat suasana Munas (sebelum, ketika, dan setelah) menjadi panas, kontestasi itu malah membuat perhelatan tersebut menjadi indah, hangat, dan berirama seperti sebuah sajak cinta. Saya sempat khawatir dengan penyelenggaraan Munas, 3-5 November 2017, di Bandung ini. Ada banyak faktor yang membuat rasa tersebut muncul, sejak kesiapan panitia...
Islamic Popular Literature (Ispolit), Sebuah Negosiasi Budaya | M. Irfan Hidayatullah

Islamic Popular Literature (Ispolit), Sebuah Negosiasi Budaya | M. Irfan Hidayatullah

Senandika
BANDUNG, FLP.or.id -- MEMANG, pengategorian atau pengotakan sastra selalu memancing perdebatan, tetapi hal itu susah sekali dihindari. Ada beberapa hal yang membuat pengotakan itu beralasan. Pertama, sastra sebagai produk pengarangnya. Kedua, sastra sebagai model representasi. Ketiga, sastra sebagai produk industri. Terakhir, sastra sebagai sebuah alat negosiasi. Begitulah, empat faktor tersebut berjalinan menyatu pada identitas kekaryaan. Oleh karena itu, sebuah karya sastra akhirnya harus disadari bukan hanya sebagai sebuah wujud seni yang berbahan bahasa. Semua sisi pada kehadirannya adalah identitas, bahkan sampai pada tampilan cover dan kata-kata pendukungnya. Jadi, pengidentitasan sebuah karya sastra oleh pembaca atau kritikus adalah semacam upaya pemetaan dari sebuah langkah kreasi...
Sastra yang Menggerakkan; Memecahkan Problem Sosial dengan Sastra? | Helvy Tiana Rosa

Sastra yang Menggerakkan; Memecahkan Problem Sosial dengan Sastra? | Helvy Tiana Rosa

Senandika
JAKARTA, FLP.or.id -- Sakti Wibowo memulai karirnya sebagai buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira, beberapa tahun kemudian ia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini ia bekerja sebagai scriptwriter lepas dan editor di sebuah penerbitan. Nasirun selalu memperkenalkan dirinya sebagai “Lulusan TK Pertiwi”. Ia berangkat dari desa ke kota dan bergelut dengan berbagai macam pekerjaan: tukang parkir hingga menjadi penjaga kotak WC. Lalu kemudian ia dimerdekakan oleh sebuah pekerjaan: menulis. Kini banyak orang belajar menulis dari seorang penyair yang juga kartunis itu. Paris J. Ipal bekerja sebagai SPG di sebuah mall di Jakarta, kini telah menulis lebih dari lima buku. Amir, jauh-jauh merantau dari Sulawesi Selatan dengan kesadaran penuh: pe...
Sastra yang Menggerakkan; Dimensi Gerakan | Helvy Tiana Rosa

Sastra yang Menggerakkan; Dimensi Gerakan | Helvy Tiana Rosa

Senandika
JAKARTA, FLP.or.id -- Ketika saya dan adik saya Asma Nadia masih kecil, kami sudah ingin menjadi penulis. Tetapi mau belajar kemana? Pada siapa? Kami hanya anak kecil, orang tak punya yang tinggal di sebuah rumah triplek, di tepi rel kereta api. Siapa peduli? Bahkan ketika kami datang ke perpustakaan atau tempat penyewaan buku, kami diusir. [Baca juga bagian sebelumnya, Sastra yang Menggerakkan: Pendahuluan, Dimensi Pembaca, Dimensi Pembaca ] Tahun 1997 saya dan Asma Nadia menggagas sebuah komunitas yang bisa memotivasi dan mewadahi siapa saja (khususnya kaum muda dan dhuafa) agar mereka lebih menyukai kegiatan membaca dan menulis. Tak disangka gagasan ini disambut dengan tangan terbuka oleh teman-teman kami di beberapa universtas negeri, bukan hanya di Jabotabek, tetapi juga hampir di s...
Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Penulisan | Helvy Tiana Rosa

Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Penulisan | Helvy Tiana Rosa

Senandika
JAKARTA, FLP.or.id -- Proses kreatif saya dalam menulis karya sastra bukanlah kisah hebat, namun barangkali dapat menjadi inspirasi bagaimana sastra bisa membawa kita pada suatu perubahan, berawal dari diri dan kemudian masyarakat. [ Baca juga bagian sebelumnya: Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan dan Sastra yang Menggerakkan; Dimensi Pembaca ] Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa menciptakan realitas lain dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak duduk di sekolah lanjutan, saya putuskan: itulah dunia saya. Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka Indonesia dan dunia. Saya tercengang membaca ...
Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Pembaca | Helvy Tiana Rosa

Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Pembaca | Helvy Tiana Rosa

Senandika
JAKARTA, FLP.or.id -- Memang terdapat karya sastra tertentu yang dianggap memiliki kemampuan “menggerakkan”, seperti  beberapa karya Charles Dickens yang mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang memperbaiki kondisi kaum buruh di negara tersebut atau Uncle Tom’s Cabin yang membantu menghapus perbudakan negro di Amerika Serikat, misalnya. [ Baca juga bagian sebelumnya Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan ] Saat bertemu dengan Harriet Becher Stowe, penulis Uncle Tom’s Cabin, Presiden Lincoln berkata, “Wah, jadi ini ya nyonya mungil yang yang menimbulkan perang besar ini,” Namun sebelum masuk ke narasi besar tersebut, saya terlebih dahulu berpikir mengenai perubahan dalam diri saya. Adakah sastra telah mengubah saya? Saya meninjaunya pada beberapa hal. Terutama menyangkut k...
Manusia dan Usaha Mereka-reka Pengalaman; Sebuah Pemetaan Tradisi Bercerita

Manusia dan Usaha Mereka-reka Pengalaman; Sebuah Pemetaan Tradisi Bercerita

Senandika
Manusia dan Kehidupan             Kebudayaan yang merupakan representasi alur kehidupan manusia adalah sebuah makrokosmos bagi dunia ingatan manusia. Dunia ingatan yang kemudian memunculkan aksi penggumpalan-penggumpalan peristiwa dalam ruang lingkup memori dan cita-cita. Memori memunculkan aspek kesejarahan sedangkan cita-cita memunculkan aspek harapan dan imajinasi. Pada titik ini muncullah apa yang disebut mimesis[1]. Kebudayaan sebagai wacana alam semesta dalam hal ini dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi. Setelah terbentuknya wacana kemudian akan muncul pula sebuah penggumpalan-penggumpalan selanjutnya yang lebih kecil ruang lingkupnya. Penggumpalan yang diambil dari sebuah konflik pada alur makro tersebut. Manusia yang fana di dunia mempunyai berbagai macam konflik yang akan ...
Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan | Helvy Tiana Rosa

Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan | Helvy Tiana Rosa

Senandika
JAKARTA, FLP.or.id -- Kegelisahan masyarakat akan menjadi kegelisahan para sastrawan. Begitu pula harapan, penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian dari diri dan jiwa  sastrawan (Jakob Soemardjo) Pendahuluan Karya sastra sebenarnya selalu berbicara mengenai hal yang sama, yaitu kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah sebuah kenyataan sosial. Oleh karena itu baik karya sastra maupun pengarangnya tak akan pernah bisa menghindar dari berbagai problem sosial yang terdapat di dalam masyarakat, di mana sang pengarang adalah juga bagian dari masyarakat tersebut. Sebagaimana yang kita pahami, karya sastra sangat terkait dengan latar belakang sosiokultural sastrawannya, atau yang kita kenal dengan unsur ekstrinsik. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut menyebabkan karya sastra memiliki tendensi...
5 Karakter di Jantung Sastra Santun

5 Karakter di Jantung Sastra Santun

Karya, Opini, Senandika
Menurut kamus, santun berarti halus dan baik budi bahasanya, tingkah lakunya. Santun juga bisa berarti sopan, sabar dan tenang, menaruh rasa belas kasihan, dan suka menolong. Santun tidak berarti kaku dan dogmatis. Terkadang, seseorang semaunya menggunakan dalil agama, tanpa mengindahkan kehalusan, kebaikan, kesabaran, dan ketenangan. Meskipun demikian, sastra santun juga tidak boleh hanya berbekal kehalusan budi bahasa sembari meninggalkan rekam jejak yang kurang baik bagi pembaca. T.S Elliot dalam Lathief (2008) mengatakan, bahwa ukuran karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan agama. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah ‘baik’ sesuai dengan etika keagamaan itu. Sumber etika maupun budaya adalah agama....
Menjadi Penulis, Tak Sekadar Royalti (2)

Menjadi Penulis, Tak Sekadar Royalti (2)

Kepenulisan, Pojok, Senandika
Emang, punya duit royalti dosa? Ya, enggak lah. Malah, dapat pahala karena membantu kemandirian. Dari royalti disisihkan infak, dapat memberi hadiah kepada orang tua dan saudara, dapat membantu teman yang kesulitan. Plus membeli barang yang dibutuhkan. Tapi kalau royalti satu-satunya tujuan, cepat sekali impian ini menjadi redup. Pasalnya, royalti yang dibayar per 3 bulanan, 4 bulanan, 6 bulanan atau malah ada yang per tahun; baru terasa besarannya bila buku terjual sekitar 2000 eksemplar. Eit, jangan keburu senang mendengar buku kita terjual 2000 eksemplar, sebab buku itu telah terjual tetapi boleh jadi uang yang beredar dari toko buku dan distributor belum masuk seluruhnya ke kas keuangan penerbit sehingga bisa jadi royalti yang terbayar ½ atau ¼ dari total buku terjual. Bicara masalah r...

Pin It on Pinterest