Kamis, April 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti


Sastra yang Menggerakkan; Dimensi Gerakan | Helvy Tiana Rosa

JAKARTA, FLP.or.id — Ketika saya dan adik saya Asma Nadia masih kecil, kami sudah ingin menjadi penulis. Tetapi mau belajar kemana? Pada siapa? Kami hanya anak kecil, orang tak punya yang tinggal di sebuah rumah triplek, di tepi rel kereta api. Siapa peduli? Bahkan ketika kami datang ke perpustakaan atau tempat penyewaan buku, kami diusir.

[Baca juga bagian sebelumnya, Sastra yang Menggerakkan: Pendahuluan, Dimensi Pembaca, Dimensi Pembaca ]

Tahun 1997 saya dan Asma Nadia menggagas sebuah komunitas yang bisa memotivasi dan mewadahi siapa saja (khususnya kaum muda dan dhuafa) agar mereka lebih menyukai kegiatan membaca dan menulis. Tak disangka gagasan ini disambut dengan tangan terbuka oleh teman-teman kami di beberapa universtas negeri, bukan hanya di Jabotabek, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia.

Pada saat itu, minat para remaja kita terhadap kegiatan membaca dan menulis tidaklah menggembirakan. Sebagian dari mereka mungkin memiliki minat besar terhadap membaca dan menulis karya sastra, namun tak berkembang karena minimnya forum yang bisa mewadahi, termasuk memotivasi dan melatih mereka menulis, apalagi yang membuka pintu lebar bagi kaum marjinal.. Maka berdirilah Forum Lingkar Pena (FLP), tepatnya pada, 22 Februari 1997. Waktu itu seluruh anggota yang bergabung (30 orang) belum menjadi penulis. Hanya saya yang sudah mempunyai satu buku karya sendiri. Maka secara aklamasi, saya pun dipilih sebagai Ketua.

Dengan seadanya dan terbata-bata, saya berusaha untuk membimbing mereka untuk menjadi penulis. Kebanyakan dari mereka memang mempunyai minat terhadap sastra sehingga saya pun semangat membimbing mereka. Begitulah. Setiap kali ada anggota yang karyanya diterbitkan di media massa nasional, misalnya, maka ia sudah mempunyai kewajiban sebagai mentor dan turut membimbing anggota lain yang lebih “yunior” secara sukarela.

Kemiskinan dan banyaknya pengangguran di Indonesia sebagai problema sosial yang tak kunjung usai, juga menjadi salah satu perhatian kami. Lalu muncul ide, untuk memberi keterampilan menulis pada berbagai kalangan yang memang berminat dan membutuhkan. Bukankah tingkat peradaban suatu bangsa akan semakin tinggi bila banyak orang yang membaca dan menulis di negeri tersebut?  Karena itu kemudian keanggotaan FLP benar-benar terbuka. Siapa pun boleh bergabung, dan kelak bila ia benar-benar menjadi penulis, ia mempunyai tugas pula untuk membimbing mereka yang belum menjadi penulis.[11]

Saat itu banyak yang mencemooh kami, bahkan meledek FLP sebagai “mualaf sastra”[12]. Apalagi saat kemudian FLP tak pilih-pilih, dan juga membina para anak jalanan, para pembantu rumah tangga atau mereka yang sedang berada dalam penjara.

“Menulis itu pekerjaan kaum intelek dan sakral. Tidak bisa sembarangan!” kata seorang sastrawan senior,  memarahi saya.

Saya percaya keahlian menulis itu gifted, seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, namun saya juga yakin bahwa sampai pada tahap tertentu menulis itu bisa diajarkan melalui berbagai tahap latihan. Saya dan FLP  tak akan pernah bisa mencetak seseorang seperti Sutardji atau Goenawan Mohammad, namun bisa memotivasi dan mengajarkan menulis pada siapa pun yang memiliki tekad dan mau latihan agar ia memiliki skill yang kelak bisa menambah kualitas kehidupannya.

Setiap minggu FLP di berbagai wilayah, cabang maupun ranting, mengadakan berbagai kegiatan. Mereka juga mengelola Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) yang secara bertahap didirikan di berbagai FLP wilayah. Kami juga memberi perhatian pada anak-anak dengan membuka FLP Kids di beberapa cabang FLP sejak tahun 2000. FLP Kids kemudian menjadi motor kebangkitan penulis cilik di Indonesia, dengan program Kecil kecil Punya Karya (KKPK) yang digagas pengurus FLP Ali Muakhir bekerjasama dengan Penerbit Mizan.[13]

M Irfan Hidayatullah, cerpenis dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNPAD pada Munas FLP Februari 2005 terplih sebagai Ketua Umum FLP Pusat menggantikan saya. Tahun 2009, Setiawati Intan Savitri, terpilih sebagai ketua umum FLP yang ketiga.

Dalam deklarasinya, komunitas FLP menganggap karya sastra berperan penting dalam proses pencerahan, termasuk turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan ahlak masyarakat.

Dengan demikian, para anggota FLP mempunyai kesepakatan sebagai berikut:

(1). Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika. Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak boleh menambah buruk keadaan masyarakatnya.

(2) Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati). Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.

(3) Pengarang sebagai teladan masyarakat.

Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, atau berada di ”menara gading”  dan pelbagai pandangan ”buruk” lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[14]

Data yang berhasil dihimpun pada tahun 2008 menunjukkan bahwa FLP telah beranggotakan lebih dari 7000 orang, menghasilkan lebih dari 1000 judul buku, bekerjasama dengan 50 penerbit dan memiliki cabang di 125 kota di Indonesia dan mancanegara[15]. Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra.[16] Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.[17] Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’.[18] Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.[19] Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional[20].

Taufiq Ismail menyebut FLP sebagai hadiah Tuhan untuk Indonesia.[21]

Gerakan Sastra PRT Hong kong

Di antara FLP  Wilayah dan Cabang, FLP Taiwan dan Hongkong menjadi sangat fenomenal. Keduanya beranggotakan para buruh migran Indonesia (BMI) yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

FLP Hong Kong resmi berdiri tahun 2004, digagas antara lain oleh Susanna Dewi. “’Menulis, mencipta sastra, membuat kami merasa menjadi orang yang lebih berarti dan peduli,” tulisnya via email pada saya sebelum kami bertemu, tahun 2003.

Kata-kata itu pula yang diucapkan Wina Karnie, Syifa Aulia dan Swastika Mahartika, tiga TKW di Hong Kong, saat meluncurkan kumpulan cerpen mereka: Perempuan di Negeri Beton (Haniya Press) dan Hong Kong Topan Badai ke-8 (Doyan Baca Publishing House), di Masjid Tsim Sha Tsui, Hong Kong, yang saya hadiri, beberapa tahun lalu.

Dalam kesempatan tersebut, di hadapan sekitar seribu rekan sesama TKW, ketiganya sempat membacakan cuplikan cerpen mereka yang banyak terinspirasi dari problema sosial yang mereka alami serta kental dengan warna lokal Hong Kong. Sungguh membanggakan sekaligus mengharukan bahwa dalam keterbatasan sebagai domestic helper mereka masih bisa menulis bahkan menghasilkan buku yang secara kualitas ternyata tidak mengecewakan.

Salah satu pengarang, Swastika, adalah pembantu rumah tangga yang tidak punya kamar di rumah majikannya. Ia bahkan tidak bisa membawa pulang sebuah disket pun dalam tas, karena disket apalagi flashdisc, menurut majikannya, bukanlah peralatan yang dibutuhkan oleh seorang pembantu rumah tangga. Setiap hari keluar masuk rumah, majikannya selalu menggeledah tasnya dan membuang semua milik Swastika yang ia anggap tak berkaitan dengan pekerjaan sang TKW. Bahkan, ketika mendapat piala dalam sayembara menulis yang diadakan FLP Hong Kong, Swastika harus menitipkan piala itu pada temannya, Dasih. Meski demikian, Swastika tidak menyerah. Ia memanfaatkan hari liburnya setiap minggu untuk mengetik di perpustakaan. Dan, bila ia tidak bisa keluar, teman-teman FLP Hong Kong membantu mengetikkan cerpen tersebut, menyimpannya dalam sebuah folder khusus.

Pengalaman Syifa Aulia lain lagi. Meski tidur di gudang dengan tempat tidur di bagian atas yang tidak pernah bisa membuatnya berada dalam posisi duduk sempurna, setiap majikannya tidur, ia pun mulai mengetik dengan laptop bekas yang ia beli dengan uang dari koceknya sendiri. Bila majikannya menegur karena lampu masih menyala, ia matikan lampu dan menyalakan senter. Kadang, Syifa juga memanfaatkan waktu di kamar mandi untuk mengarang satu dua puisi atau menggali ide untuk cerpen baru yang akan ditulisnya. Bukan itu saja, energinya masih tersisa untuk memimpin FLP Hong Kong selama 4 tahun.

Wina Karnie pun demikian. Majikannya boleh menyuruhnya apa saja dari mulai mengurus rumah, anak, sampai usaha periklanannya. Namun, Wina tak pernah lelah meluangkan waktu untuk menulis. ”Ada semacam semangat yang saya dapatkan justru dari keterbatasan itu,” ujar Wina, mantan Ketua FLP Hong Kong yang sangat gemar membaca karya sastra.

Buku-buku karya mereka termasuk Perempuan di Negeri Beton (Wina Karnie) maupun Hong Kong Topan Badai ke-8 (Syifa Aulia dan Swastika Mahartika) boleh jadi adalah suara hati para pengarangnya sendiri bersama sekitar seratus ribu TKW Hong Kong atau sekian juta TKW Indonesia lain di mana pun mereka berada. Membaca kedua buku itu kita dihadapkan pada problema sosial, wajah retak para buruh migran Indonesia, khususnya Hong Kong. Padahal Hong Kong adalah tempat kedua yang memberikan upah tertinggi serta jaminan hukum yang lebih pasti bagi para buruh migran setelah Taiwan. Namun, ternyata hal-hal yang menyedihkan juga ditemukan di sana, seperti gaji yang di bawah standar, penganiayaan, dan pemerkosaan.

Salah satu kasus yang sedang hangat dibicarakan, terdapat dalam kumpulan cerpen Wina Karnie. Kisahnya mengenai seorang TKW yang dijanjikan bertugas menjaga bayi. Tetapi, bukannya menjaga bayi lucu, ternyata ia dipaksa mengurus 10 ekor anjing yang kemudian tidak berhenti mencakar dan menggigitnya. Tubuhya carut marut dengan luka, juga koyak sana sini, hingga rabies menyerangnya.

Wina juga menampilkan cerita yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya. Misalnya, mengenai seorang pembantu rumah tangga yang dipaksa majikannya untuk mencuri tisu di beberapa toilet umum. Majikannya merasa tisu bukan barang yang layak ditukar dengan uang, sebab selalu hanya akan dibuang. Karena itu, ia tak henti memaksa pembantunya untuk terus ‘mengambil’ barang itu. Selain penderitaan para TKW di Hong Kong, Wina juga memotret kehidupan seks bebas dan lesbianisme yang menggejala di kalangan TKW sendiri.

Nyaris tidak berbeda dengan Wina, Syifa dan Swastika pun menampilkan hal yang hampir sama dalam karya-karya mereka. Namun, keresahan kehidupan para TKW dalam buku mereka, lebih dikaitkan dengan keluarga dan kampung halaman yang ditinggalkan, meski potret ketakberdayaan menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong juga muncul di beberapa cerpen, termasuk kala mereka dipulangkan dengan semena-mena oleh majikannya karena dianggap tidak lagi berguna.

Dari segi ide dan teknik penceritaan, Wina terlihat memiliki kelebihan dibanding kedua rekannya. Wina tidak memaksakan cerpen-cerpennya selesai, namun lebih menyukai ending terbuka yang memberi kita ruang lebih dalam menafsirkannya. Meski demikian, ketiga TKW pengarang ini adalah potensi dalam gerakan sastra buruh migran yang tidak bisa diabaikan dan kelak bisa jadi secara nyata akan mewarnai sastra Indonesia.

Seperti yang dikatakan Wina Karnie, kalau tadinya menulis menjadi salah satu bentuk terapi stress bagi para TKW Hong kong, khususnya mereka yang tergabung di FLP Hong Kong, kini membaca dan menulis sudah menjadi kebutuhan mereka.

”Dua kali sebulan kami selalu berkumpul untuk belajar menulis dan saling bedah karya. Karena tidak punya sekretariat, kami berkumpul di Victoria Park, di Masjid Wan Chai, dan di mana saja yang mungkin,” cerita Wina. Selain saya, Asma Nadia, Habiburrahman Elshirazy dan Taufiq Ismail adalah beberapa nama yang pernah mereka undang, dan mendatangkan antusisme yang tinggi dari para TKI di sana.

Hasil dari pelatihan-pelatihan itu kemudian diseleksi dan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen pertama mereka: Hongkong, Namaku Peri Cinta (Lingkar Pena Publishing House, 2005), karya tujuh perempuan pengarang: Andina Respati, Fia Rosa, Ikrima Ghaniy, Rof, S Aisyah Z, Syifa Aulia dan Wina Karnie. Buku pertama tersebut kemudian disusul oleh terbitan-terbitan lainnya.

FLP Hong Kong adalah salah satu FLP Wilayah yang 99 persen anggotanya adalah para domestic helper. Sebelum Susi Utomo, Andina Respati, Wina Karni, Syifa Aulia, Endang Pratiwi dan Susanna Dewi tercatat pernah menjadi Ketua FLP Hong Kong. Karena tidak memiliki dana, sampai sekarang FLP Hong Kong bahkan belum memiliki sekretariat sendiri. Namun, mereka terus berjuang, salah satunya lewat jalur penulisan. Kini secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk antologi bersama, mereka sudah menghasilkan lebih dari 20 buku.

Buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong memang cukup beruntung karena pemerintah setempat memasang rambu-rambu hukum yang cukup jelas untuk melindungi hak dan kewajiban mereka. Sebagai domestic helper misalnya, mereka mendapat hak libur empat kali dalam satu bulan, sehingga mempunyai kesempatan untuk menyegarkan jiwa dan raga, juga mengembangkan potensi semisal belajar berorganisasi, menekuni bidang pendidikan, dan berseni sastra.

Menurut data Departemen Imigrasi Hong Kong, per Februari 2007 tercatat 105.320 buruh migran Indonesia bekerja di negara itu. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah perempuan yang bekerja di lingkungan domestik, dan lebih dari 200 orang merupakan anggota FLP.

bersambung

Sumber: sastrahelvy.com. Pertama kali disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Perubahan Sosial yang diadakan   Fakutas Sastra dan Seni Rupa,  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17 April 2010.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This