Merindu katup-katup pintu tertutup sayu tersebab malu pada gulita yang merayap sejengkal demi sejengkal di akhir tiap angka almanak. Menunggu bayang sang kepayang petantang pulang kala petang. Bawakan sesuap nyawa demi nyawa yang tadinya tersangkut di kawat-kawat perbatasan. Batas antara hidup dan mati. Batas manusia dan manusia yang tak jua dimanusiakan.
O, tingginya kenang alang-kepalang
Ilusi memata-mata sepenuh bayang
Sungguhnya tercatat nasib tercacat malang
Tanah kita sudah lupa cara berkebun dan bercocok tanam angka-angka nominal di kertas berharga yang diperdagangkan pada pangkal tiap angka almanak. Jiwa-jiwa telah dipasung oleh ribu peluru yang tertanam di halaman semua rumah, sebagai tapal batas antara air mata dan darah. Tanpa jalan pintas berujung selamat.
Mimpi anak-anak menerbangkan layang-layang purna tergolek di pembaringan paling pesakitan. Para ibu menanak setia pada belahan jantung yang tiada. Sementara luka menganga dibiarkan hingga keraknya menjadi satu-satunya pengganti cerita.
Hidup adalah sia-sia, hampa suara, dan kedap rasa. Petaka. Kemanusiaaan telah berjatuhan di lorong-lorong berjelaga. Membentuk rangkai jejak menuju akhir paling nista bernama neraka. Sementara surga bermukim di ujung lainnya dengan bala bantuan yang tak kunjung sampai. Celaka.
Palembang, 12/11/2017