Oleh TOPIK MULYANA, FLP.or.id – Mustofa Bisri (selanjutnya akan disebut MB) adalah seorang tokoh pemuka agama Islam dari Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus sastrawan produktif dan diakui di tingkat nasional. Ketokohan MB sebagai agamawan memiliki kaitan erat dengan ketokohannya sebagai sastrawan. Dalam karya-karyanya, tergambar ekspresi keberagamaannya, baik yang berdimensi individual maupun yang berdimensi sosial.
Keagamawanan dan kesastrawanan MB diperkuat oleh faktor sejarah, yakni sebagai salah seorang intelektual muslim yang turut memberi respons (kalau tidak dapat disebut perlawanan) terhadap ortodoksi negara ala Orde Baru melalui “jalan ketiga” (Latif, 2005: 568—569). Artinya, MB adalah salah seorang tokoh penting dalam kontestasi panjang dan pelik kaum intelektual yang memberi respons terhadap kebijakankebijakan pemerintah Orde Baru.
Setelah Orde Baru runtuh, ketokohan MB tidak berhenti. Ia merupakan tokoh pemimpin muslim tradisionalis; kelompok yang sejak reformasi bergulir hingga saat ini masih berkontestasi secara ideologis dengan kelompok kelas menengah muslim.
Kekaryaan: Estetika dan Tema Puisi-Puisi Mustofa Bisri
Dari segi estetika, puisi-puisi MB tidak dicipta berdasarkan estetika tertentu secara ketat. Hal ini diakuinya dalam prakata buku kumpulan puisi keduanya, Wekwekwek: “Dan dalam menulis ‘puisi’, saya tidak pernah merasa terganggu dengan lalulalangnya segala ‘definisi’ dan ‘teori’ sastra yang bermacam-macam, apalagi dengan anggapan orang tentang ‘puisi’ saya” (Bisri, 1996: ix). Namun, jika ditinjau dari pengelompokan puisi yang sangat umum, puisi-puisi MB terbagi ke dalam bentuk lirik, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan pribadi penyairnya, dan deskriptif, yakni puisi yang mengungkapkan kesan penyair terhadap suasana, peristiwa, sesuatu, atau seseorang yang menarik perhatiannya (Waluyo, 1995: 136—137).
Secara tematik, puisi-puisi MB memiliki tema-tema yang secara umum ada tiga, yaitu spiritualitas, kaitan antara spiritualitas dan dunia profan, dan tema yang sepenuhnya dunia profan. Dalam tulisan yang sama, MB sendiri yang mengategorikan dan membagi puisi-puisinya menjadi tiga bagian: a) puisi langit, b) puisi bumi-langit, dan c) puisi bumi. Ketiga tema yang secara verbal diungkapkannya ini menjadi semacam benang merah tematik bagi penciptaan-penciptaan puisi-puisi berikutnya, termasuk dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Negeri Daging. Jika mengacu pada pembagian tema menurut Shipley, puisi-puisi MB mengandung tema sosial (kemasyarakatan), egoik (idealisme), dan divine (ketuhanan) (Nurgiantoro, 2002: 80—82). Istilah “langit” mengacu pada tema keagamaan atau ketuhanan.
Kuatnya tema keagamaan dalam puisipuisi MB tidak terlepas dari sisi biografis MB sebagai agamawan. Dalam pengantar untuk buku kumpulan puisi Tadarus karya MB, Umar Kayam menyebut bahwa proses kreatif MB merupakan “perjalanan berpuisi yang unik”. Keunikan ini terletak pada dua sisi MB sebagai agamawan (kiai) dan sebagai penyair. Sebagai kiai, ia menjalani hidup ini dengan penyerahan total kepada Tuhan. Sebagai penyair, ia mendapati berbagai problematika kehidupan manusia yang menimbulkan pertanyaan dan ketakjuban akan apa yang ia dapati dalam perjalanan hidupnya (Bisri, 1993: v).
Tema keagamaan dalam puisi-puisi MB berada di ranah puisi langit dan puisi bumilangit. Puisi langit berisi puisi-puisi yang memuja Tuhan, permohonan (doa) kepada Tuhan, dan narasi-narasi yang bersumberkan pada kisah-kisah dalam kitab suci (parabel). Puisi bumi-langit berisi puisipuisi yang menggambarkan dan mengkritik keadaan alam yang rusak, masyarakat yang rusak karena tidak mengamalkan agamanya dengan benar, dan paradoks antara simbolsimbol agama dan sikap riil orang-orang yang menggunakan simbol-simbol tersebut.
Tema yang disebutkan terakhir merupakan tema yang disoroti MB secara tajam. Selain itu, tema ini menarik karena hampir tidak pernah berhenti mendapatkan aktualisasinya. Berbagai gejala kemasyarakatan yang terkait dengan tematema agama selalu menjadi isu panas, seperti isu “pemimpin kafir” yang akhir-akhir ini tengah marak dan semakin hangat menjelang pemilihan kepada daerah (pilkada), khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
Sebagian besar gejala ini terjadi di kotakota besar. Hal ini disebabkan keadaan masyarakat kota yang heterogen. Karena itu, terjadi kompetisi antarkelompok untuk meraih posisi-posisi tertinggi dalam kontestasi kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Konsekuensi logis dari situasi heterogen ini kemudian melahirkan situasi heteronomia, yaitu kenyataan adanya berbagai norma yang sekaligus dianut oleh berbagai golongan (Hassan, 1993: 109). Norma-norma yang mereka pegang terwujud dalam simbol-simbol yang mereka gunakan, baik dalam bentuk formal (nama/logo komunitas, institusi) maupun nonformal (pakaian, bahasa).
Pertama kali dimuat di Jurnal Metasastra, 2017.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiyah Tangerang. Ia juga Staf Divisi Litbang Badan Pengurus Pusat FLP 2017-2021.