Walau sudah lebih dari dua dekade, pengaruh teori ‘clash of civilizations’ masih terasa sampai sekarang. Pertarungan antara kekuatan Barat dan Islam menjadi tema yang dikaji oleh banyak sarjana tidak hanya Islam tapi juga non-Muslim yang tertarik dalam kajian Islam. Efek paling jelas nyata dari ‘kebenaran’ benturan antar peradaban itu terlihat dari konflik-konflik anti-Barat yang dilancarkan tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di Eropa, Amerika, bahkan di Asia Tenggara.
Fakta meningkatnya gerakan anti-Barat seperti yang terlihat dari kemunculan Taliban di Afghanistan, serangan gerakan Al Qaeda terhadap pos-pos penting Amerika Serikat–seperti yang paling besar di menara kembar WTC–yang disusul juga bom beruntun yang terjadi di Bali, telah semakin menguatkan stigmatisasi akan ‘buruknya’ Barat di mata umat (atau aktivis pergerakan/haraki) Islam. Fenomena konflik ini tidaklah berdiri sendiri, ada saja faktor internal seperti meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya alam setempat, atau karena solidaritas terhadap kaum muslim yang tertindas di berbagai belahan dunia, salah satunya yang paling bertahan sampai sekarang adalah isu Palestina.
Pada tahun 1998 misalnya, Osama bin Laden pernah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya membunuh warga Amerika, sipil atau militer. Juga, dalam konteks konflik antara Israel dan Palestina, ada gerakan untuk menyerang orang Israel (sipil maupun militer) dan sebaliknya telah terjadi serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza. Fakta ini seakan memperjelas bahwa saat ini ketika terjadi perang, orang tidak lagi bisa memisahkan mana yang harus diperangi, dan mana yang harus dilindungi. Mana yang terlarang untuk diperangi, mana yang boleh diperangi.
Sebuah pertanyaan penting patut dilontarkan. Apakah semua yang berlabel Barat adalah anti-Islam? Untuk menjawab itu kita bisa melihat perkembangan Islam yang terjadi di dunia Barat. Di Amerika Serikat misalnya, berbagai data melansir terkait meningkatkan jumlah pemeluk Islam dari hari ke hari. Jika kita baca tulisan Imam Shamsi Ali misalnya, beliau biasa menceritakan bagaimana animo masyarakat Amerika untuk memeluk Islam. Michael Lipka dan Conrad Hackett, dalam tulisan mereka Why Muslims are the world’s fastest-growing religious group, di laman Pew Research Center (23 April 2015), menulis bahwa pemeluk Islam kecepatan pertumbuhannya adalah dua kali lipat dari keseluruhan pertumbuhan populasi dunia antara tahun 2010 sampai 2050 (pertengahan abad ke-21), dan akan melampaui agama Kristen sebagai agama terbesar di dunia (Muslims will grow more than twice as fast as the overall world population between 2010 and 2050 and, in the second half of this century, will likely surpass Christians as the world’s largest religious group).
Para pemeluk Islam di Amerika ini tidak hanya para imigran dari Afrika yang didatangkan untuk kebutuhan produksi perkebunan, tapi juga para penduduk Amerika yang keturunan Eropa dan telah lahir sebagai warga Amerika. Mereka mendapatkan kedamaian dalam Islam. Peristiwa 9/11 sekilas sangat menyeramkan, akan tetapi mengandung ‘berkah’ bagi kebenaran ayat Al Quran surat An Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.”
Kemudian, peningkatan jumlah Muslim di Eropa juga makin hari makin berkembang lebih dari 10 persen menjelang tahun 2050 (Guardian, 2 April 2015). Gerakan untuk membungkam penyebaran Islam seperti yang dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders yang mempublikasikan video dan kartun anti-Islam dengan dalih untuk menjaga freedom of expression, rupanya tidak mempan untuk mencegah gelombang muallaf Islam di Eropa. Dalam konteks ini, terlihat bahwa animo masyarakat Islam untuk menjadi muslim yang baik juga meningkat. Fakta dari berbondong-bondongnya pemuda muslim Eropa yang bergabung dengan ISIS–terlepas dari radikalisme gerakan ini–memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran untuk menegakkan Islam. Tentu saja, bergabungnya para pemuda dalam kafilah ISIS itu patut disayangkan, karena hingga saat ini jumhur ulama dan tokoh muslim menyatakan bahwa gerakan ISIS adalah teror dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti yang dapat kita baca dari surat yang ditulis oleh lebih dari seratus ulama bergelar syeikh, professor, doktor, dan tokoh Islam di negaranya masing-masing. Lepas dari kecenderungan mereka untuk bergabung dengan ISIS, terlihat di sini peningkatan semangat keberislaman.
Di Australia, sebagai contoh benua ketiga, pemeluk Islam juga terus meningkat. Salah satu oleh-oleh yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Australia adalah fakta bahwa di antara agama lainnya, Islam adalah agama yang paling berkembang di Australia. Tulisan Scott Higgins, di laman Center for Christianity and Society (4 Agustus 2014), berjudul Is Australia being Islamicised? tentang masuknya para muslim pencari suaka adalah kekhawatiran terkait Islamisasi di Australia, penerapan syariah Islam, dan transmisi budaya kekerasan ke masyarakat Australia. Tapi, kekhawatiran ini sesungguhnya natural (jumlahnya tidak banyak), karena di masyarakat manapun selalu ada kelompok kecil yang pro pada kekerasan. Walau jumlahnya tidak sesignifikan Kristen, akan tetapi makin hari makin banyak yang bergabung dengan Islam dan tetap menghormati konstitusi yang mengajarkan mutual respect and understanding sesama warga Australia. Tentu saja hal ini sesuai dengan konstitusi Indonesia dimana seluruh warga secara konstitusi mendapatkan hak yang sama dan harus saling menghormati diversitas suku bangsa dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat.
*YANUARDI SYUKUR, Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun; Aktif di The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), dan Peneliti Bundaran Institute.