Review film ini ditulis oleh Nurbaiti Hikaru pada tanggal 4 November 2016 dan bisa dibaca versi aslinya di sini .
Kemarin malam, saya mewakili teman-teman FLP menghadiri premier film Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 (BTdLA 2). Film ini merupakan sekuel film BtdLA yang tayang tahun lalu.
Sebagai penikmat karya-karya Hanum Rais, saya tentu punya ekspektasi lebih. Dengan tagline pada poster “Apakah Muslim Penemu Amerika?” tentu membuat saya penasaran.
Harapan semacam itu muncul bukan saja karena reputasi film-film sebelumnya. Tapi juga karena saya pernah membaca penelitian para ilmuwan DNA bahwa Cherokee, suku Indian asli yang menghuni Amerika sejak 10 ribu tahun lalu berasal dari Timur Tengah. Dalam sebuah literatur saya juga sempat membaca bahwa di perpustakaan kongres Washington DC terdapat arsip perjanjian antara keturunan Cherokee di abad 17 bernama Abdel Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah. Bahkan cara berpakaian dan aksara suku Cherokee sangat mirip dengan bangsa Arab.
Dengan demikian saya pikir film BtdLA 2 akan membahas hal ini sekaligus menjawab pertanyaan apakah benar muslim penemu Amerika sebelum Columbus? Atau bisa jadi membahas Al-Quran milik Thomas Jefferson, bapak pendiri Amerika yang mengilhaminya menuliskan Deklarasi Kemerdekaan? Para penyebar islam dari Afrika yang membawa Islam ke Amerika pada abad 17?
Mungkinkah film ini akan mengupas sejarah seperti film ’99 Cahaya di Langit Eropa 1 dan 2’ atau apakah masih membahas tragedi 911 seperti di film Bulan Terbelah di Langit Amerika 1? (Review BtdLA 1 bisa diklik di sini)
Namun ternyata BtdLA 2 menceritakan hal lain. Kisah Azima dan perseteruannya dengan ibu kandungnya, tugas Hanum mencari bukti bahwa Chengho lebih dulu mendarat di Amerika sebelum Columbus, serta kisah cinta Stephen dan Jasmin yang menemui jalan buntu.
Fokus cerita yang lebih menajamkan pada kisah Stephen dan Jasmin membuat cerita tentang Hanum dan Azima seolah sekedar tempelan pemanis. Kisah Azima dan ibunya tidak cukup kuat, cenderung seperti sinetron. Adegan-adegannya tidak membuat pembaca terharu sebagaimana seharusnya. Seolah-olah para pembuat film ini dikejar tengat dan membuat karyanya secara terburu-buru.
Penyelesaian konflik Azima dan ibunya serta Hanum dan Suku Hui rasanya terlalu mudah. Padahal saya menantikan sesuatu yang lebih “gereget”. Apalagi ada adegan Hanum dikejar-kejar orang di area barongsai dan tiba-tiba muncul kolektor wanita penyelamat dengan motor trail. Saya sudah berharap akan ada adegan kejar-kejaran seru di jalanan San Fransisco. Sesuatu yang lebih memicu adrenalin.
Mungkin karena melibatkan para pemain dengan beragam bahasa, film ini dilengkapi dengan subtitle. Pada saat dialog dalam bahasa China subtitle ini sangat membantu. Tapi pada saat dialog dalam bahasa Indonesia, subtitle ini justru mengganggu. Sebab penonton lebih dulu membaca subtitle sementara para tokohnya belum lagi selesai mengucapkan kalimatnya. Tempo bicara Azima yang lebih lambat di beberapa adegan, tokoh kolektor wanita yang lebih fasih berbahasa mandarin membuatnya seperti menghapal kalimat bahasa Indonesia. Kedua hal ini membuat dialognya terdengar tidak alami dan seperti mengeja.
Dari sisi logika cerita, saya juga merasa ada sesuatu yang kurang pas. Apakah tidak ada peninggalan lain yang sebaiknya dicari daripada sebuah koin satu-satunya, yang dengan mudah bisa hilang jatuh entah di mana? Bagaimana dengan buku kehidupan yang sempat disinggung? Semacam prasasti suku Indian barangkali? Segampang itukah Getrude mempercayai sumber nun jauh di belahan negara yang berbeda hanya dengan bukti sebuah koin?
Kenapa kakek Hui berbicara dalam bahasa Indonesia? Bukankah seharusnya ia hanya bicara bahasa Inggris dan China? Baiklah, itu mungkin hanya hal teknis untuk mempermudah pemain dan penonton. Ia terlihat sangat lemah di atas kursi roda, namun saat menceritakan kisah suku Hui, suaranya terdengar muda dan segar. Kesan tua dan rapuhnya hilang. Kalau begitu, kenapa harus menggunakan kursi roda? Sebegitu mudahkah anaknya yang pembangkang tiba-tiba insaf berkat hadiah uang yang diberikan Rangga dengan janji tidak akan minum minuman keras lagi? Memang bisa saja sih kalau sudah dapat hidayah atau pencerahan. Hanya saja saya berharap ada motivasi yang lebih kuat dan dalam.
Terlepas dari ekspektasi saya, film ini tetap menarik untuk ditonton. Saya suka jalan cerita Stephen dan Jasmin. Konfliknya terbangun. Dialog-dialognya segar dan memancing tawa penonton. Alurnya bisa ditebak tapi tetap mengasyikan untuk dinikmati. Akting keduanya juga bagus.
Oh ya, saya sempat terpikir apakah cukup lazim panggilan “honey” kepada Jasmin kalau bukan sebagai pasangan kekasih? Namun kejutan tentang orang ketiga dalam hubungan Stephen-Jasmin tak urung berhasil membuat penonton bersimpati, gemas, kesal dan tertawa bersama.
Akting Boy William dalam film ini sangat pantas diacungi jempol. Baik dialog dalam bahasa Inggris maupun Mandarin sangat lancar. Aksennya kuat. Mengingatkan saya pada para orang tua Tionghua di Singapura jika bicara bahasa Inggris. Gesture dan bahasa tubuhnya juga mendukung. Wajah “sengak”-nya, gayanya yang petantang petenteng membuat aktingnya sangat menonjol.
Secara keseluruhan, film BtdLA 2 cukup menghibur. Sambil anda menikmati suguhan lansekap San Fransisco, dialog antara Hanum dan Rangga ketika berdebat tentang kepergian mereka ke klinik menurut saya sangat bagus, relevan dengan refleksi meluruskan niat.
Saat Hanum berdalih bahwa yang dilakukannya bukan untuk uang, tapi untuk membela agama. Kata-kata Rangga mungkin sesuai untuk saat ini.
“Kita manusia selalu merasa cukup dekat dengan Tuhan….”
“Tapi setan selalu punya cara….”
*Nurbaiti Hikaru. Salah satu pengurus BPP FLP Bidang Bisnis, Advokasi dan Rumah Cahaya 2013 – 2017.