Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Visi Ketuhanan dalam Berkarya (bag 1)

Sebuah karya sastra tidak lahir begitu saja. Ia tidak muncul dari ruang yang kosong. Karya sastra yang kuat biasanya lahir dari penulis yang pula kuat visi atau pandangan kepengarangannya. Dalam esai singkat ini kita mencoba menyimak visi ketuhanan khususnya keislaman dalam karang-mengarang. Dalam esai ini kita antara lain akan membaca dengan singkat beberapa karya dan pemikiran sastrawan Islam. Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto adalah contoh sebagian sastrawan yang menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya.

Judul karangan ini mengacu pada kalimat Hamdy Salad dalam buku Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik (2000). Sementara pembahasan karya sastrawan yang disebut di muka sebagian besar merujuk pada paparan-paparan Abdul Hadi WM dalam buku esainya Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999) dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (2000). Dalam buku Agama Seni Hamdy meyakini bahwa seni dapat menjelma sebagai pengembara abadi dalam ruang metafisis, menjadi wakil budaya untuk mendampingi dan menuntun jiwa manusia menuju keindahan Ilahiah. Pada puncak penyatuan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap keseluruhan ekspresinya, kegiatan berkesenian akan melahirkan paham estetik yang mampu diadaptasi sebagai wacana untuk mengalihkan konflik teologis dan kultural dalam proses-proses penciptaan karya seni yang berakibat pada kerusakan moral dan kemurtadan spiritual.

Estetika sebagaimana kita mafhum dapat dikatakan sebagai syarat mewujudnya karya seni. Tetapi gerangan estetika seperti apakah (yang bisa kita pilih)? Menurut Al-Ghazali, yang dikutip Hamdy, estetika adalah kesaksian terhadap kehidupan moral yang bersumber pada keyakinan dan iman (akidah dan tauhid, pengetahuan terhadap Allah). Sehingga lebih lanjut estetika termaksud tidak mungkin dapat muncul dalam karya seni yang dicipta oleh seniman yang tidak memiliki penghayatan terhadap kehidupan moral, keyakinan, dan iman. Demikian juga halnya untuk memahami atau mendekati fakta-fakta universalitas estetika seni dalam peradaban Islam yang bersifat spiritual, transenden, dan abstrak.

Pada tataran itu, menurut Hamdy Salad, estetika seni Islam dapat diterima secara utuh yang ditandai dengan metafora-metafora simbolik antara tatanan Ilahi dan tatanan kosmis di satu pihak serta tatanan kultural dan estetis pada sisi yang lain. Oleh karena itu, eksistensi seni Islam tidak memiliki ketergantungan individual maupun sosial pada jenis-jenis bentuk seni maupun pemahaman manusia terhadapnya yang selalu berkembang dan berubah-ubah. Estetika Islam tidak mengandungi karakter-karakter yang bersifat realistik dan profan, sehingga reaksi-reaksi psikologis yang dipancarkan dari padanya sama sekali tidak menimbulkan permusuhan, kekerasan, kriminalitas, maupun penyakit-penyakit sosial. Seni Islam juga tidak mungkin dapat mempengaruhi orang-orang munafik menjadi kafir, orang frustasi menjadi bunuh diri dan lain sebagainya, tetapi sangat mungkin untuk mendorong, menggugah, atau meningkatkan orang bertakwa menjadi saleh, orang kafir menjadi beriman, atau menarik pikiran dan tindakan negatif ke arah gagasan dan perilaku yang lebih positif.

***

Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto bisa disebut sastrawan yang menyerap semangat sufistik dalam karya-karya mereka. Menurut Abdul Hadi WM, sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transendental.

Dalam makalah “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental” yang disampaikan pada Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kuntowijoyo menulis, “Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian lahirian—jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri dari peralatan indra kita.”

Pandangan Kuntowijoyo dalam makalah tersebut, menurut Abdul Hadi WM, berkorelasi dengan pandangan cendekiawan Muslim Sayyed Hosein Nasr. Menurut Nars, manusia modern telah kehilangan visi ketuhanan, yaitu aspek atau dimensi transendental daripada kehidupannya. Karena kehilangan visi ketuhanan itulah manusia modern sangat mudah dihinggapi perasaan kosong atau hampa dalam hidupnya.

bersambung ke bag 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This