TRAVELLING, FLP.or.id – Keriuhan menyambut saya saat keluar dari stasiun kereta Venezia St. Lucia. Musim panas memang hampir berlalu, tapi aura liburan masih sangat terasa di kota yang menjadi tujuan utama wisata di Italia. Ribuan turis lalu lalang, keluar masuk dari stasiun.
Jalan Kaki Saja!
Setelah dua kali memutari stasiun untuk mencari-cari tempat penitipan barang, saya dan teman sejenak duduk di tangga depan stasiun. Aroma laut menguar dari Grand Canal, kanal utama, tepat di hadapan. Semalam sebelumnya saya menginap di Mestre, kota kecil yang terletak sekitar 6 km dari Venesia. Meski harus mengeluarkan ongkos kereta 1,2 euro dari Mestre ke Venesia, tapi saya dapat menghemat 15 euro bila menginap di Venesia. Ya, Venesia memang salah satu kota tujuan wisata di Italia dengan biaya yang cukup mahal. Toilet di stasiun saja mematok tarif 1,5 euro atau sekitar Rp25.000,- dengan kurs saat ini.
Suara bising turis berbicara, bunyi mesin pavoretto (bus air) dan water taxi, serta deburan air yang terempas saat angkutan umum tersebut lalu lalang, menambah sumringah hati saya. Jadi, inilah Venesia, salah satu kota yang ada di dream list saya. Bila hanya punya waktu sehari di Eropa, datanglah ke Venezia, pernyataan yang beberapa kali saya baca. Seakan menasbihkan Venesia sebagai salah satu destinasi paling populer di dunia. Setiap tahun hampir 3 juta turis datang ke kota kelahiran Marco Polo ini.
Lima belas menit saya terpaku, menikmati pemandangan. Persis di seberang stasiun, gereja San Simeone Piccolo, bangunan berwarna hijau dengan kubah besar langsung mencuri perhatian. Namun mata saya juga menangkap kekhasan beberapa bangunan lain di sekitar stasiun. Terasa familier dengan arsitektur beberapa bangunan tersebut. Sebuah rumah berdinding merah dengan lengkungan di atas pintu dan jendela yang seperti tapal kuda, mengingatkan saya pada arsitektur bangunan di Timur Tengah dan Maroko.
Saya dan teman pun memutuskan untuk bergerak. Kami punya waktu 8 jam untuk menikmati Venesia. Setelah bolak-balik ke konter pembelian tiket pavoretto, kami memutuskan untuk menikmati Venesia dengan kaki. Selain (lagi-lagi) untuk menghemat, saya yakin Venesia memang akan lebih dapat dinikmati dengan berjalan kaki. Sebelumnya saya berbekal peta Venesia seharga 3 euro yang saya beli di pusat informasi.
Ponte dei Scalzi adalah jembatan pertama yang saya lintasi. Beberapa penjual mainan bola karet tampak di sekitar jembatan. Bola karet tersebut mereka lempar-lemparkan sambil berteriak “one euro, one euro!”. Mereka adalah imigran asal Bangladesh yang ternyata cukup banyak tersebar di Italia. Saya sempat heran, apa bisa mereka hidup hanya dengan berjualan bola karet seharga satu euro—yang kelihatannya juga tak begitu menarik bagi turis. Namun kemudian saya mendapat informasi, imigran Bangladesh tersebut cukup tangguh hidup di Italia. Biasanya mereka menyewa rumah dan ditinggali bersama, sehingga menghemat biaya hidup.
Vaporetto, water taxi, dan gondola yang hilir mudik terlihat lebih jelas dari atas Ponte dei Scalzi. Kafe, hotel, dan rumah-rumah di pinggir kiri dan kanan Grand Kanal kembali membuat saya terpaku. Saya membayangkan ratusan bahkan ribuan tahun lalu keramaian ini telah ada. Pada abad ke-7 hingga ke-18 Venesia adalah sebuah republik yang independen. Jauh sebelum kota-kota pelabuhan di Eropa Barat berjaya, Venesia telah menjadi pusat perdagangan antarbenua dan mendominasi perairan mediterania. Pedagang-pedagang Venesia berlayar hingga ke Suriah, Libanon, dan Mesir, membawa rempah-rempah, sutra, hingga karpet untuk dijual ke pasar-pasar Eropa. Venesia pun menjadi kota kosmopolitan berbudaya. Penjelajah Marco Polo, komponis Antonio Vivaldi, penulis Giacomo Cassanova, dan pelukis Titian, adalah sedikit dari tokoh-tokoh yang lahir di Venesia.