Oleh TOPIK MULYANA, FLP.or.id – Secara stilistik, puisi “KBNI” kaya dengan majas kontradiksi. Secara tematik, ia berbicara tentang sikap kontradiktif kaum Islam Simbolik. MB menilai mereka terlampau mengedepankan simbol agama, namun pada saat yang bersamaan menistakan substansi ajaran agama. Perhatikan bait pertama berikut.
Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
Mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain
di negeri-negeri lain, demi mendapatkan ridhaMu,
mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka
Untuk berebut tempat terdekat di sisiMu
mereka bahkan tega menyodok dan menikam
hamba-hambaMu sendiri. Demi memperoleh rahmatMu
mereka memaafkan kesalahan dan
mendiamkan kemungkaran
bahkan mendukung kelaliman.
Untuk membuktikan keluhuran budi mereka
terhadap setanpun mereka tak pernah
berburuk sangka.
Bait tersebut terdiri atas lima proposisi yang masing-masing ditandai dengan huruf kapital pada kata pertama dan sebagian diberi penanda akhir tanda titik (.). Jika diuraikan, akan tampak seperti rincian berikut.
1) Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
2) Mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain di negeri-negeri lain, demi mendapatkan ridhaMu, mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka
3) Untuk berebut tempat terdekat di sisiMu, mereka bahkan tega menyodok dan menikam hamba-hambaMu sendiri.
4) Demi memperoleh rahmatMu, mereka memaafkan kesalahan dan mendiamkan kemungkaran bahkan mendukung kelaliman.
5) Untuk membuktikan keluhuran budi mereka, terhadap setanpun mereka tak pernah berburuk sangka.
Proposisi pertama memberikan informasi bahwa kaum beragama negeri ini betapa baik. Frase betapa baik ternyata tidak bermakna lugas (denotatif), tetapi kias (konotatif). Sifat konotatifnya pun tidak berupa perbandingan atau pertautan, tetapi pertentangan (kontradiksi). Proposisi 2) hingga 5) merinci adjektiva betapa baik tersebut.
Pada proposisi 2), terdapat dua subproposisi yang maknanya bertentangan: demi mendapatkan ridhaMu, mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka. Mendapatkan ridha Allah adalah tujuan utama hidup seorang muslim, sedangkan mengorbankan saudara seagama adalah sikap yang menjauhkan ridha Allah. Secara historis, bisa jadi kata mengorbankan bermakna melakukan tindak penangkapan, penyiksaan, hingga pembunuhan.
Hal itu terlihat pada subproposisi pertama Mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain di negeri-negeri lain. Menurut tafsir penulis, adverbia di negeri-negeri lain merupakan negeri-negeri Timur Tengah yang tengah dilanda konflik panjang. Sebagian besar konflik terjadi antarsesama kaum muslim sendiri, seperti konflik Sunni-Syiah di Irak dan Syuriah dan konflik Faksi Fatah dan Faksi Hammas di Palestina. Pada masa kini, konstelasi konflik di Timur Tengah semakin rumit dengan runtuhnya otokrasi-otokrasi negara-negara Arab yang dikenal Arab Spring dan munculnya kelompok ISIS. Hal itu jauh berbeda dengan situasi keberagamaan kaum muslim di Indonesia yang dikenal santun, toleran, dan damai.
Namun, MB menilai bahwa kaum beragama di negeri ini (Indonesia) sudah seperti di negeri-negeri Timur Tengah tersebut: kasar, intoleran, anarkistis, dan destruktif. Spektrum makna lain dari proposisi rela mengorbankan saudara-saudara mereka adalah terjadinya kompetisi kebenaran antar ketiga kelompok kelas menengah muslim seperti yang telah disebutkan. Kelompok Islam Simbolik yang dikenal intoleran dan keras rela mengorbankan kelompok Pos-Islamis dan Neotradisonalis yang dianggapnya tidak islami, bahkan munafik. Dengan menyingkirkan kelompok yang dianggapnya munafik, mereka yakin bahwa mereka akan mendapatkan ridha Tuhan.
Proposisi 3), 4), dan 5) disusun oleh dua subproposisi dan polanya sama, yakni bermaksud mencapai tujuan tertinggi dalam Islam dipertentangkan dengan sikap sebaliknya. Berikut rinciannya (penulis menggunakan tanda >< sebagai pengganti kata bertentangan atau berkontradiksi dengan).
3): berebut tempat terdekat di sisiMu >< tega menyodok dan menikam hamba-hambaMu sendiri
4): memperoleh rahmatMu >< memaafkan kesalahan dan mendiamkan kemungkaran bahkan mendukung kelaliman.
5) membuktikan keluhuran budi mereka >< terhadap setanpun mereka tak pernah berburuk sangka
Bait ke-2 berbicara tentang kontradiksi yang terjadi karena kesenjangan sosial dan ekonomi antara sesama kaum muslim. Semangat kaum kelas menengah muslim simbolik untuk memopulerkan simbol-simbol Islam ke dalam wujud bangunan megah perkotaan memiliki dampak kontradiktif dengan nilai-nilai substantif agama, yakni mengabaikan sesamanya dari kalangan bawah. Perhatikan kutipannya berikut
Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
Mereka terus membuatkanMu rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang untuk
meneriakkan namaMu
menambah segan dan keder hamba-hamba kecilMu
yang ingin sowan kepadaMu
NamaMu mereka nyanyikan dalam acara hiburan
hingga pesta agung kenegaraan
Keterpesonaan dan keterikatan mereka pada simbol-simbol agama diwujudkan dengan membangun rumah ibadah (mesjid) dalam jumlah banyak dan dengan megah; dan menyanyikan nama Allah dalam acara hiburan dan pesta agung kenegaraan. Unsur pengontradiksi dari semua itu menambah segan dan keder hamba-hamba kecilMu yang terdapat dalam larik ke-7 dan ke-8.
Selain kontradiksi antara kaum muslim kaya >< kaum muslim miskin/rendah, juga terdapat kontradiksi antara sifat Tuhan yang Mahakaya dan tidak memerlukan bantuan apa pun >< upaya kaum muslim kaya yang membuat masjid megah seolah-olah Tuhan emerlukannya dan akan senang menerimanya. Frase pesta agung kenegaraan dalam larik terakhir merupakan terma yang terkait dengan orang yang memiliki status sosial tinggi. Penulis tidak merinci proposisi seperti yang dilakukan terhadap bait pertama karena kontradiksi pada bait kedua ini lebih implisit.
Bait ke-3 dan ke-4 membicarakan tema yang sama, yakni bias spiritualisme kaum kelas menengah muslim, yang oleh Heryanto dimasukkan sebagai orang kaya
baru (Ariel Heryanto, 2015). Bait tersebut akan dirinci berdasarkan jumlah proposisi yang terdapat di dalamnya tanpa harus mengutip baitnya secara keseluruhan karena proposisi-proposisi ini terpenggal dengan rapi (masing-masing terbagi dalam dua larik), tidak seperti pada bait pertama yang beberapa proposisinya berada dalam satu larik.
1) Mereka merasa begitu dekat denganMu/hingga masing-masing merasa berhak mewakiliMu
2) yang memiliki kelebihan harta/membuktikan kedekatannya dengan harta yang Engkau berikan
3) yang memiliki kelebihan kekuasaan/membuktikan kedekatannya dengan kekuasaan yang Engkau limpahkan
4) yang memiliki kelebihan ilmu/membuktikan kedekatannya dengan ilmu yang Engkau karuniakan.
Proposisi 1) berisi penilaian lugas terhadap kaum kelas menengah muslim bahwa mereka merasa dekat dengan Tuhan, tidak lagi berupa sindiran seperti yang terdapat dalam proposisi pertama bait pertama dan kedua. Tidak disebutkan, misalnya, betapa dekat mereka denganMu, tetapi mereka merasa begitu dekat denganMu.
Kedekatan dengan Tuhan merupakan citacita dari setiap umat beragama. Dalam banyak literatur tasawuf, kedekatan dengan Tuhan harus ditempuh dengan jalan yang panjang dan sulit. Maka dari itulah dikenal adanya konsep riyadlah (pelatihan) dan mujahadah (perjuangan). Di sinilah letak penilaian penyair terhadap kaum muslim kota, yaitu mereka tidak dekat, tapi hanya merasa (begitu) dekat. Lantas, bagaimana gejala merasa dekat bisa terjadi? Barangkali hal ini bisa dijawab dengan merujuk pada salah satu tesis Durkheim, yaitu bahwa ide dan praktik agama merujuk pada simbolisasi oleh kelompok sosial. Jadi, rasa itu muncul karena mereka sudah memegang dan menjunjung simbol-simbol agama (membangun masjid, meneriakkan nama Tuhan, dsb.).
Perwujudan merasa begitu dekat ini diperlihatkan dengan kelebihan yang dimilikinya masing-masing sehingga muncullah berbagai gejala simbolisasi ajaran agama di berbagai bidang, yang masingmasing tampak pada proposisi 2): ekonomi, 3): politik, dan 4): ilmu pengetahuan dan teknologi (kesemua bidang itu sangat lekat dengan kehidupan kaum modern perkotaan). Pada bait keempat, penyair mengelaborasi bidang politik. Jika pada bait ketiga proposisi 3) disebut kekuasaan, pada bait keempat ini disebut kekuatan.
Kemungkinan, hal ini dilakukan penyair karena aspek kekuatan menimbulkan dampak paling destruktif dari simbolisasi agama karena jangkauannya lebih luas dan bersifat fisik. Selain itu, Mereka yang Engkau anugerahi kekuatan seringkali bahkan merasa diri Engkau sendiri mereka bukan saja ikut menentukan ibadah tapi juga menetapkan siapa ke sorga siapa ke neraka mereka sakralkan pendapat mereka dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong bagai perut bedug
Dua baris terakhir merupakan klimaks dari sindiran penyair terhadap kaum Islam Simbolis ini, yaitu bahwa praktik ibadah berlandaskan pengetahuan yang kosong bagai perut bedug. Puisi ini ditutup dengan sebuah larik yang berbunyi Allahu Akbar Walillahil Hamd. Kalimat tersebut lazim diucapkan umat Islam pada saat-saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Jika melihat titimangsa, yaitu Menjelang Idul Adha 1418/1998, puisi ini dibuat pada saat umat Islam bertakbir, bertahlil, dan bertahmid atau yang populer disebut takbiran. Artinya, bisa jadi puisi ini merupakan refleksi dari MB sebagai agamawan yang gelisah melihat situasi kebergamaan kaum kelas menengah muslim simbolik yang terlalu mengedapankan simbol namun mengabaikan substansi ajaran agama. Hal itu juga dapat dikaitkan dengan filosofi Idul Adha, yaitu hari raya kurban. Kurban selalu dikaitkan dengan semacam ujian atas kerelaan/keihklasan kaum muslim dalam beribadah kepada Allah.
Namun, gambaran yang diperlihatkan dalam puisi ini menunjukkan sebaliknya. Larik Allahu Akbar Walillahil Hamd juga dapat dibaca sebagai bentuk penyerahan segala masalah yang dipikirkan penyair kepada Allah.