Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Film 5PM: Mencintai Masjid, Mencintai Indonesia

Oleh Yanuardi Syukur

(Koordinator Divisi Litbang FLP Pusat. IG: @yankoer)

 

Film yang baik adalah film yang mengubah benci jadi cinta, malas jadi rajin, ragu-ragu jadi yakin.

Saya seorang sufi, suka film, walau tidak pintar meneliti film. Tapi, setelah menonton Gala Premier “5PM” atau “Lima Penjuru Masjid”, saya mencoba untuk sedikit beri pendapat. Katanya, salah satu kunci sukses sebuah film adalah ketika film itu menggerakkan penonton untuk mengikuti apa keinginan dari film tersebut.

Film 5PM ini bercerita tentang para pemuda yang menemukan masjid sebagai tempat yang damai bagi hidup mereka. Karakter para pemuda dalam film ini digambarkan sebagai pemuda yang punya masalah akan tetapi mereka dapat solusi dari masjid. Dari sini tampak bahwa salah satu tujuan dari film ini adalah untuk mengajak kaum muslim untuk mencintai masjid, memakmurkan masjid, dan menjadikan masjid sebagai miniatur peradaban umat Islam. Bisa disebut, ini adalah film gerakan kesalehan berbasis masjid.

Sebagai penonton awam, saya merasakan beberapa hal menarik dalam film ini. Dalam sebuah dialog ada cerita ketika salah seorang di antara aktor yang sedang duduk di masjid (tidak salat), kemudian didatangi oleh anak remaja yang bertanya, kenapa tidak ikutan salat. Si tokoh pun marah, dan kesal karena dia sedang diliputi masalah keuangan. Diceramahin oleh anak kecil pastinya tidak enak, apalagi utang menumpuk.

Tak lama kemudian, si aktor itu mendengar obrolan beberapa jama’ah yang bilang bahwa pelajar itu sudah meninggal. Unsur kejutan dalam film ini cukup menarik bagi saya, karena tidak disangka-sangka: seorang anak yang ajak salat tapi ternyata dia sudah meninggal. Percaya enggak percaya, dalam kehidupan nyata yang kayak gitu memang ada. Agak horor dikit tapi tradisi lisan masyarakat kita banyak membenarkan kejadian seperti itu.

Kemudian, kejutan lainnya adalah ketika salah seorang 5PM itu buru-buru keluar rumah (pas azan subuh) dan menabrak seorang lelaki tua yang hendak ke masjid. Jatuh berkas si lelaki. Gagal lagi usahanya. Suatu ketika dia dengar kabar bahwa lelaki yang dia tabrak sampai jatuh itu adalah seorang profesor. Di sini, 5PM hendak mengatakan bahwa orang yang ke masjid itu bukan cuma mereka yang berpendidikan biasa, akan tetapi yang profesor juga ada, bahkan banyak.

Pada bagian itu, film ini terlihat hendak memotret kesalehan orang pintar. Jadi orang pintar itu harus dibarengi dengan jadi orang saleh. Kita enggak cukup hanya pintar, tapi kita harus jadi saleh. Akan tetapi, kritikan saya untuk ini adalah: “Kenapa profesornya tidak diambil yang muda?” Sekarang banyak profesor muda yang 40-an awal, atau bahkan di bawah 40. Jika profesor sepuh yang diangkat, maka orang bisa saja akan bilang, “Ya wajarlah, sudah sepuh, pasti akan ke akhirat mikirnya.” Maka, kalau profesor muda yang diangkat, ini semakin menambah bobot “pemuda dan masjid”, orang-orang muda yang mencintai masjid.

Secara pribadi, saya senang dengan film ini karena mengingatkan saya untuk Salat Subuh di masjid (sesuatu yang tidak mudah), menguatkan hati agar mencintai masjid. Namun, tidak banyak dieksplorasi bagaimana masalah yang dialami oleh 5 pemuda itu terselesaikan. Misalnya, bagaimana si pencuri celengan masjid (yang ingin menikah) itu pada akhirnya jadi menikah(lewat bantuan kawan-kawannya) atau tidak; bagaimana yang mau kuliah di Inggris bisa kuliah atau tidak; yang dipecat dari kerjaannya kemudian bekerja apa, dst. Memang, tidak tereksplorasi lebih jauh tentang itu.

Kemudian, aktivitas pemuda itu di masjid tidak banyak dieksplorasi. Adegan mereka mengajar mengaji tidak banyak terlihat. Padahal, dunia masjid adalah dunia mengaji. Mungkin bisa diangkat, misalnya tentang bagaimana cara belajar/mengajar mengaji yang efektif dalam beberapa detik saja. Dengan begitu, “unsur masjid” yang tidak lepas dari mengaji juga hadir. Beberapa tilawah Al-Qur’an yang tidak tepat pengucapannya juga ada dalam film ini. Bagi mereka yang pernah belajar tajwid, ada adegan tilawah yang tidak tepat panjang-pendeknya.

Karakter Mey (Ressa Rere), yang menjadi rebutan Bewok dan Gani juga tidak banyak muncul. Akan tetapi, kehadiran Jumin (Arafah Rianti) cukup menyegarkan adegan film ini dengan dialog-dialog yang lucu. Secara umum, kehadiran perempuan dalam film ini memang agak kurang. Mungkin karena fokusnya memang hendak fokus bercerita pada para pemuda yang sebelumnya tidak cinta kemudian jadi cinta masjid.

Saya pribadi, sebagai penonton Gala Premier 5PM merasa senang bisa nonton film ini. Menyentuh. Kita jadi ingat untuk kembali mencintai masjid, juga berbakti kepada ibu. Yang cukup penting juga bagi saya adalah soal bagaimana bakti kita kepada orang tua. Misalnya, soal salat jenazah. Tidak banyak anak yang tahu bagaimana menjadi imam salat jenazah. Yah, namanya hidup kan nggak ada yang bisa nebak, tetapi kesiapan kita untuk menjadi imam atau turut serta dalam membersihkan jenazah orangtua adalah penting.

Saya teringat suatu fakta, ketika seorang ibu wafat, anak-anaknya tidak ikutan ke masjid untuk Salat Jenazah. Mereka hanya membiarkan ibunya disalatkan oleh orang lain, bukan oleh anak-anaknya. Padahal, kalau mau direnungkan: orangtua kita pasti sangat senang ketika kita bisa jadi orang yang tahu agama, mengamalkan agama, dan kalaupun mereka pergi lebih awal, anaknya (yang laki-laki) dapat menjadi imam bagi jenazah oran tuanya, bahkan kalau perlu juga menurunkan jenazah orangtuanya di liang lahad.

Sinematografi film ini juga bagus. Pengambilan gambarnya bagus-bagus. Mungkin pakai drone yang canggih. Cuma, ada beberapa adegan yang suaranya agak kurang. Tapi itu saya kira tidak mengurangi makna dan tujuan dari film bagus ini.

 

Setelah nonton, kawan saya bertanya, “Kalau beri nilai, film ini berapa menurut, Mas?”

Saya jawab, “9.5.”

“Kok bisa?” tanya kawan saya.

“Iya, karena film ini ngajak saya untuk bisa Salat Subuh berjamaah di masjid. Itu luar biasa. Hidup di kota ini kadang bikin kita malas untuk ke masjid, padahal salat berjamaah di masjid itu luar biasa keutamaannya. Bahkan, dua reka’at sebelum subuh itu kata Nabi, lebih mulia dari dunia dan seisinya.”

Akhirul kata, saya ingin mengucapkan selamat buat seluruh kru film 5PM. Ini gerakan kesalehan, bagus untuk diviralkan. Siapa mencintai masjid, dia mencintai Indonesia. Siapa mencintai Indonesia, baik untuk menonton Lima Penjuru Masjid. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This