AS Laksana membuat pengakuan yang menghebohkan. Cerpen berjudul “Bidadari Bunga Sepatu” yang dimuat Jawa Pos hari ini (6/6/2021) ternyata bukan karyanya.
Ia sengaja mengirim cerpen itu ke Jawa Pos dengan mencantumkan namanya sebagai penulis. Tetapi sebenarnya, cerpen itu adalah karya muridnya di kelas menulis. AS Laksana hanya menyumbang paragraf pertama dan membantu mengeditnya.
Dalam pengakuannya, yang ia tulis di FB, ia berkilah dengan alasan bahwa itu adalah caranya bersenang-senang, sekaligus membuktikan bahwa Jawa Pos dan media arus utama lainnya memuat karya lebih karena melihat nama besar. Itulah yang membuat “Bidadari Bunga Sepatu” dimuat dengan cepat.
Sebagian orang mungkin kagum dengan keberanian dan keterusterangan AS Laksana, tapi saya tidak.
Ia membangun retorika seolah-olah telah berjasa besar mengangkat karya dan nama muridnya itu. Sebagai guru, ia merasa tetap lebih hebat. Apalagi sebagai editor dan penyumbang paragraf pertama. Padahal, tak selalu guru harus lebih hebat dari muridnya. Bahkan banyak terjadi, guru dikalahkan oleh muridnya. Jika AS Laksana ingin membuktikan kualitas karya muridnya, mengapa tak ia suruh muridnya itu mengirim cerpen atas namanya sendiri?
Apapun alasannya, AS Laksana telah melakukan plagiarisme atas nama eksperimen dan bersenang-senang. Pengakuan tak akan lantas membuat ia kembali bersih. Apalagi tanpa satu pun kata “maaf”. Bagaimana ia harus bertanggung jawab pada setiap pembaca cerpen “Bidadari Bunga Sepatu” yang mungkin tak semua membaca pengakuannya, lalu mereka terlanjur meyakininya sebagai karya AS Laksana? Bagaimana pula seharusnya ia menebus kesalahannya pada redaktur Jawa Pos yang telah ia kelabuhi dan ia bohongi?
Beberapa tahun lalu, ketika masih mahasiswa, saya pernah menyurati AS Laksana. Saya mengkritik salah satu esainya yang serampangan dan sesat logika. Jujur, waktu itu saya penikmat karya-karyanya. Tetapi jawaban darinya, membuat saya berhenti menjadi penggemarnya. Ia penulis yang gemar mengkritik tapi tak mau dikritik. Dan ia balik menyerang saya, sebagai seorang yang hijau di dunia kepenulisan.
Seperti itu pula tulisan panjang pengakuan yang ia paparkan lewat status Facebook. Bukan pengakuan kesalahan, tapi pembenaran terhadap apa yang telah ia lakukan. Maka menurutnya, plagiarisme yang didasarkan atas eksperimen dan main-main seperti itu sah dilakukan. Sungguh, kenyataan ini telah mencederai intelektualitas penulis dan sastrawan! Sebuah pembodohan.
Sidoarjo, 6 Juni 2021
Rafif Amir
Dia orang yang lumayan cerdas di bidangnya, menurut saya. Tetapi, anti kritik dan keegoisannya menggerus kecerdasaanya itu. Maka dari itu saya hanya ‘bersenang-senang’ setiap membaca karyanya. Sebatas itu saja. Tak pernah menjadi pengaggum.
A.S Laksana, nggak pernah tahu lagi kabarnya. Saya suka karyanya, tapi tak pernah menganggumi tulisannya.
Bila nilai ideologi ditukar bagai barang dagangan…..ya begitu jadinya….as laksana membuktikan itu….
Dalam berbagai aspek kehidupan yg serba materialistik seperti saat ini, rasanya sulit menjumpai nilai ideologi lagi…parpol2 zaman awal kemerdekaan jelas sekali corak ideologinya dan mereka berjuang menegakkan idieologi tersebut sampai mati, beda zaman sekarang, ideologi parpol hanya stempel, yang penting meraup suara terbanyak…. zaman meterialisme seperti saat ini semua diukur bagai barang dagangan, ideologi tak penting….yang penting jualannya laku….