Oleh TOPIK MULYANA, FLP.or.id – Seiring runtuhnya Orde Baru dan lajunya reformasi, berbagai pandangan hidup atau ideologi pun mengemuka. Di antara ideologi tersebut, yang berkembang pesat adalah ideologi berbasis keagamaan, dalam hal ini Islam, memiliki basis massa yang besar (Al-Zastrouw, 2006: 2). Hal itu terutama terjadi di kota yang masyarakatnya tidak memiliki basis ilmu agama, namun memiliki semangat yang kuat dalam beragama. Gejala yang menonjol dari maraknya penganutan ideologi ini adalah terjadinya kompetisi antara penganut Islam ideologis dan pihak-pihak di luarnya, baik dengan sesama penganut agama Islam maupun dengan non-penganut Islam, dalam memperebutkan kekuasaan politik. Para ilmuwan muslim menyebut ideologi sejenis ini disebut Islam Politik, Islam Ideologis, Islam Radikal, Islam Garis Keras, dan Islam Simbolik.
Di samping mereka, ada juga kelompok muslim di perkotaan yang sama-sama berbasis keagamaan, tetapi memiliki orientasi yang berbeda. Jika kelompok pertama berorientasi pada upaya mendukung formalisasi agama, yang kedua lebih pada praktik yang mengarah pada perilaku simbolis saja. Istilah umum yang melekat pada kelompok pertama disebut Islamisasi dan yang kedua disebut PosIslamisme.
Kedua kelompok inilah yang merupakan tipologi muslim kelas menengah (Jati, 2017: 86). Situasi menjadi lebih kompleks ketika muncul kelompok muslim kelas menengah yang bertransformasi dari masyarakat muslim tradisional atau yang berbasis agama (pesantren). Kelompok ini tetap berpegang pada pandangan tradisionalis, namun hidup dalam persaingan ideologis dengan kelompok muslim perkotaan lainnya.
Kelompok inilah yang disebut dengan Neotradisionalis. Sebagai proyeksi atas pandangan hidup seseorang terhadap berbagai gejala kehidupan, karya sastra takluput memotret hal ini. Berbagai gambaran dan tanggapan atas kelas menengah muslim, terutama kelompok pertama, terekam dalam berbagai genre karya sastra. Sastrawan yang secara konsisten menggambarkan sekaligus menanggapi hal tersebut adalah penyair sekaligus tokoh agama K.H. Mustofa Bisri, baik melalui puisi maupun cerpen. Dalam penelitian ini, genre yang akan dibahas adalah puisi.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskripftif, yakni mengumpulkan, memilah dan memilih, mendeskripsikan, kemudian menganalisis data dengan alur induktif (Kurnia, 2010: 61—64). Teori yang akan digunakan untuk menganalisis data-data tersebut adalah sosiologi sastra. Secara umum, sosiologi sastra membahas kaitan antara sastra dan masyarakat. Wellek dan Warren membagi tiga ragam pendekatan dalam sosiologi sastra, yakni a) sosiologi pengarang: memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya, b) sosiologi karya sastra: memasalahkan karya sastra itu sendiri, dan c) sosiologi pembaca: memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya (Faruk, 1999: 4) dan (Wallek & Warren, 1995: 109—133). Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah sosiologi pengarang dan sosiologi karya, dengan penekanan pada sosiologi karya.
Objek yang akan dibahas adalah tiga buah puisi karya Mustofa Bisri, yaitu a) “Puisi Islam” (selanjutnya akan disebut “PI”)
yang terdapat dalam buku Tadarus (Bisri, 1993), b) “Kaum Beragama Negeri Ini” (selanjutnya akan disebut “KBNI”), dan c) “Apakah Kau Terlalu Bebal” (selanjutnya akan disebut “AKTB”). Puisi b) dan c) terdapat dalam buku Negeri Daging (Bisri, 2002).
Pertama kali dimuat di Jurnal Metasastra, 2017.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiyah Tangerang. Ia juga Staf Divisi Litbang Badan Pengurus Pusat FLP 2017-2021.