Menurut kamus, santun berarti halus dan baik budi bahasanya, tingkah lakunya. Santun juga bisa berarti sopan, sabar dan tenang, menaruh rasa belas kasihan, dan suka menolong. Santun tidak berarti kaku dan dogmatis.
Terkadang, seseorang semaunya menggunakan dalil agama, tanpa mengindahkan kehalusan, kebaikan, kesabaran, dan ketenangan. Meskipun demikian, sastra santun juga tidak boleh hanya berbekal kehalusan budi bahasa sembari meninggalkan rekam jejak yang kurang baik bagi pembaca.
T.S Elliot dalam Lathief (2008) mengatakan, bahwa ukuran karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan agama. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah ‘baik’ sesuai dengan etika keagamaan itu. Sumber etika maupun budaya adalah agama.
Menurut HAMKA, baik itu syair, filsafat, tasawuf, lukisan dan setiap karya seni, termasuk sastra, itu diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan besar. Seorang seniman dan sastrawan haruslah tidak gelisah hidupnya, rela menerima hidup dan giat berusaha, bermuka jernih yang berasal dari jiwa yang jernih. Karya-karya HAMKA sendiri mencerminkan kesantunan yang indah ketika beliau berupaya menyampaikan pesan dan pelajaran.
Ada beberapa hal yang dapat dicatat dari pemikiran HAMKA, mengingat relevansinya dengan sastra santun. Sastra yang halus dan indah, haruslah memberikan perubahan yang menggenapkan. Kehadiran seorang sastrawan yang santun hendaklah memberikan arti, sehingga ketika ia pergi, tersisa keganjilan dan kekosongan yang mendalam. Seorang sastrawan yang menghasilkan sebuah karya haruslah menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi bayang-bayang dari orang lain. Sang sastrawan juga mesti berani melepaskan adat kebiasaan yang buruk; menyuburkan habitus gemar membaca buku; memiliki arah orientasi, dan tidak menjadi benalu. Kelima karakter tadi akan dielaborasi secukupnya dalam tulisan ini.
Jatidiri penulis
Seorang penulis atau sastrawan, perlu menemukan jatidiri, tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Tentu boleh memelajari karya-karya sastra lama seperti Babad Tanah Jawa dan I La Galigo, membaca pemikiran Sartre maupun Machiavelli. Boleh juga membaca Daniel Defoe, Rudyard Kipling, Peter Suskind, hingga Haruki Murakami. Termasuk membaca karya-karya Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Habiburrahman el Shirazy, ataupun Afifah Afra. Tetapi seorang penulis, secepatnya harus belajar demi menemukan dirinya sendiri. Apakah dalam pembelajarannya ia akan mencontoh gaya brilian namun extraordinary Peter Suskind? Atau gaya blak-blakan Machiavelli? Atau penuh bahasa sastrawi seperti HAMKA?
Berlepas dari adat yang buruk
Melepaskan adat kebiasaan yang buruk, juga sepatutnya dilakukan seorang sastrawan. HAMKA menuliskan, bahwa pikiran yang cemerlang sejalan dengan fisik yang sehat. Kebiasaan para penulis mengonsumsi kopi secara berlebihan, rokok, makanan yang kurang sehat, dapat diganti dengan air putih, asupan nutrisi yang terjaga, dan olahraga. Kebiasaan para seniman yang tidak sehat; harus ditukar dengan pola hidup seimbang, agar tetap menghasilkan kary-karya cemerlang. Begitupun, karya-karya masa lalu yang sekiranya tidak relevan untuk diadaptasi, tidak selalu harus diambil. Babad Tanah Jawa adalah salah satu buku klasik yang indah, memuat kisah-kisah heroisme dan kamasutra. Di masa lalu, dengan terbatasnya media hiburan, karya kamasutra dimungkinkan untuk memberikan informasi bagi pasangan suami istri. Karya-karya kamasutra yang dapat dikonsumsi secara bebas oleh pembaca, tidaklah harus diambil oleh seorang penulis dan diproduksi ulang dengan harapan agar karyanya lebih laku di pasaran.
Tradisi membaca buku
Buku, adalah harta karun yang memuat kekayaan intelektual. Seharusnya seorang penulis karya sastra membiasakan membaca buku-buku; tak terkecuali buku-buku agama. Mengutip pandangan TS Elliot yang berpendapat bahwa karya sastra haruslah memuat nilai etika dan agama di dalamnya, sebab karya sastra adalah hasil kesadaran jiwa masyarakat, sejarah mentalitas, cermin masyarakat dan dokumen sosial budaya Lathief (2008). Membaca beragam buku akan memelihara rangkaian sinaps sel saraf, memperkaya kahazanah kognisi serta mengolah informasi-informasi berharga untuk disimpan dalam long term memory.
Memiliki arah
Seorang manusia, seniman, sastrawan, juga produk karya yang dihasilkannya, haruslah memiliki arah. Setiap karya seni memiliki arah. Apakah itu arah yang menimbulkan agresivitas, permusuhan, kebingungan, kehampaan, arousal; ataukah arah yang memunculkan persatuan, persahabatan, ketenangan, penemuan jawaban, dan penghiburan atas pencarian (termasuk pencarian yang menggebu-gebu, tak hanya dijawab dengan karya kamasutra).
Kutipan Serdar Ozkan (2012) ini mungkin akan sedikit memberi jawaban akan kehidupan :
“…setiap kebahagiaan yang kita kenal di dunia ini hanyalah aroma yang akan lenyap; aroma yang ditinggalkan Kebahagiaan saat ia berjalan-jalan di dunia kita. Pada waktunya, sosok abadi lain seperti Keindahan, Kekayaan dan Kebebasan juga akan meninggalkan dunia ini, masing-masing meninggalkan aroma mereka.”
Tak menjadi benalu
Karya sastra mengandung semangat verba volant, scripta manent. Tulisan, setelah diluncurkan ibarat kata-kata yang memanah ke beragam penjuru arah. Baik kata-kata yang dilontarkan di media sosial sekalipun hanya singkat di twitter atau sebaris kalimat unggah di facebook, opini di blog, ataupun komentar terhadap postingan orang lain. Baik itu konten berupa cerpen, cerbung, novelet, novel, artikel, maupun opini. Tak selayaknya seorang penulis atau sastrawan menjadi benalu bagi pihak lain, dalam artian menghujatkan kritik tanpa keinginan memperbaiki, mencemooh tanpa melapangkan ruang untuk berkreasi. Sekalipun tak setuju dengan karya orang lain, selayaknya tetap berbudi pekerti halus dan terpuji, agar sastra santun semakin memiliki tempatnya di hati pembaca, sebagai sastra yang memberikan pemenuhan dalam perenungan.
Epilog
Bagi banyak orang, dunia kini seolah dalam genggaman telapak tangan. Dengan fitur-fitur kaya di dalam gawai, manusia semakin memiliki alternatif mengisi waktu, entah itu berupa aktivitas komunikasi, menambah ilmu, ataupun mencari hiburan. Plus minus, pro kontra perangkat digital akan terus mengundang polemik. Era digital merangsang manusia untuk menelan informasi serba cepat, serba instan, dan hanya memiliki sekian detik untuk menyimpannya di short time memory.
Alih-alih menyerah dan antipati kepada teknologi, kita dapat mengisinya dengan pengarusutamaan konten sastra santun, lengkap beserta segala ciri khas dari setiap penulisnya. Itulah konten yang memiliki arah bagi kekayaan intelektual, keluhuran budi pekerti, serta tidak merusak hubungan antar manusia. Bahkan lebih dari itu, menjadi konten yang membangun hubungan manusia dengan lingkungannya, dan dengan Tuhannya, hingga ke taraf yang lebih baik lagi.
Artikel ini merupakan sebagian kecil dari makalah yang akan dibagikan dalam Wicara Utama Seminar Nasional “Sastra Santun di Era Digital” pada hari Sabtu, 27 Februari 2016, di Auditorium Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, dalam rangka Acara Puncak Tingkat Nasional Milad ke-19 Forum Lingkar Pena.