Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Cerpen

Cerpen Lita Lestianti : Pria yang Disebut Keluarga

Cerpen Lita Lestianti : Pria yang Disebut Keluarga

Cerpen
"Mana orang yang kamu percaya itu?" Mata seorang wanita melotot sambil menjulur-julurkan kepalanya ke arah barat rumah. Seolah-olah orang yang dibicarakan itu ada di barat rumah. "Kita bisa makan, dia tidak urus. Kita tidak bisa makan, dia juga tidak peduli. Kita sekarat sekalipun juga dia tidak urus. Tidak lagi menghubungimu semenjak suaramu kalah!" Kepulan asap rokok yang keluar dari mulut pria di depan wanita itu menyesakkan ruangan. Hembusan nafasnya sengaja dikeraskan agar asap yang terbebas dari rongga mulutnya itu segera menutup pandangan amarah istrinya. "Dulu saja. Datang setiap hari ke rumah. Saat lebaran hari raya kurban, diajak jalan sampai ke Thailand. Sekarang? Melewati rumah kita saja seperti melewati kuburan. Kemana pria yang kau sebut keluarga itu?" Istrinya sudah kesal...
Cerpen: Karma Karya Mazdar Zainal

Cerpen: Karma Karya Mazdar Zainal

Cerpen
Oleh: Mashdar Zainal Kami menggambarkan kondisi ibu seperti ini: ruh yang sudah terlanjur pamit pada jasad, namun tak bisa benar-benar pergi dari jasad yang sudah dipamitinya lantaran ada satu persyaratan yang urung ia tunaikan. Dan kami semua mengira bahwa satu persyaratan itu adalah selafas kata maaf dari nenek yang telah pergi mendahuluinya. Ini memang sedikit rumit. Coba katakan, bagaimana cara mendapat maaf dari seseorang yang telah lama dikubur. Tak ada satu hal pun yang bisa kami upayakan, kecuali doa yang mungkin sia-sia. Ibu telah terbaring di kasurnya selama sepuluh tahun. Ibu sudah sangat tua—sangat tua. Tak ada satu pun dari kawan sebaya ibu yang masih menghirup napas di muka bumi. Dan jika kami memaparkan kembali bagaimana kondisi ibu, hal itu hanya akan membuat kami miris da...
KIMRI | Cerpen Topik Mulyana

KIMRI | Cerpen Topik Mulyana

Cerpen, Karya, Pilihan Editor
JIKA Tuan seorang ahli sejarah, Tuan pasti tahu nama Desa Cibintinu. Itulah desa kami dulu. Di sinilah pelajar Soekarno bertemu dengan salah seorang leluhur kami, petani Marhaen. Ketika pelajar Soekarno menjadi kian ternama, nama leluhur kami itu acapkali disebut-sebut dalam pidato-pidatonya. Sudah pasti, kami merasa sangat bangga. Berpuluh tahun lamanya kami hidup dalam kebanggaan semacam itu. Kemudian, peristiwa pada pertengahan tahun 60-an mengubah segalanya. Deru puluhan mobil jip dan gemuruh ratusan pasang sepatu lars yang sepanjang malam tak henti-henti itu seketika menghancurluluhkan kemegahan nama Marhaen dalam benak kami. Sejak itu, kami dibayang-bayangi rasa ngeri, terkucil, dan dicemooh orang-orang sekitar bahwa kami keturunan orang-orang pengkhianat dan biadab. Kami ditiadakan....
Proses Kreatif Nenek Mallomo, Lelaki itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar

Proses Kreatif Nenek Mallomo, Lelaki itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar

Cerpen, Karya, Pilihan Editor
Kemenangan saya di Lomba Penulisan Cerita Rakyat Kemendikbud 2015, membuat saya menerima banyak pertanyaan terutama seputar tips menulis cerita rakyat. Banyaknya pertanyaan yang muncul, mungkin karena peserta lomba yang diselenggarakan Kemendikbud ini, memang hampir menembus angka 3000 peserta lomba. Saya pun kaget campur senang ketika pertama kali saya dihubungi masuk 8 besar dan diundang ke Jakarta untuk tahap verifikasi naskah. Judul cerita rakyat saya yang terpilih sebagai pemenang pertama adalah Nenek Mallomo, Lelaki Itu, dan Sepotong Kayu yang Bersandar. Dari judulnya saya sudah berusaha untuk memunculkan satu tips bahwa, sebuah cerita rakyat tidak harus berjudul jadul. Saya tak memilih judul Legenda Nenek Mallomo, karena menurutku terlalu lazim. Saya berusaha untuk mencari sesuatu ...
Wawancara Eksklusif Bersama Juara Cerita Rakyat Nusantara 2015

Wawancara Eksklusif Bersama Juara Cerita Rakyat Nusantara 2015

Berita, Cerpen, Pilihan Editor, Wawancara
Halo FLP’ers. Kita akan berkenalan dengan  juara pertama Lomba Cerita Rakyat  Nusantara 2015 yang diadakan Kemendikbud. Yuk, langsung saja kita kenalan dengan Sabir atau yang lebih kita kenal, Daeng S. Gegge Mappangewa.  Selamat membaca! Kapan Daeng Gegge  mulai menulis dan kenapa menulis? Saya mulai menulis sejak SD kelas lima. Pertama kali menjadi pemenang lomba mengarang tingkat kecamatan di acara HUT RI.  Saat SMP saya sudah mengirim cerpen ke media nasional, setelah dikonsultasikan kepada guru Bahasa Indoenesia. Saya menulis karena ingin melihat nama saya ada di media. Setiap saya membaca cerpen, saya selalu membayangkan nama penulis di bawah judul cerpen itu adalah namaku.  Jadi setiap selesai membaca cerpen, saya selalu berusaha untuk  melanjutkannya dengan menulis  cerpen juga....
Pada Sebuah Subuh yang Terburu-Buru

Pada Sebuah Subuh yang Terburu-Buru

Cerpen
Seorang lelaki merapatkan jaketnya dan melangkah cepat-cepat pada sebuah subuh yang masih dini. Azan terdengar setengahnya, tadi dia sedikit termenung, agak gusar juga karena menyangka azan itu adalah azan panggilan shalat subuh. Tapi air mukanya berubah lagi setelah sadar bahwa yang terdengar sekarang baru azan awal. Dia menggelengkan kepala, masih agak gusar, dan menyesali dirinya yang tidak memiliki jam tangan, penunjuk waktu di telepon genggamnya pun tidak bisa terbaca karena kehabisan baterai. Dia betul-betul buta waktu, yang jadi panduannya hanya langit yang masih gelap dan tentu saja azan shubuh tadi. “Aku harus segera sampai di sana sebelum azan subuh tiba!” Begitu katanya pada diri sendiri, karena pada subuh seperti ini siapa yang bisa diajak berkomunikasi? Lelaki itu terus berjal...
Attar

Attar

Cerpen
Jadi, siapakah jajak insan yang hendak kau jerat dengan jejala retinamu, Jelita? Tanpa peduli detak waktu yang terus berputar, kau terus saja menebar jaring pandangmu. Padahal, piranti penjeratmu begitu sempit. Sementara, padang ini membentang seluas mata memandang. Dan, tempat ini pun pastinya tak selaras dengan napas keindahan yang kau asakan. Ini bukan wahana penenggat penat. Bukan pula sarana rehat. Ini sebuah tempat yang sangat akrab dengan bahaya. Lihatlah puncak gunung yang terbelah, dengan kepulan asap solfatara yang menguar dari celah kawah. Tataplah bebatang pohon yang pekat. Rumah-rumah separuh rencah, perabot nan sisakan kerangka besi atau belukar hangus yang menghamparkan permadani kelam. Semua itu, mestinya mampu menggemparkan saraf ketenangan di otakmu. Kau tahu penyebabnya,...
Ambilkan Bulan, Bu!

Ambilkan Bulan, Bu!

Cerpen, Karya
“Aku tak mau lagi bermain denganmu!” kataku marah sambil melemparkan boneka-boneka kain dan rumah-rumahan kertas ke luar jendela. Kaca rumah masih berembun, buram dan berkabut setelah hujan menyambangi rumah kecil di tepi kota. Sunyi masih mengitari sudut-sudutnya dan bercak basah di langit-langit masih menitiki kamar tidurku yang dingin. “Lho, bukannya tadi kita mau main rumah-rumahan? Kok bonekanya dibuang?” tanya Bi Imah sambil mengelus kepalaku. Sayang. “Aku bosan. Aku mau main lompat tali dan ayunan di luar,” jawabku seraya menjauhkan kepalaku dari jangkauan tangannya. Entah kenapa, aku bosan dielus oleh Bi Imah. Bila aku tidak mau makan, Bi Imah membujukku sambil mengelus kepalaku. Bila aku tidak mau mandi, Bi Imah mengajakku bermain kucing dalam air juga sambil mengelus kepalaku. D...
Ice Cream

Ice Cream

Cerpen
There was nothing special about me. I did not have much to tell you except the fact that I am a thirteen year-old boy who was crazy about ice cream. Yes. I liked ice cream very much. Chocolate, strawberry, vanilla, any tastes of ice cream that I could find in the small town I was living in. I’d like to eat ice cream in any kind of seasons; raining or shining, it had no difference for me. Shortly, I was an ice cream boy, just like what my friends called me. At first my mom prohibited me consuming ice cream too much. “It is not good for your health, “She said. But you see, I could not help myself to stop eating ice cream. I did not waste another minute as I saw the sweet melted frozen cream was served in front of me. I would definitely enjoy it right away. As every teenager in this town, I ...
Humaira

Humaira

Cerpen
Humaira, gadis cilik berusia 12 tahun itu meringkuk ketakutan seraya memeluk Umar, adiknya yang masih berusia lima tahun. Mereka bersembunyi di dalam almari dapur rumahnya yang gelap tanpa listrik. “Kakak, aku takut sekali...” Umar berbisik pelan. Tubuhnya menggigil ketakutan dan ia mulai menangis. “Sst... diamlah Umar, jangan menangis,” Ia membekap mulut Umar ”Nanti kita bisa ketahuan.” Brak! Bug! Suara-suara keras pintu- pintu dibanting, diriingi derap langkah kaki bersepatu boot. Langkah-langkah berat itu semakin lama semakin mendekat. Mereka berdiri di depan lemari tempat Humaira bersembunyi. Humaira terus berdo’a di dalam hati, “Ya Allah, lindungilah kami dari kejahatan makhlukMu.” Mereka menyenter seluruh bagian ruangan. Prang! Piring-piring di dapur berjatuhan. Humaira, mengintip d...

Pin It on Pinterest