Sejak pemerintah RI mulai melakukan pemugaran kawasan candi pada tahun 1979, diikuti dengan penelitian arkeologis intensif yang dilakukan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dari tahun 1981, beberapa ahli sejarah mulai memunculkan fakta-fakta baru mengenai pusat Kerajaan Sriwijaya yang selama ini diyakini ada di Palembang.
Kawasan Candi Muaro Jambi lah yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Melayu dan juga pusat Kerajaan Sriwijaya. Salah satu hipotesis tentang ini adalah: pusat kerajaan Sriwijaya ada di Melayu, Melayu ada di Jambi, dan banyak jejak-jejak yang menampakkan bahwa Candi Muaro Jambi pernah menjadi pusat kerajaan.
Kunjungan seorang pendeta Buddha Tiongkok bernama I-Tsing sekitar tahun 671 Masehi lah yang sempat memunculkan “Polemik Sriwijaya”. Ahli-ahli sejarah berbeda pendapat soal pusat Kerajaan Sriwijaya. Ada yang menyebut di Palembang, di Muara Takus (Riau), di Semenanjung Malaya (Malaysia), bahkan di Thailand.
I-Tsing menyebutkan antara lain: di pusat Kerajaan Sriwijaya banyak terdapat biara-biara (candi) yang tersusun dari bata merah, pusat Kerajaan Sriwijaya terletak dekat sungai besar dan pantai, antara biara satu dengan lainnya dihubungkan oleh sungai dan dapat dilayari perahu, dan ada 1.000 orang pendeta Buddha sedang belajar di Sriwijaya.
Mengacu pada laporan I-Tsing tersebut, ahli sejarah Jambi, Fachruddin Saudagar mencocokkan dengan kawasan Candi Muaro Jambi. Fakta menunjukkan bahwa di area ini terdapat 110 buah bangunan candi (dan masih terus dilakukan penggalian sehingga bisa lebih dari itu). Jumlah candi sebanyak itu cukup untuk mendukung kebutuhan ibadah 1.000 pendeta Buddha.
Situs Candi Muaro Jambi juga terletak dekat sungai besar (Batanghari) dan daerah pantai timur Jambi. Antara satu candi dengan candi lain di Muaro Jambi juga dihubungkan dengan kanal/sungai yang dapat dilayari perahu. Bisa jadi Polemik Sriwijaya masih akan terus berlangsung. (BERSAMBUNG)
Artikel ini pernah dimuat di Garuda in-flight magazine Colours