Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Pembaca | Helvy Tiana Rosa

JAKARTA, FLP.or.id — Memang terdapat karya sastra tertentu yang dianggap memiliki kemampuan “menggerakkan”, seperti  beberapa karya Charles Dickens yang mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang memperbaiki kondisi kaum buruh di negara tersebut atau Uncle Tom’s Cabin yang membantu menghapus perbudakan negro di Amerika Serikat, misalnya.

[ Baca juga bagian sebelumnya Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan ]

Saat bertemu dengan Harriet Becher Stowe, penulis Uncle Tom’s Cabin, Presiden Lincoln berkata, “Wah, jadi ini ya nyonya mungil yang yang menimbulkan perang besar ini,”

Namun sebelum masuk ke narasi besar tersebut, saya terlebih dahulu berpikir mengenai perubahan dalam diri saya. Adakah sastra telah mengubah saya?

Saya meninjaunya pada beberapa hal. Terutama menyangkut karya sastra. Saya bertanya pada diri saya sendiri, adakah buku sastra yang bisa mengubah atau membentuk saya? Buku yang membuat saya “menjadi”, atau paling tidak turut mewarnai kehidupan saya?

Setelah diingat-ingat, ternyata cukup banyak. Tetapi kalau boleh hanya menyebutkan tiga, saya akan sebut: Javid Nama (Muhammad Iqbal), Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah (A. Hasjmy) dan Totto Chan (Tetsuko Kuroyanagi). Ketiganya saya baca saat saya duduk di bangku SMP.

Menurut saya, buku yang baik tak akan pernah bisa kita lupakan meski kita membacanya hanya sekali. Secara sadar saya membaca ketiga buku di atas lebih dari sekali, terutama Javid Nama, mungkin ada sepuluh kali. Mengapa mengubah saya? Karena ketiga buku tersebut menyampaikan hal-hal yang mencerahkan dan membuat saya ”bergerak”. Bagi saya, buku yang baik juga adalah buku yang bisa membuat kita bergerak. Usai membaca ketiga buku tersebut, saya merasakan ada perubahan dalam diri saya.

Javid Nama mendorong saya untuk turut menjadi Zinda Rud si ”Sungai Kehidupan” (tokoh utama Javid Nama) yang terus belajar tanpa kenal ruang dan waktu, dimulai dari mencari hakikat diri sebagai hamba Illahi. Sebagaimana Zinda Rud, tiba-tiba saya bisa bertemu dan berdialog mengenai apa saja, dengan tokoh-tokoh yang saya kagumi maupun yang tak saya suka. Saya berdialog dengan Khansa atau Jalaludin Rumi tentang apa yang saya tulis. Saya juga berdebat dengan Dante mengenai La Divina Comedia-nya. Buku Javid Nama mendorong saya untuk berjuang menjadi manusia yang paling hamba di muka bumi ini.

Apakah kau mati, hidup atau sedang sekarat? Ujilah keadaanmu dengan tiga patokan ini: Pertama, kesadaranmu sendiri. Lihatlah dirimu dengan cahaya yang ada padamu sendiri. Kedua, pandangan orang lain. Lihat dirimu di bawah sorotan cahaya orang lain. Ketiga, pandangan zat yang haq. Maka lihat dirimu di bawah sorotan cahaya Tuhan….[4]

Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah karya A. Hasjmy, membuat saya ingin menjadi seorang sastrawan yang bisa menyampaikan kebajikan secara estetik pada pembacanya, dan menjadi sastrawan yang memiliki komitmen dalam berkarya—mungkin ini terdengar aneh: selaras antara karya dan perbuatan.

Karya sastra sebenarnya menggambarkan suatu keadaan masyarakat, juga melukiskan jiwa dan pribadi sastrawan pencipta karya itu sendiri. Dengan membaca karya sastra seorang sastrawan yang menciptanya, kita akan mudah mengenal siapa sastrawan tersebut[5]

Membaca buku Hasjmy saya sadar, meski Roland Barthes menyatakan bahwa sastrawan mati ketika karyanya selesai dibuat, saya tak boleh ”mati”, saat karya itu ”hidup” dan menjadi milik publik. Sastrawan harus bisa bertanggung jawab terhadap apa yang ia tulis, baik di dunia, maupun akhirat. Sastrawan juga tidak identik dengan segala yang “cuek”, “dekil,” atau ”amburadul”, sebab bila mau, sastrawan mampu menjadi teladan bagi masyarakat.

Nah, sejak membaca buku tersebut, sebelum menulis saya selalu berpikir, apakah tulisan saya ini akan membuat sedikit pencerahan bagi pembaca, atau malah akan mengambil bagian dalam membuat bobrok masyarakat sekitar?

Buku Totto Chan karya Tetsuko Kuroyagi membuat saya ingin menjadi guru yang menyenangkan. Guru yang bisa mengajak murid-muridnya belajar sambil bermain, sebagaimana Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, Mr. Kobayashi.

Mr. Kobayashi berpendapat, semua murid di Tomoe akan bisa menjadi guru yang baik, karena mereka pasti ingat bagaimana asyiknya menjadi anak-anak….

Tiga bulan sesudah membaca buku Totto Chan saya mulai mengajar anak-anak gelandangan di dalam gerbong kereta api di daerah kumuh Gunung Sahari. Mereka bahagia saya ajarkan membaca, menulis dan berhitung sambil bermain, dengan gratis. Walau beberapa kali mendapat ancaman pemukulan dari beberapa preman di daerah tersebut, saya masih mengajar di sana hingga duduk di bangku kuliah. Saya baru berhenti ketika tempat tinggal mereka di sekitar gerbong-gerbong kereta tak terpakai itu, digusur. Sungguh sedih kehilangan mereka secara mendadak atas nama pembangunan.

Tentu banyak lagi buku sastra yang mengesankan dan mungkin berpengaruh bagi saya dan Anda. Bisa jadi buku-buku tersebut telah menggerakkan batin, dan mengubah langkah kita untuk sedikit berbuat bagi masyarakat melalui karya sastra. Atas keyakinan itulah kemudian saya menerbitkan buku kumpulan cerpen, puisi dan esei yang saya beri judul: Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah (Gunung Djati, 1999). Sepakat dengan Ahmadun Yosi Herfanda dalam tulisannya “Sastra Pragmatik dan Orientasi Penciptaan” (Republika 2008), saya meyakini bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial.

Jadi inilah saya: anggota masyarakat yang berubah menjadi lebih baik karena membaca karya sastra!

bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This