Chairil Anwar adalah mitos dalam ranah kesusastraan Indonesia. Sejak kelahirannya sampai detik ini, ia masih tetap dirayakan dan bahkan (kadang) perayaan-perayaan tersebut bersipat repetisi. Puisi-puisinya, bait-bait puisinya, dan bahkan larik-larik puisi, bahkan frasa-frasa dari puisi-puisinya adalah semacam mantra yang diucapulang, direproduksi dalam berbagai teks penulis-penulis generasi setelahnya.
Banyak sudah yang menganalisis Chairil sebagai teks kebudayaan dan mencari penyebab kenapa ia begitu legendaris. Ada yang menyebutkan karena ia berhasil mendobrak pola estetika sastra yang ada. Ada yang menyebutkan karena ia begitu independen, antipolitik, dan mendobrak pemikiran kebudayaan saat itu dengan pemikiran eksistensialisme Nietszian. Ada yang menyebutkan ia adalah sebagai seorang penyair yang berhasil mengobarkan semangat juang dan nasionalisme. Ada juga yang mengidentifikasi dirinya sebagai perwujudan ambiguitas modernisme, antara modernisme Eropa dengan modernisme Indonesia pascakolonial. Namun, semua analisis yang mengemuka saling berdiskusi. Sepertinya takada kata tunggal yang bisa mendeskripsikan sosok Chairil.
Selain hal tersebut, Chairil juga telah dimitoskan dalam hal-hal yang ekstraliterer, seperti gaya hidup dan tampilan fisikalnya. Foto Chairil Anwar yang sedang serius merokok adalah sebuah agen penasbih lainnya. Fotonya bahkan telah seikonis Monalisa, Cheguevara, Merylin Monroe, Curt Cobain, dan (bahkan) Osamah bin Laden. Satu foto yang terus direproduksi dan bahkan sering dijadikan gambar sebuah kaos. Apalagi setelah diangkat sebagai inspirator dalam sebuah kisah film populer Ada Apa dengan Cinta. Begitulah Chairil menjadi sangat populer dari masa ke masa walaupun pada masa yang jauh dari rasa ranah perjuangan Chairil itu sendiri dengan konsekuensi semakin terjadi distorsi-distorsi kelitererannya. Banyak penyair muda yang menyerap Chairil dari sisi banalitas popularisme jenis ini. Chairil yang kutu buku, menguasai beberapa bahasa asing, idealis dalam hal kreativitas menjadi Chairil baru yang terbatuk-batuk karena kecanduan merokok dan pusing karena taksatupun puisinya yang jadi.
Fenomena di atas adalah semacam konsekuensi dari ditasbihkannya terus-menerus sosok Chairil. Namun, memang sepertinya kesulitan bagi dunia sastra untuk tidak menasbihkan Chairil karena hampir bisa disimpulkan Chairil Anwar adalah teks sastra itu sendiri. Teks sastra interpretatif yang prismatis atau bahkan ia adalah puisi sublim yang dapat ditafsirkan sangat beragam. Yang menjadi permasalahan adalah apa yang menyebabkan sosok dan karyanya begitu “nyastra”? saya berasumsi bahwa hal ini disebabkan oleh politik literernya Chairil yang pragmatis. Ia yang hidup dari puisi-puisinya, berupaya menulis puisi dari fenomena yang (suatu hari) bisa diapresiasi oleh banyak pembaca. Ia adalah penulis pragmatis untuk mendapatkan balasan ekonomi dari kerja sastranya. Karena itu, ia pada posisi ini juga ambigu. Ia yang diagung-agungkan sebagai sosok yang total di dunia kreatif kesastraan pada saat yang sama memperlakukan sastra sebabagi komoditas mencari uang. Jika demikian, bisa beralasan jika ada satu dua buah puisi yang ia hasilkan dari sebuah proses penerjemahan yang belum selesai sehingga dicap sebagai jiplakan karena alasan pragmatis ini.
Karena latar belakang profesionalitas itulah. Apa pun yang layak dijadikan puisi dari sisi-sisi kehidupannya ia akan menuliskannya. Karenanya, seorang pembaca puisi Chairil secara objektif akan berinterpretasi banyak atas ideologi seorang Chairil. Baru setelah ditelaah secara ekspresif pembaca disodorkan sebuah realitas Chairil yang “sesungguhnya”. Jadi, menganalisis Chairil secara objektif akan membuat ia terpecah pada lokus-lokus pragmatis para pembaca masing-masing jenis puisinya.
Sumardjo (1992: 122-123) mengategorikan tema sajak Chairil menjadi enam tema, yaitu: cinta dan seks, pesimisme, keagamaan, nasionalisme, vitalisme, dan kesunyian dan kehampaan hidup. Dari hal tersebut , saya berasumsi Chairil secara pragmatis sedang menyapu bersih apresiasi para pembacanya. Enam kecenderungan tematis menandakan enam jenis pembaca dan enam tindak penasbihan. Sekarang baru kita bertanya: penyair mana yang memiliki nilai pragmatis yang lengkap selengkap Chairil? Ini bisa jadi bahan penelitian selanjutnya.
Begitulah pragmatisme tematik Chairil juga berlaku pada sajak-sajak religiusnya. Saya akan membahas empat puisi untuk mendiskusikan hal ini. “Doa”, “Isa”, “Di Masjid”, dan “Sorga”. Asumsinya adalah Chairil memeiliki religiositas pragmatis atau religiositas yang terpecah. Dan ini yang bisa menjadikan puisi-puisi Chairil dianggap mewakili pembaca yang heterogen.