Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Menjadi Penulis, Tak Sekadar Royalti (1)

kasus-kontrakPunya passive income secara periodik. Nama yang dikenal. Orang-orang yang respect akan ide yang digulirkan. Dikejar-kejar penerbit. Sesekali ditampilkan media. Menerima permintaan pertemanan setiap pekan. Ada saja yang jadi follower di twitter. Ditakuti teman jika bersamaan ikut lomba menulis. Aaaah, enaknya!

Maka banyak sekali orang yang bilang: aku mau jadi penulis! Aku punya banyak ide, lho. Aku sudah buat cerita ratusan halaman. Aku kepingin nulis cerita cinta, horor, detektif, petualangan, sains fiksi dan banyaaaak lagi. Semangat membara untuk melihat cover buku dengan nama kita tercetak di sampul depan. Biografi singkat di halaman belakang ditambah foto terakhir ukuran close up dengan senyum paling manis.

Lalu beranjak 6 bulan. 1 tahun. 2 tahun. Impian itu meredup. Semangat layu. Cerita-cerita masih menumpuk di buku catatan maupun file komputer. Tapi keinginan menjadi penulis yang dipertimbangkan, lenyap secepat angin menerbangkan tetes air di musim kemarau.

aaa

Visi Besar. Great Mission.

Tahu Ibnu Khaldun, Ibnu Batuta, Kartini, Dewi Sartika? Kenal Steve Jobs? Steven Spielberg? Pernah dengar Muhammad al Fatih, Shalahuddin al Ayyubi, Napoleon Bonaparte?

Yup. Orang-orang yang namanya tercatat besar dalam sejarah bukan mereka yang punya misi “average man”. Sekadar coba-coba. Sekadar punya uang saku. Sekadar punya karya. Sekadar punya buku. Meski yang ditulis awalnya cerita ringan macam teenlit, chicklit, panduan how to; bukan berarti ambisi atau cita-cita penulisnya sesederhana itu. Orang-orang yang punya keinginan bahwa karya mereka akan dikenang.

Maka, penulis harus membingkai visi misinya dalam sebuah frame besar dan hebat. Sepuluh tahun atau 20 tahun dari sekarang, tulisanku akan menjadi acuan dalam bidang penulisan fiski remaja. Atau acuan dalam bidang yang diminati seperti psikologi, resensi film, kriminal, panduan hidup, dsb. Kegagalan yang berada di tahun ke-1, ke-2 atau malah 6 bulan pertama belum terhitung sebagai kegagalan. Sebab ia masuk ke dalam sebuah outline besar, daftar isi panjang buku kehidupan kita. The Story of My Life.

So, keep moving! Sebab Steve Jobs punya misi merevolusi cara berkomunikasi manusia seantero bumi. Spielberg bosan menonton tayangan film-film TV yang tidak spektakuler. Al Ayyubi enggan lagi mendengar kafilah haji dicegat dan ditarik pajak tinggi sebelum masuk Yerusalem. Kartini dan Dewi Sartika benci perempuan selalu jadi makhluk marginal.

Aku? Kamu? Apa cita-cita besar kita?

aaa

Long Life Education. Belajar Sepanjang Hayat.

Belajar itu bukan sekolah, ya. Arti belajar itu adalah “menimbulkan satu perilaku positif yang menetap.” Jadi kalau sekolah 15 tahun tapi nggak tahu apa arti korupsi, berarti dia nggak pernah belajar.

Belajar menulis ABC supaya mahir menggunakan huruf. Belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris supaya tahu bagaimana menggunakan bahasa secara tertulis dan lisan. Belajar matematika supaya tahu menggunakan logika (bukan sekadar hafal rumus dan angka!). Belajar di fakultas kedokteran supaya tahu faal, anatomi tubuh manusia juga keMaha Agungan Penciptaan. Jika ada seorang dokter yang sombong dan enggak punya sikap altruis, berarti belum belajar banyak.

Percayalah. Penulis itu orang yang dituntut belajar banyak. Belajar jadi manager: harus bisa mengolah uang saku, mengelola waktu, mengelola jadwal. Belajar jadi psikolog: memotivasi diri, belajar bagaimana otak bekerja, perilaku muncul, pengalaman memperkaya. Belajar jadi sastrawan: bagaimana sih dunia literasi itu? Belajar jadi entrepreneur: apa sih tema yang tengah disukai? Atau, kalau kita enggak mau ikut arus, bagaimana cara mengemasnya? Enggak perlu belajar secara detil, tetapi setidaknya dengan menjalani profesi itu, kita akan turut belajar ini dan itu.

Ada kesempatan kuliah, ayo! Ada kesempatan ikut pelatihan, come on! Ada kesempatan sharing dengan penulis atau profesi lain, ikut! Ada kesempatan baca, lakukan!

Jadi, tetapkan diri uuntuk banyak belajar dari segala hal. Enggak perlu belajar sampai jadi seperti Einstein atau Hawking (meski orang semacam mereka tetap perlu!). Tetapi harus ditanamkan dalam diri: gagal, belajar, gagal lagi, belajar lagi, masih gagal, belajar lebih keras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This