Oleh TOPIK MULYANA, FLP.or.id – Kelas menengah muslim merupakan salah satu kelompok masyarakat di kota besar yang menyandarkan identitasnya pada agama Islam. Namun, identitas ini pun tidak tunggal karena situasi heteronomia juga terdapat di kalangan mereka. Keberbagaian norma yang dipegang kaum muslim kota disebabkan 2 hal, yakni cara mengakses pengetahuan keagamaan yang berbeda dan keberbagaian tafsir terhadap agama yang mereka akses itu.
Menurut Kuntowijoyo, kaum muda muslim di kota-kota besar, terutama mahasiswa, memperoleh pengetahuan kegamaan melalui sumber-sumber anonim, seperti buku, televisi, radio, compact disc(CD), dan internet. Kuntowijoyo menyebutnya muslim tanpa mesjid (Kuntowijoyo, 2001).
Selain mereka, ada juga kelompok yang cara memperoleh pengetahuan dari otoritas-otoritas tertentu, seperti habaib dan guru-guru agama yang menganut ideologi Islam tertentu. Kelompok kedua ini membentuk komunitas-komunitas yang solid dan konsisten memegang norma dan memperjuangkan apa yang mereka citacitakan berdasarkan norma yang mereka pegang itu. Dalam kelompok kedua inilah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salafi, Jamaah Tablig, dan Front Pembela Islam (FPI) berada. Kedua kelompok ini memiliki kesamaan, yakni berasal dari masyarakat non-agamis. Mereka mengalami keterpesonaan pada ajaran agama (Latif, 2005: 554—555) sehingga merasa bangga menggunakan simbol-simbol kegamaan yang mereka gunakan.
Kelompok ketiga adalah muslim neotradisionalis, yakni yang berasal dari masyarakat agamis, seperti pesantren, yang kemudian berdomisili di kota dan telah mengakses pengetahuanpengetahuan Barat. Jika kaum Islam Simbolik terpsona pada ajaran agama, kelompok ketiga ini terpesona pada produk-produk pengetahuan, terutama demokrasi dan HAM, sehingga cenderung memiliki toleransi ekstrem. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil Abshar Abdalla menjadi simbol dari kelompok ini.
Di antara ketiga kelompok ini, kelompok kedualah yang paling menonjol. Hal itu disebabkan aktivitas-aktivitas yang sangat intens dalam mengampanyekan pola hidup beragama versi mereka di berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Secara historis, eksistensi mereka mencuat pascakejatuhan rezim Orde Baru dan semakin ke sini semakin menguat. Hal itu dipertajam lagi dengan kontradiksi yang muncul. Di satu sisi, mereka menjunjung simbol-simbol Islam, tetapi di sisi lain melakukan tindakan-tindakan yang dari kacamata hukum positif dan konvensi sosial dikategorikan anarkistis dan destruktif.
Kontradiksi inilah yang disorot sekaligus dikritik oleh MB dalam puisi-puisinya yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Negeri Daging. Untuk memudahkan pemahaman, untuk menyebut kelompok ini digunakan istilah Islam Simbolik.
Ada dua puisi yang menyinggung gejala kontradiksi kaum Islam Simbolik, yakni “KBNI” dan “AKTB”. “KBNI” berbicara sepenuhnya tentang kontradiksi itu, sedangkan “AKTB” hanya menyinggungnya sebagai keterangan similatif pada beberapa baitnya. Secara keseluruhan, “AKTB” berbicara tentang tragedi kemanusiaan.
Pertama kali dimuat di Jurnal Metasastra, 2017.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiyah Tangerang. Ia juga Staf Divisi Litbang Badan Pengurus Pusat FLP 2017-2021.