Oleh GANJAR WIDHIYOGA, FLP.or.id – Ibu saya adalah perempuan kelahiran tahun 1950. Merasakan masa-masa sulit negeri ini, kadang bercerita pada kami tentang antrian beras dan minyak yang mengular kala itu. Bukan untuk berkubang di masa lalu melainkan agar kami bersyukur dengan masa kini.
Ibu saya istimewa. Kala masyarakat saat itu belum peduli pendidikan, Ibu telah menjadi mahasiswi IKIP Yogyakarta. Merantau, membuka cakrawalanya dan kemudian mengabdi menjadi guru selama puluhan tahun. Meski tak mendapatkan sertifikasi guru karena syaratnya yang aduhai tak mampu dipenuhi Ibu yang telah menua.
Ibu saya istimewa karena mengijinkan mbak saya memakai jilbab. Ini tahun 1990-an, ketika mengenakan jilbab masih asing di masyarakat. Kala orang tua lain khawatir anak perempuan yang pakai jilbab akan sulit kerja atau sulit jodoh, Ibu tidak berpikiran demikian. Ibu berusaha memahami dan menghormati pendapat mbak, meski saat itu Ibu belum berjilbab.
Ibu saya suka pakai kebaya, bahkan dulu sempat belajar merias hanya untuk hobi. Setelah berjilbab pun, Ibu tetap suka pakai kebaya. Jarik dibentuk rok lebar. Selendang tersampir di lengan seperti putri kerajaan. Bagi Ibu, keindahan budaya dan syariat Islam tak perlu dipertentangkan.
Ibu selalu bangun sebelum azan Subuh, untuk sholat tahajud dan mendoakan anak-anaknya. Nama-nama kami disebut satu-persatu. Beliau doakan apa yang kami inginkan dan apa yang kami butuhkan. Saya percaya, doa-doa Ibulah yang membantu ikhtiar kami.
Saya yakin, ibu-ibu Muslimah di Nusantara adalah perempuan-perempuan setangguh, sehebat ibu saya. Yang mencintai bangsa, budaya dan agamanya, Yang sudah beribadah bahkan sebelum azan berkumandang. Kalau ada seorang ibu Muslimah di nusantara ini yang belum merasakan getaran rindu pada azan, mari kita doakan.
Al Fatihah untuk Ibu dan untuk Bapak.