Membaca Afifah Afra
Oleh Bambang Kariyawan Ys
Divisi Karya BPP FLP
“Aku sangsi, betulkah ada bangsa asing yang tulus membantu perjuangan negeriku tanpa ada pamrih apa pun?”
(De Hoop Eiland h. 15).
Menyebut kata “sejarah” selalu terkesan eksotik dan misterius. Kata sejarah mengandung sejuta tanya dan gairah karena mengungkap tabir yang telah berlalu.
Tabir sejarah bila berhasil diungkap akan memunculkan energi berkarya luar biasa. Berbagai medium dapat dihasilkan dari tabir sejarah yang terungkap seperti puisi dan prosa, termasuk novel sejarah.
Pengakuan akan eksistensi diri dianggap puncak tertinggi dari teori kebutuhan menurut Maslow. Setiap profesi mendambakan capaian-capaian terbaik dalam menjalani tahapan berkarirnya.
Penulis pun memiliki capaian-capaian mimpi yang ingin diraihnya. Penghargaan, karya best seller, karya yang selalu dibincangkan, dan salah satunya adalah dengan menuliskan tetralogi. Afifah Afra telah menambah catatan gemilang dari sederet penulis di negeri ini yang pernah menulis tetralogi.
Tetralogi Afifah Afra yang biasa disebut dengan tetralogi De Winst berisikan perbenturan antara ideologi yang membuat pecahnya hubungan antara negara, keluarga, dan individu.
Novel dengan tingkat riset yang di atas rata-rata. Lokasi yang berada di luar negara dan tempat-tempat yang berlompatan memerlukan kejelian tersendiri. Jawa, Belanda, Jerman, Maldives, Flores, Papua, dan daerah-daerah imajiner lainnya yang diciptakan pengarang dengan sangat detil.
Novel sejarah ini menjadi bahan belajar yang menyenangkan karena fakta sejarahnya dibalur gaya bertutur dalam cerita. Kita akan dikenalkan dengan berbagai peristiwa, tokoh, waktu, tempat, serta kausalitas sejarah di dalamnya.
Tetralogi ini dapat kita tinjau dari beberapa sisi, antara lain:
Tinjauan Sosiologi Sastra
Sosiologi pengarang pada tetralogi ini sangat berpengaruh dalam balutan cerita yang dituturkan. Terlihat bagaimana pengarang mencoba memasukkan secara halus nilai dan etika Islam dalam balutan cerita.
Pada novel De Hoop Eiland h. 635 dijelaskan dengan apik tentang halal haram sembelihan binatang kala di Tanah Digul.
“Kenapa muslim harus sembelih binatang agar boleh dimakan?” tanya seorang tentara TR, dengan wajah heran. “Karena darah itu mengangkut banyak sekali kotoran dan juga kuman penyakit. Maka darah harus dihilangkan, agar daging yang kita makan bisa lebih sehat.” Kini Ahmad Tuharrea yang menyahut.
Pada bagian lain, pengarang ingin menunjukkan tata cara ibadah yang sunyi di pembuangan.
Dari atas, dia bisa melihat ufuk timur. Ada benang merah membelah langit, berarti fajar memang sudah terbit. Dia pun mengambil air wudu dari parit itu. Lalu menggelar plastik lebar di hamparan rumput tepi sungai. Rangga sengaja salat cukup lama. Sujud dia panjangkan. Terasa begitu nyaman saat dahinya menyentuh hamparan rumput. (h. 549).
Tinjauan Teori Kekuasaan
Salah satu inti dari teori kekuasaan Michel Foucoult menggaris bawahi bahwa penguasaan dapat dilakukan bagi yang memiliki keunggulan pengetahuan.
Gambaran hegemoni tersebut terbaca dari perlakuan diskriminasi dengan alasan keunggulan latar belakang.
“Dengan politik adu domba, devide et impera, satu per satu gerakan perlawanan ditumbangkan dengan kejam. Itulah kekejaman kolonialisme yang kami rasakan sebagai bangsa jajahan. Adapun konsep keunggulan ras, sama saja. Di negeri kami, bangsa kulit putih menjadi warga negara nomor satu. Lalu, warga Asia keturunan, seperti Tionghoa dan Arab, menjadi warga negara kelas dua. Adapun kami, pribumi, yang memiliki tanah, air, dan hasil bumi, yang telah memakmurkan mereka, adalah warga negara kelas tiga. Mendapat perlakuan yang hanya sedikit lebih tinggi dari binatang. Kami hampir sama kedudukannya dengan budak.” (De Hoop Eiland h. 63).
Dalam novel De Winst, ada praktik kekuasaan dari sebuah kompeni perusahaan milik Belanda. Mereka menggunakan superioritasnya untuk menekan pribumi agar mendapatkan keuntungan yang besar, dan lebih parahnya mereka yang jadi pekerja mendapatkan gaji yang tak layak.
Bagi orang barat, dalam hal ini Belanda, mereka punya cara pandang tersendiri terhadap orang Timur. Ini berdasarkan Ilmu Orientalisme yang mereka pahami, bahwa orang Timur (termasuk Indonesia) adalah bangsa yang rendahan, tertinggal, bodoh, dan inferior.
Cara pandang yang demikian membuat kolonial Belanda lebih berani semena-mena terhadap bangsa Indonesia. Salah satu praktik kekuasaan digambarkan bagaimana perempuan Jawa direndahkan, hanya dijadikan istri simpanan orang Belanda.
Tinjauan Feminisme
Pengarang mencoba mendekonstruksi tokoh perempuan Jawa yang cenderung kalem, lembut, menjadi sosok dengan idealisme tinggi, melawan dan itu dilakukan dalam perbuatan nyata oleh sosok Sekar Prembayun.
Pada bagian lain sosok Tan Sun Nio dalam novel ketiga “Da Conspiracao” dihadirkan sebagai perempuan Tionghoa yang melakukan perlawanan keterkekangan atas tradisi dengan sikap arogannya.
Dari kedua tokoh perempuan tersebut saja kita dapat melakukan kajian lanjutan secara populer dan akademis tentang perlawanan akan tradisi yang mengekang.
Tinjauan Humanisme
Kebenaran itu berskala universal. Pengarang menghidupkan kembali romantisme sejarah negeri ini berupa sosok-sosok seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli).
Sosok bangsa kolonial yang dengan kejernihan hatinya memandang bangsa pribumi adalah bangsa yang sejajar dengan mereka.
Dalam tetralogi ini kehadiran Kareen Everdine Spinoza sebagai pejuang kemanusiaan melalui profesi sebagai pengacara menghidupkan sosok-sosok seperti Multatuli.
Pembelaan terhadap pribumi dilakukan dengan mengedepankan pembelaan yang berkeadilan. Tentunya tindakan tersebut mesti dibayar dengan segala resiko tinggi termasuk “nyawa”.
Tinjauan Pluralisme
Penghargaan atas perbedaan latar belakang menjadi kajian antropologi dan sosiologi. Lebih spesifiknya kajian pluralisme.
Dalam tetralogi ini, pengarang menghadirkan perbedaan warna kulit, budaya, dan agama dengan membenturkan konsekuensi dalam berinteraksinya. Simbolik berinteraksi menjadi menarik dengan proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru.
Proses itu dapat dilihat saat Rangga Puruhita melakukan penyesuaian untuk bertahan hidup akan alam Boven Digul. Seorang Rangga yang berdarah Jawa belajar berinteraksi dengan masyarakat Papua memerlukan proses penyesuaian untuk saling memahami satu sama lain.
Menumpahkan Literasi
Tetralogi ini memberikan energi cerdas bagi pembaca yang serius. Berbagai referensi bacaan dituangkan dalam teks dan dialog. Beberapa di antaranya:
“Friederich Nietzsche menuliskan Gott ist Tot, Tuhan sudah mati. Suatu saat aku akan membuat sebuah artikel untuk meluruskan gagasan Friederich Nietzsche. Setiap manusia butuh mendekat kepada pencipta-Nya untuk mendapatkan Rahman dan Rahim-Nya. Nietzsche kesepian karena dia sendiri yang membunuh Tuhannya, menolak kehadiran-Nya.” (De Hoop Eiland h. 42).
“Ada 3 buku tipis tentang agama Islam kubeli dari toko buku itu, yakni pelajaran tentang akidah, akhlak, dan panduan ibadah. Sedikit demi sedikit, aku mulai memahami agama yang sejak kecil aku anut, namun ironisnya tak pernah mengerti betul apa sebenarnya prinsip-prinsipnya.” (De Hoop Eiland h. 43).
Aku beranjak menuju laci mejaku. Ada artikel yang baru aku tulis, berjudul: Asia dan Spiritualisme, Asien und Spiritismus. “Asia telah melahirkan begitu banyak kebijakan, dan juga agama-agama besar yang luhur. Namun, Eropa mengacaukannya dengan pemikiran-pemikiran yang pragmatis dari kapitalisme, sosialisme, dan kini … nazisme.” (De Hoop Eiland h. 91).
Tanya
Kemana Tan Sun Nio, perempuan yang menjadi bahasan khusus pada novel “Da Conspiracao”? Apakah sengaja disimpan pengarang untuk edisi kejutan setelah tetralogi ini? Mengingat tokoh ini memiliki peran besar dalam melanjutkan spirit cerita. Kita lihat perkembangan berikutnya apakah tokoh sentral ini akan dihilangkan atau dihidupkan kembali?
Epilog
Dengan segala kegigihannya mengulik novel sejarah, Afifah Afra adalah lokomotif perjalanan sejarah prosa Indonesia untuk saat ini. Tahniah.
Penulis bernapas panjang. Semoga bisa nulis buku ala tetralogi Mbak Afra