PENDAHULUAN
Plagiarisme yang berasal dari kata plagiat, menurut kamus KBBI pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Sementara itu, epigonisme berasal dari kata dasar epigon, yang artinya orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya; peniru seniman atau pemikir besar: (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Proses Kreativitas, Epigonisme dan Plagiasi sepertinya akan menjadi bahasan yang tidak akan pernah berhenti ketika ada sebagian pegiat literasi yang terjebak dalam bayang-bayang popularitas, ingin mendapatkan pengakuan dari publik, malas mencari bahan, terburu deadline, kurang percaya diri dan lain-lain. Sehingga ia mengabaikan proses kreatif dalam menghasilkan karyanya dan terjebak dalam praktik menjiplak karya orang lain (plagiat). Sementara itu juga ada ranah abu-abu di dunia literasi yang disebut epigonisme. Pro kontra pendapat pun tak terelakan mengenai hal ini.
Artikel di bawah ini pernah disampaikan oleh Afifah Afra atau Yeni Mulati, Sekjen BPP FLP Pusat, dalam Pengajian Sastra (Ahad, 22/6/2014) yang diselenggarakan oleh FLP Wilayah Jakarta. Tema yang diangkat adalah Epigon, Plagiasi dan Orisinalitas Sastra.
KILAS BALIK SEJARAH
Pernah pada suatu masa, ribuan tahun silam, para tukang ternyata lebih dihargai ketimbang para seniman. Berada di kubu terdepan penista para seniman adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Yunani saat itu, Plato, yang mengusir semua sastrawan dan seniman dari negerinya. Murid Socrates ini sangat menganggap rendah para seniman dan sastrawan. Apa pasal? Menurut Plato, seni itu rendah, karena hanya merupakan sebuah mimesis-mimesos. Tiruan dari tiruan, jiplakan dari jiplakan. Realita adalah mimesis—jiplakan dari yang asli. Sedangkan seni adalah mimesis dari realita. Tukang dianggap lebih mulia, karena menciptakan realita, yang langsung menjiplak dari yang asli.
Bagi Plato yang sangat mengagungkan ide-ide, seniman sama sekali bukan pekerjaan yang berguna, dan Athena akan hancur jika dipenuhi para seniman. Terlebih, kata Plato, seniman hanya mengagung-agungkan emosi, dan karya-karya seni tak berefek kepada penguatan rasio. Maka, jika masyarakat kelewat banyak mengonsumsi seni, negara ideal tidak akan bisa terbentuk di Athena.
Hal inilah yang membuat banyak kalangan merasa heran. Mungkin Plato abai, bahwa saat meniru sebuah realita, seorang seniman pun sebenarnya sedang menciptakan sesuatu yang baru[1]. Inilah yang kemudian dikoreksi oleh murid Plato sendiri, yakni Aristoteles. Menurut Aristoteles, Plato membuat kekeliruan besar. Seni tidak menjerumuskan seseorang kepada kerendahan, justru seni sesungguhnya meluhurkan akal budi. Saat seorang seniman membuat karya, dia tidak sekadar menjiplak realita, tetapi juga sedang melakukan proses penciptaan (kreasi) sesuatu yang baru. Bahkan, seni juga bisa menjadi sebuah katarsis—penyucian jiwa. Jadi, kata Aristoteles, seni bukan sekadar copy.
Yang menarik, dalam perkembangan kemudian, berbagai kalangan justru mengatakan bahwa karya-karya Plato adalah termasuk dalam karya seni. Ternyata keterbatasan kita dalam memberikan definisi sering menjadi awalan kita dalam berpikir sempit.
Dan nyatanya, seni memang akhirnya berkembang. Seni bukan lagi sebuah proses mimesis. Di bidang seni rupa misalnya, pada abad ke-19, para seniman lukis di Perancis mulai menabrak aliran klasik berupa lukisan realisme/naturalisme. Mereka menciptakan lukisan jenis impresionisme yang menekankan pada impresi cahaya. Aliran impresionisme ini menjawab tantangan zaman seiring ditemukannya teknologi fotografi, yang pada saat itu disebut-sebut akan mematikan seni lukis.
Hal ini menunjukkan, bahwa seni memang lebih dari sekadar peniruan-peniruan dari sebuah realita. Mari kita lihat pada seni tari. Misalnya tari Blambangan Cakil yang berasal dari Jawa Tengah. Tari itu mengisahkan pertarungan Srikandi melawan Buto Cakil. Jika seni disebut sekadar mimesis, bagaimana mungkin ada sebuah gerakan bertarung yang begitu indah dan halus?
TEORI INTERTEKSTUAL
Pada zaman ini, di mana karya seni sudah menjadi sebuah komoditi, unsur orisinalitas mendadak menjadi permasalahan yang penting untuk dikaji. Terlebih, proses peniruan zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman Plato. Yang ditiru saat ini bukan lagi jiplakan realita, tetapi—dalam bahasa Plato—adalah ‘jiplakan dari jiplakan’.
Semakin menarik, ketika seorang filsuf Rusia, Mikhail Bakhtin mengemukakan sebuah teori bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan. Teori Bakhtin ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva menjadi sebuah teori yang disebut Intertekstual. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan; tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).[2]
Alasan dari Kristeva dipandang sangat masuk akal. Terlebih, banyak sekali teori yang menyatakan bahwa antara membaca dan menulis memang memiliki hubungan yang sangat kuat. Bahkan, ada seorang penulis yang mengatakan bahwa 75% pekerjaan seorang penulis adalah membaca. Adapun menurut Ismail Marahimin, membaca adalah ‘tenaga dalam’ seorang penulis.[3]
BETULKAH TAK ADA IDE YANG BENAR-BENAR ORISINAL?
Mendalami teori Kristeva, akan membuat kita bertanya-tanya: betulkah kebaruan dalam sebuah karya itu memang benar-benar ada? Apakah orisinalitas itu memang ada?
Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Alain Badiou—seorang pemikir Perancis, sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu seringkali cuma berlangsung sekilas; hadirnya pun misterius. Dan seringkali muncul dalam keadaan yang tak terduga-duga. Namun, kejadian ini bermakna sangat besar dari sebuah proses kreasi—baik dalam bidang seni, maupun bidang-bidang lain.
Hampir mirip dengan postulat Badiou barangkali adalah konsep ‘eureka’ Archimedes. Kita tentu tahu bagaimana seorang Archimedes berteriak “eureka!” dalam keadaan berendam di bak mandi dan berlari-lari dalam keadaan (maaf) telanjang, saat mendadak dia menemukan sebuah ide besar yang menjawab pertanyaan raja perihal keaslian emas yang melapisi mahkota sang raja.
Kita juga pernah mendengar bagaimana seorang Newton berhasil menemukan sebuah konsep besar yang menjadi awalan revolusi ilmu pengetahuan tentang teori Gravitasi hanya gara-gara buah apel yang jatuh dari pohonnya. Munculnya sebuah ide, memang seperti sebuah misteri tersendiri. Namun, jika kita memahami bagaimana sebuah kreasi muncul, sebenarnya proses ‘eureka!’ ini juga berawal proses kreatif yang panjang dari seorang penulis.
Proses penemuan ide ini mungkin akan menjawab pertanyaan di atas. Bisa jadi, memang tak ada yang benar-benar orisinal dalam sebuah karya. Akan tetapi, proses kreasi memang tidak ‘menuntut’ sesuatu yang benar-benar baru secara seratus persen.
Kreativitas, menurut The Liang Gie didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru. Kreativitas akan sangat tergantung kepada pemikiran kreatif seseorang, yakni proses budi seseorang dalam menciptakan gagasan baru. Penggabungan baru itu dirumuskan oleh Haefele sebagai: A + B à C
Hal ini disebut sebagai proses bisosiasi, yakni yang menurut Arthur Koestler didefinisikan sebagai pengatuan dua alur pemikiran yang sebelumnya tidak berkaitan.
Suatu saat, Anda melihat lem dan serutan/ serbuk gergaji. Maka muncullah kreativitas untuk menyatukan serbuk gergaji itu dengan lem, jadilah produk kayu lapis. Anda melihat sepatu, lantas melihat sepeda. Maka terciptalah sepatu roda. Anda melihat sampah plastik, lalu Anda melihat api. Terciptalah sebuah mesin yang memproduksi plastik daur ulang. Anda melihat ceramah agama di masjid, lalu Anda melihat orang bersenang-senang di sebuah cafe, maka terciptalah metode berceramah ala cafe, yakni ceramah yang sekaligus untuk memasukkan nilai-nilai agama, namun sekaligus menghibur.
Anda melihat ada tanaman tomat, serta tanaman kentang. Lalu Anda menyambungnya. Akar hingga bagian tengah adalah tanaman kentang, sedangkan bagian tengah hingga daun-daun adalah tanaman tomat. Hasilnya adalah sebuah tanaman yang bisa menghasilkan buah tomat sekaligus umbi kentang. Selain akan menghemat lahan, Anda juga akan lebih efesien dalam merawat tanaman tersebut.
Kreativitas juga bisa berupa merangkai dari banyak hal menjadi suatu hal baru. Persis seperti seorang anak kecil yang merangkai keping-keping puzzle menjadi sebuah bentuk yang utuh dan berwujud. Dan hakekat dari penciptaan yang dilakukan oleh manusia memang hanya sekadar merangkai, menggabungkan materi dengan bentuknya, begitu menurut Ibnu Rusyd. Penciptaan oleh manusia, bukanlah berasal dari sesuatu yang tiada, is not creatio ex nihilo. Bahan-bahan sudah tersebar di alam semesta, sebagian sudah tertulis di dalam buku-buku, sebagian belum. Imajinasi kitalah yang kemudian merangkainya menjadi sesuatu yang baru. Akan tetapi, ide awal dalam proses penciptaan inilah yang sesungguhnya menjadi hal terpenting dalam sebuah karya.
Proses kreatif seseorang itu sebenarnya juga merupakan pekerjaan yang tidak sim salabim. Menurut Herman Helmhotz dan George Wallas, proses kreatif yang terjadi dalam kepala kita bisa diringkas menjadi empat tahapan penting.
Persiapan: tahap di mana individu bersangkutan mengumpulkan pengetahuan, informasi atau data-data yang dijadikan bahan baku untuk penciptaannya. Tahap ini bisa memakan waktu belasan bahkan puluhan tahun.
Inkubasi: proses ketika kita menghadapi sebuah masalah yang membutuhkan pemecahan. Pengalaman dan pengetahuan sangat berperan aktif dalam hal ini, karena bagaimanapun juga kreativitas adalah kemampuan menciptakan kombinasi baru diatas struktur yang lama
Iluminasi: proses penemuan ide yang muncul ke permukaan. Proses inilah yang sering disebut sebagai insight, saat kita merasa menemukan sesuatu yang ‘cling’! Atau yang dalam bahasa Alain Badiou di atas disebut sebagai “kejadian” (atau l’événement)
Verifikasi: yakni proses penjabaran ide secara terperinci. Mungkin di sinilah teori intertekstual Julia Kristeva tersebut bermain. Kita mencari rujukan-rujukan, petikan-petikan dan seterusnya dari berbagai teks yang kita baca. Akan tetapi, tanpa 3 tahap yang berlangsung, mustahil kita bisa merangkai petikan-petikan itu menjadi sebuah kepingan peristiwa yang menarik.
Terlebih, yang akan dibagi oleh seorang seniman—termasuk sastrawan, adalah pengalaman estetik, pengalaman artistik. Menurut Gunawan Mohammad pengalaman artistik ketika menikmati sebuah karya seni, adalah sebuah situasi saat kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Yang kita ketahui adalah arus yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit yang mungkin ke sebuah tujuan, tapi mungkin menampung anak yang berenang-renang tanpa arah.
Bisakah pengalaman estetik itu dirasakan dari sebuah karya yang hanya merupakan kumpulan rujukan-rujukan, tanpa adanya proses insight, tanpa adanya inkubasi, dan juga tak ada ruh yang masuk di dalam sebuah karya?
TERINSPIRASI, EPIGONISME DAN PLAGIASI
Dengan sedemikian rumitnya proses berkreasi, terbetiklah di benak, betapa lancangnya sosok yang hanya sekadar menjiplak karya penulis lain dan mengklaim sebagai karyanya sendiri.
Masalah inspirasi, tentu sah-sah saja dalam sebuah proses kreasi. Seperti yang saya kutip dari Ibnu Rusyd di atas: Penciptaan oleh manusia, bukanlah berasal dari sesuatu yang tiada, is not creatio ex nihilo. Yah, barangkali, kita sering merasa resah, karena kita ternyata mendapatkan sebuah ide setelah membaca karya orang lain. Pokok keresahan kita adalah, apa kita termasuk plagiator?
Josip Novakovich menjawab tegas, tidak! Dalam buku “Berguru Pada Sastrawan Dunia” (terbitan Kaifa), dia menganalogikan hal tersebut sebagai warisan. Ibaratnya kita adalah orang yang mandiri, namun mendadak kita mendadak mendapat warisan dari orangtua kita. Maka jika anda menerima warisan tersebut, anda akan terlihat bodoh jika menyangkal keberadaan orangtua dan kakek-nenek kita. Akan tetapi, untuk mendapatkan warisan, tentu kita harus menjadi ahli waris. Dan untuk menjadi ‘ahli waris’ kita harus bertekun dalam sebuah bidang yang sama, melakukan proses persiapan dan inkubasi. Tanpa hal tersebut, bahkan berpuluh-puluh kali kita membaca sebuah karya pun, kita tak mungkin akan mendapatkan proses ‘insight’.
Soal inspirasi karya, Josip Novakovich memberikan contoh Homer yang mengarang The Odyssey dan The Illiad yang berdasarkan laporan perang; Virgil yang menulis The Aeneid berdasarkan karya Homer; Dante menulis The Inferno yang diilhami dari The Aeneid dan seterusnya. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa mereka adalah plagiat.
Tetapi, terinspirasi tentu sangat berbeda dengan epigonisme, apalagi plagiasi. Dalam KBBI, epigon dimaknai sebagai orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya; sedangkan plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb.) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb.) sendiri. Misalnya, menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri.
Beberapa pekerja kreatif menyebutkan bahwa epigon sesungguhnya hanya sedikit lebih baik daripada plagiat. Dan epigon juga bukan sesuatu yang baik. Beberapa praktik epigonisme yang sering kita lihat misalnya, dalam dalam soal merk. Seringkali produk-produk tertentu membuat merk yang mirip-mirip dengan merk yang sudah mapan. Misal, dulu zaman saya kecil ada merk sepatu EGEL, yang sepertinya merujuk pada EAGLE. Lalu, saat ini ada kue dengan merk ORIORIO yang pastinya merujuk pada OREO, dengan kemasan yang 90% sama. Saat novel karya Kang Abik, Ayat-Ayat Cinta, meledak di pasaran beberapa tahun yang lalu, mendadak sebaris panjang judul-judul novel yang hampir mirip, dengan alur cerita dan cover yang juga sangat mirip, ikut membanjiri pasar… dan ikut laris.
Sepertinya, praktik-praktik epigonisme ini memang banyak sekali terjadi, hampir di semua lini kehidupan. Pernah dalam sebuah perjalanan, saya melihat sekitar satu lusin orang berjualan bensin di depan rumahnya dengan jarak satu sama lain tak sampai seratus meter. Demikian juga, ketika bisnis konter HP muncul, mendadak ratusan konter serupa bersembulan bak jamur di musim hujan.
Jadi, sekali lagi, bisa dikatakan, proses mimesis juga terjadi pada zaman sekarang. Hanya saja, jika zaman Plato mimesis itu menjiplak dari realita, maka mimesis zaman sekarang adalah menjiplak karya yang sudah ada. Jika Plato bangkit dari alam kubur, mungkin dia tak hanya akan mengusir para seniman, tetapi membunuhinya. Karena praktik epigonisme dan plagiarisme bukan lagi sekadar menjiplak jiplakan, tetapi menjiplak jiplakan yang juga merupakan sebuah jiplakan.
[1] Luxemberg, Jan Van dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko).
[2] http://www.academia.edu/3485153/Teori_Intertekstual_Pengantar_
[3] Ismail Marahimin, 2001, Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, Jakarta
* Artikel ini dimuat pertama kali di http://www.afifahafra.net/2014/06/kreativitas-epigonisme-dan-plagiasi.html
Afifah Afra. Lahir di Purbalingga, 18 Februari 1979. Tinggal di Kota Surakarta. Sehari-hari beraktivitas mengelola penerbit PT Indiva Media Kreasi, sekaligus juga bergiat di Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena sebagai Sekjen. Website: www.afifahafra.net. Akun Twitter: @afifahafra79.