Jumat, Maret 15Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti


Laporan Pertanggungjawaban Juri : Lomba Cerpen Milad ke-23 Forum Lingkar Pena

FLP.or.id,- Lomba cerpen dalam rangka milad ke-23 FLP merupakan salah satu program kerja dari Divisi Karya Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP. Lomba kali ini mengusung tema ‘lingkungan’ sebagaimana tema besar milad, yakni literasi hijau – dan bagian tak terpisahkan dari tagline #LiterasiBerkeadaban BPP periode  2018-2021.

Sebulan setelah pengumuman penerimaan naskah, panitia  sempat pesimistis karena naskah yang masuk sangat minim. Namun, jelang batas tenggat pengiriman, bahkan hingga detik-detik terakhir, alhamdulillah jumlah pengirim naskah sudah cukup melegakan. Tercatat sebanyak 165 naskah yang terkirim ke surel panitia.

Meski bagi panitia cukup melegakan, jumlah naskah tersebut sebenarnya masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah kader FLP ber-NRA, yang saat ini mencapai 3.463 orang.

Dewan juri dalam lomba ini terdiri dari 3 plus 1. Ketiga juri ialah anggota Divisi Karya BPP, yaitu  Azzura Dayana, Masdar Zainal, dan Fitrawan Umar. Plus satunya ialah Sinta Yudisia.

Teknis penjurian adalah sebagai berikut:

  1. Seluruh identitas pengirim dihapus oleh panitia sehingga juri tidak mengetahui siapa penulis naskah tersebut.
  2. Azzura Dayana, Masdar Zainal, dan Fitrawan Umar bertugas menyeleksi hingga masing-masing memilih 20-25 naskah yang dianggap terbaik.
  3. Naskah pilihan masing-masing dewan juri dipertemukan, dan akhirnya diketahui 49 judul yang tersaring (diumumkan sebagai 49 besar).
  4. Dari 49 naskah pilihan, hanya 5 judul yang merupakan irisan dari tiga juri (5 judul tersebut dimasukkan oleh ketiga juri sebagai naskah terbaik). Sebanyak 10 judul merupakan irisan dari dua juri. 5 judul plus 10 judul tersebut dikategorikan sebagai 15 besar. Adapun 34 judul sisanya dipilih oleh salah satu juri saja.
  5. 15 besar tadi diserahkan ke Sinta Yudisia untuk ditentukan siapa pemenang pertama sampai dengan ketujuh.
  6. Untuk kepentingan penerbitan buku antologi, belakangan kemudian ditetapkan 25 besar naskah pilihan.

Catatan Atas Karya

Sejujurnya, secara umum, hanya sedikit sekali naskah peserta yang dapat dianggap sebagai cerpen sastra yang bermutu. Awalnya ketiga juri menetapkan poin dan bobot penilaian dari masing-masing indikator (kesesuaian tema, alur, ejaan, diksi, dst.), tetapi dalam perjalanannya, kuantifikasi tersebut tidak lagi berlaku. Rupanya tidak sulit bagi juri untuk segera mengeliminasi seratusan naskah yang dianggap kurang baik. Keadaan ini tentu saja adalah lampu kuning tersendiri bagi FLP, bagi kita.

Namun, harus juga dipaparkan bahwa, setelah belakangan ditelusuri riwayat peserta, kebanyakan memang masih penulis pemula, masih belum terlalu lama di FLP, masih belum berprestasi (katakanlah level nasional), dan sebagainya. Oleh karenanya, kita masih harus tetap bergembira. Kita masih punya banyak harapan dari 165 peserta.

Beragam topik dibicarakan oleh peserta dalam cerpen-cerpennya. Konflik lahan dan hutan adalah topik yang paling digemari. Ada juga topik tentang sampah, laut, budaya, air, desa, pejuang lingkungan, masa kecil, dan sebagainya. Keragaman topik ini sangat baik dan seharusnya dapat membantu untuk menggambarkan keadaan lingkungan di Indonesia saat ini, dan persepsi masyarakat terhadapnya. Sayangnya, banyak sekali yang tidak berhasil mengeksekusi cerita dengan baik.

Kelemahan umum naskah di antaranya ialah pertama, terlampau menjelaskan. Kedua,  tidak terlalu jelas apa yang ingin diceritakan; Tidak fokus; Terlalu bertele-tele; Menulis cerpen bagai menulis novel; dst. Padahal, prosa berjenis cerpen, kita tahu, hanya memiliki medium terbatas, dan oleh karenanya, seharusnya ditulis dengan efisien.

Kelemahan lain ialah drama berlebihan; tidak logis; dst.  Apakah kalau kamu mendaur ulang sampah dianggap alien di kompleks perumahan? Apakah orang yang membawa tumbler sekarang ini dianggap sebagai orang aneh?

Kelemahan lain lagi ialah penggunaan diksi yang bermaksud puitis, tetapi sebenarnya tidak pada tempatnya.

Akhirnya, setelah juri bekerja, berikut adalah para pemenang lomba ini:

Juara 1 Tot Zien, Rembang (Lita Lestianti – Malang, Jatim)

Mengangkat fiksi sejarah dengan latar era VOC di Indonesia, cerpen ini sangat menonjol di antara yang lain. Cerita disajikan secara proporsional, dapat dinikmati meski sarat dengan informasi. Dialog-dialog yang ditampilkan cukup berbobot, tetapi tetap memukau.

Juara 2 Fulan Fehan (Fathul Khair Tabri – Makassar, Sulsel)

Cerita tentang Atambua, Nusa Tenggara Timur. Lewat teknik penuturan yang sederhana, cerpen ini berhasil lepas dari jebakan yang kerap melanda cerita-cerita yang bernuansa lokal, semisal setting tempelan dan hasrat untuk memperkenalkan lokalitas secara berlebihan.

Juara 3 Aaauuummm! (Jaka Ferikusuma – Palembang, Sumsel)

Berkisah lewat sudut pandang harimau di kaki gunung Dempo. Cerpen ini terbilang baik menggambarkan konflik yang terjadi antara manusia dan harimau; tidak hitam dan putih; didukung oleh penyajian alur dan plot yang lumayan kuat.

Juara Harapan I Gurandil (Restu A Putra – Bogor, Jakarta Raya)

Sebagaimana judulnya, cerpen ini mengangkat cerita keluarga tokoh yang bekerja sebagai gurandil – penambang ilegal. Meski plot terkesan renggang, cerita yang disuguhkan tetap cukup memikat.

Juara Harapan II Rampak, Lelaki yang Roboh di Hadapan Sebatang Pohon (Ajeng Maharani – Sidoarjo, Jatim)

Cerpen ini menjadikan kisah cinta sebagai gerbong untuk topik besar, yakni konflik manusia dan lingkungan. Penuturannya terkesan sederhana, tetapi lebih dari cukup untuk membuat cerpen ini menarik perhatian.

Juara Harapan III Kepulangan (Fathromi Ramdlon – Riau)

Ditulis dengan liris lewat kumpulan fragmen, cerita ini berhasil mengangkat kegetiran musibah kabut asap di Riau. Unik.

Juara Harapan IV Mengapa Kita Dilarang Masuk Hutan? (Andi Batara Al Isra – Makassar, Sulsel)

Ajaran leluhur, hutan, dan perlawanan DI/TII pada 1960-an di perbatasan Sinjai berkelindan dalam cerita ini. Plot yang padat dan diksi yang segar membuat cerpen ini menarik untuk diikuti.

Penutup

Demikianlah laporan ini. Meski keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat, ruang-ruang diskusi tetap terbuka lebar. Demi kebaikan bersama. Selanjutnya, kita patut merayakan lomba bertema ‘lingkungan’ ini. Pengambilan tema seperti ini sangat baik dalam upaya menghindarkan karya-karya FLP dari satu atau satu-satunya pelabelan khusus, sekaligus juga meluaskan makna Sastra Islam (i) yang selama ini menjadi pilar FLP. Dari naskah-naskah peserta, jelas sekali bahwa mereka telah berhasil membumikan nilai-nilai universal islami, yang di antaranya ialah mencintai bumi. Selamat untuk kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This