Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Hukum Menulis Cerpen

Sumber: gizmowatch.com
Sumber: gizmowatch.com

Sebagai penikmat sastra –dan kadang-kadang iseng menulis karya sastra– pernah terlintas di benak saya bagaimana hukum menulis cerpen (apalagi novel)? Bukankah ada seperti unsur membohongi gitu? Menulis cerpen itu kan mengarang (insya’) dan mengarang itu kan mengada-ada –heheh–, apa nggak “ngapusi“, membohongi? Kan tokoh-tokohnya, kejadiannya, latar belakangnya, tempat kejadiannya; bias jadi rekaan semua,walau diangkat dari kejadian sehari-hari dengan merubah pelakunya.

Hal ini pernah merisaukan pikiran saya lumayan agak lama, sebelum saya mendiskusikannya dengan beberapa Guru-Guru Besar saya yang masing-masing memberikan jawaban berbeda sesuai dengan wijhah nadhor (sudut pandang) masing-masing, meski inti jawaban adalah sama.

Cerpen, dalam istilah Arab disebut “Riwayah” atau “qisshoh qoshiroh” atau “usthuroh” (tapi kalau ini lebih tepatnya berarti legenda); itu tidak ada hukum yang pasti dalam ilmu fiqih, maksudnya tidak ada bab khusus dalam ilmu fiqih yang membahas tentang itu. Berbeda dengan menggambar –baik 2 dimensi atau 3 dimensi­– yang terdapat dalil syariat sekaligus terjadi berbagai macam ikhtilafu-r Ro’yi (perbedaan pendapat) antar para fuqoha’ (pakar fiqih).

Maka jika melihat pada ketiadaan syariat memberikan hukum jelas terhadap sesuatu, bisa jadi menulis cerpen itu termasuk Mubah; namun karena faktor tertentu, ia bisa jadi juga haram, makruh, atau malah berpahala (begitu pula hukum membacanya) merujuk pada kaidah “al-ashlu fis syai-i al-ibahah ma lam yadullad dalil ala tahrimih“; asal segala sesuatu adalah boleh, selama tak ada indikator pengharaman.

Karena sejak dulu di dunia Arab –yang darinya terlahir empat madzhab itu– cerpen berkembang pesat, mulai “Kalilah wa Dimnah“, “Alfu Lailah wa Lailah“, “Qeis Majnun Layla” dan sebagainya. Dan tak satupun ulama madzhab yang meributkan apalagi memperselisihkannya. Bahkan sastra Arab sendiri telah jauh berkembang sejak pada masa sebelum Islam. Dan siapapun tahu bahwa cerpen masuk pada bagian ilmu Adab, atau Sastra

Sekedar untuk diketahui juga, Nabi Saw. diutus saat bangsa Arab berada dalam masa keemasan sastra mereka. Makanya Al-Qur’an turun dengan tingkat sastra yang ketinggiannya tidak bisa ditandingi oleh siapapun.

Secara to the point, cerpen itu dalam cara menghukuminya masuk pada kaidah “lil wasa-il hukmul maqashid“, tergantung penggunaan. Sederhananya, cerpen adalah hanya sebuah alat, wasilah, atau perantara. Maka bisa jadi ia berpahala kalau mengantarkan pembacanya ingat pada Allah, seperti fiksi-fiksi Islamy. Berdosa bahkan haram seperti novel-novel yang membangkitkan syahwat dan mengarahkan pembacanya pada maksiat. Bisa juga ia tak bernilai pahala atau dosa, seperti cerpen-cerpen yang fungsinya sekedar pelepas lelah, atau cerpen buat anak-anak, fiksi-fiksi fantasi, dan seterusnya.

Lepas daripada itu, bertutur dengan menyelipkan pendidikan, pemikiran, nasehat melalui media ini sebenarnya adalah salah satu uslub syariah (metode syariat). Lihat dalam Al-Qur’an atau Hadits, banyak sekali cerita-cerita bukan? Walau tentu saja kisah nyata.

Oleh karenanya, menulis sebuah cerpen bisa “ada gunanya” setelah memenuhi beberapa kriteria, apalagi kita adalah seorang muslim yang dituntut tidak boleh membuang waktu terhambur begitu saja. Semisal menulisnya untuk tujuan dakwah, dengan menyisipkan nilai-nilai agama di dalamnya, mengembangkan kreativitas dan daya imajinasi, tidak mengganggu kewajiban, tidak ada unsur sengaja membohongi, membuat fitnah, memprovokasi, menjatuhkan nama baik, dan seterusnya.

Memukul rata bahwa membuat cerpen adalah “ngapusi“, maka jadinya haram; adalah tentu tidak tepat. Sebab semua tahu bahwa cerpen adalah sastra, adab, dan dari dulu, tak ada satupun ulama yang meributkan adab. Apalagi sampai membid’ahkan dengan alasan tak ada di zaman Nabi. Kentara jika kurang memahami sejarah dan Uslub Qur’ani itu sendiri.

Alhasil, cerpen itu tergantung niat penulisnya, bisa jadi ia mubah, makruh, haram, sunnah, bahkan wajib. Bisa jadi ia berpahala, tak bernilai apa-apa, bahkan berdosa; semua kembali ke masing-masing penulis dan apa tujuannya.

Akhirnya, yang terpenting adalah niat, tak hanya cerpen, semua jenis dan model tulisan pun begitu, sebab ia adalah hanya sarana saja. Ya seperti makan, minum itu; asalnya kan mubah, bisa jadi bernilai ibadah kalau kita niatkan untuk suplemen biar giat sholat, atau malah dosa kalau diniatikan biar semangat saat hendak melakukan dosa. So, innamal a’malu binniyyah. Wallahu a’lam [aaq]

 

Awy Ameer Qolawun. FLP Arab Saudi.

3 Comments

  • Riza

    Bagaimana bisa judulnya Hukum Menulis Cerpen, tapi isinya tidak ada dalil hukumnya sama sekali? Sampeyan ini aneh.

  • Penggemar novel

    Saya ini suka baca novel terutama yg fantady dan kebetulan nemu blog kaya gini. Terus gimana? Apakah yg saya lakukan selama ini termasuk haram?

  • Tea Terina

    Perlu dipertegas lagi dengan dalil di Qur’an. Saat ini semakin banyak penulis sastra baik di medsos maupun media cetak. Haramkah menulis cerpen, novel?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This