Saya membayangkan, jika para mahasiswa kita telah terbiasa menulis, maka kelak ia akan terbantu dalam beberapa hal. Pertama, ketika menulis makalah atau tugas akhir, mahasiswa akan lebih terbantu dalam menuliskan ide-idenya yang mengalir, dan enak dibaca. Setidaknya sampai saat ini, kebijakan para calon sarjana untuk menuliskan artikel jurnal masih dipakai.
Jika kebiasaan menulis telah ada, maka pembuatan artikel jurnal juga akan lebih mudah. Kedua, setamat dari sarjana, bagi mahasiswa yang hendak melanjutkan pascasarjana dengan beasiswa, kadang ada lembaga beasiswa yang meminta calonnya untuk menulis apa rencana-rencana hidupnya setelah tamat kuliah. Dengan kebiasaan menulis, hal itu akan sangat membantu. Pun demikian ketika berkuliah S2, tugas-tugas kuliah akan lebih mudah dikerjakan. Ketiga, kebiasaan menulis juga bisa membuka lapangan kerja buat diri sendiri, dan bisa juga untuk orang lain. Ya, menulis buku dan diterbitkan, bisa mendapatkan royalti atau keuntungan tersendiri bagi penulis.
Keuntungan ini memang tidak seberapa besar, akan tetapi jika buku tersebut penjualannya bagus, tentu mendatangkan keuntungan yang baik bagi sang penulis. Mungkin di titik ini, ada yang berkata bahwa pentingnya menulis itu “kita sudah tahu” dan ia pun berhenti di titik itu. Kata bijak dari Bruce Lee—jagoan kungfu yang legendaris itu—rasanya menarik untuk dikutip di sini, “Tahu saja tidak cukup, Anda harus menerapkannya. Sanggup saja tidak cukup, Anda harus melakukannya” (Knowing is not enough, you must apply. Willing is not enough, you must do).
aaa
Demonstrasi
Sementara itu kita pun tak bisa “membunuh” demonstrasi, karena demonstrasi sudah tak bisa dilepaskan dari aktivitas gerakan mahasiswa. Mereka yang bergabung dengan lembaga kemahasiswaan seperti BEM atau lembaga-lembaga eksternal punya sebuah “ritual” demonstrasi. “Tidak lengkap kalian jadi mahasiswa jika tidak ikut demonstrasi!” begitu kata senior-senior saya dulu waktu Ospek di FISIP Unhas tahun 1999. Demonstrasi adalah sesuatu yang wajar, dan sah-sah saja dalam era demokrasi karena menyuarakan pendapat kepada pihak berwenang. Yang menjadi titik krusialnya adalah ketika demonstrasinya anarkis dan merusak. Semua kita pasti ingin melihat perbaikan, apalagi fasilitas yang sudah ada haruslah dijaga, karena milik bersama.
Dalam konteks kenaikan BBM saat ini, yang disebut-sebut sebagai “kado pertama” Jokowi setelah menjadi presiden, demonstrasi mahasiswa pun bentrok di beberapa tempat. Bentrokan mahasiswa dengan aparat (atau bahkan warga) bisa terjadi karena dua hal.
Pertama, skenario aksinya memang bentrok (chaos). Maka, sebelum demonstrasi dimulai, Jenderal Lapangan atau Koordinator Lapangan telah mengkoordinir rencana-rencana aksi, dan biasanya mahasiswa telah mempersiapkan untuk itu. Di beberapa aksi mahasiswa, bentrokan yang cukup teratur dilakukan dengan menyiapkan mahasiswa berbadan kuat di bagian depan karena akan terjadi saling dorong antara demonstran dengan aparat. Jarang sekali skenario bentrok dilakukan antara mahasiswa dengan warga, kecuali karena kondisi tertentu yang mengakibatkan warga menjadi antipati, misalnya karena macet, gaduh, merusak fasilitas, dan polusi akibat pembakaran ban bekas.
Kedua, skenarionya tidak bentrok, akan tetapi terjadi begitu saja secara alamiah karena provokasi pihak tertentu atau individu tertentu. Provokasi bisa terjadi di masing-masing pihak, apakah mahasiswa atau aparat. Jika seorang mahasiswa terluka, maka timbullah kemarahan, pun demikian jika seorang aparat terluka, seperti kasus Wakapolres Makassar AKBP Totok Lisdianto yang terkena anak panah di bagian rusuk kanannya saat membubarkan paksa aksi mahasiswa memblokir Jalan Pettarani di Makassar (www.kompas.com, 13/11/2014), hal itu menyebabkan aparat keamanan tidak bisa menahan diri untuk berdiam, hingga terjadilah konflik terbuka antara aparat dengan mahasiswa. Jadi, bentrokan itu terjadi karena provokasi-provokasi alamiah yang terjadi di lapangan.
aaa
Harapan
Kita berharap demonstrasi tidak anarkis, itu sudah pasti. Inti dari demonstrasi adalah menyampaikan pendapat. Sebenarnya, selain di lapangan, para mahasiswa juga bisa menyampaikan aspirasinya lewat surat yang dikirim ke instansi terkait atau lewat tulisan-tulisan di media. Kekuatan tulisan terkadang lebih kuat ketimbang lisan. Namun tidak dimungkiri bahwa pada hal-hal tertentu, demonstrasi lapangan juga punya kekuatan signifikan seperti ketika menuntut penguasa Orde Baru Soeharto mundur pada reformasi tahun 1998.
Secara pribadi kita berharap demonstrasi mahasiswa—dengan tuntutan yang sangat mulia seperti “turunkan harga BBM”—tidak mengakibatkan bentrok dengan aparat keamanan atau dengan warga masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang tidak populer ini, menurut Presiden Jokowi sudah dipikirkan sejak lama namun pemerintah harus mengambil keputusan tersebut untuk tambahan anggaran pembangunan sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan (www.jpnn.com, 17/11/2014). Suka atau tidak suka, kita juga mau tidak mau perlu berbaik sangka—paling tidak seperti itu—kepada kebijakan pemerintah.
Artinya, dalam prasangka positif, walau saya pribadi tidak setuju BBM dinaikkan, tapi kita bisa berpikir begini, “tidak mungkin pemerintah kita mau menyengsarakan rakyat dengan kenaikan harga BBM yang terasa menyulitkan ini.”
Memang, terkadang untuk mendapatkan hal baik (di masa depan) kita perlu berkorban di masa sekarang. Kita berharap semoga “pengorbanan” kita sekarang ini dengan kenaikan harga membuahkan hal-hal manis di masa depan dengan benar-benar terdistribusinya subsidi pada hal-hal strategis lainnya dan membawa berkah bagi hajat hidup orang banyak di negeri tercinta ini.**