Pada Jumat, 24 Juni 2016, hasil referendum masyarakat di Britania Raya dan Irlandia Utara tentang keanggotaan di Uni Eropa resmi diumumkan. Hasilnya, kubu Brexit memenangkan referendum dengan meraup 51.9% suara. Ini berarti, Britania Raya dan Irandia Utara menjadi negara pertama yang secara resmi akan keluar dari Uni Eropa. Perubahan ini tentu membawa banyak tantangan, salah satunya tentang masa depan multikulturalisme di Britania Raya.
Britania Raya dan Irlandia Utara yang terdiri dari Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara memang memiliki pasang-surut dalam hubungannya dengan Uni Eropa. Perdebatan mengenai keluarnya Britania Raya dan Irlandia Utara dari Uni Eropa sebenarnya telah muncul sejak tahun 1973. Pada tahun 1975, dilaksanakan referendum untuk menentukan apakah Britania Raya dan Irlandia Utara akan terus bergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (cikal bakal Uni Eropa). Meski referendum 1975 ini mendukung bergabungnya Britania Raya dan Irlandia Utara ke dalam MEE, namun gerakan untuk keluar dari persatuan Eropa masih terus bertahan.
Istilah Brexit, atau Britain Exit, digunakan untuk menyebut gerakan keluar dari Uni Eropa sejak Juni 2012, saat kelompok Eurosceptic di dalam Partai Konservatif menggulirkan lagi wacana untuk keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri David Cameron mencoba meredamnya namun perdebatan makin memanas dan mencapai puncak di tahun 2015. Untuk mengakomodasi gerakan ini, Cameron pun mengatur pelaksanaan referendum pada Kamis, 23 Juni 2016.
Perdebatan tentang Brexit pada awalnya didominasi oleh masalah ekonomi seperti keengganan tunduk pada aturan pajak Uni Eropa. Namun, semenjak tahun 2015, pihak pendukung Brexit menggeser argumen mereka dari masalah ekonomi ke persoalan identitas dan imigrasi. Brexit penting bukan hanya karena menyangkut pajak atau pekerjaan namun untuk menjaga identitas dan tradisi Britania dari serbuan imigran dan budaya asing yang mereka bawa.
Kentalnya masalah identitas dan imigrasi ini nampak pada kampanye menjelang referendum. Pihak pengusung Brexit menjadikan masalah imigrasi sebagai bahan kampanye utama. Boris Johnson, tokoh Partai Konservatif dan mantan walikota London yang kemudian menjadi wajah utama gerakan Brexit, menyatakan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa akan mengurangi jumlah imigran yang masuk ke negara ini.
Lebih jauh lagi, Nigel Farage, pemimpin partai UKIP, melakukan serangan terhadap imigran melalui poster kampanye Leave EU. Poster kampanye ini mengambil gambar pengungsi yang melintasi perbatasan Slovenia tahun lalu dan mengesankan mereka sebagai imigran yang akan membanjiri Britania Raya jika tetap menjadi anggota Uni Eropa. Meskipun mendapat kecaman dari banyak pihak, poster ini tetap beredar dan menjadi perhatian masyarakat.
Upaya pendukung Brexit mengangkat masalah imigrasi ini berdampak pada hasil referendum. Berdasarkan pada laporan BBC dan Guardian pada 24 Juni 2016, warga masyarakat yang khawatir dengan imigran akhirnya mendukung Brexit. Dari 30 daerah pemilihan dengan warga mengidentifikasi sebagai “orang Inggris asli”, semuanya memilih keluar dari EU. Daerah-daerah lain yang memiliki jumlah imigran rendah dan masyarakat yang cemas dengan imigran pun mendukung keluar dari Uni Eropa. Sebaliknya, kota-kota besar yang memiliki jumlah imigran tinggi memilih tetap di Uni Eropa. Kota-kota ini memiliki paradigma berpikir yang maju dan menghargai kemajemukan budaya yang dibawa para imigran.
Hasil referendum di dua daerah, North East England dan Wales, dapat menjadi cermin bahwa Brexit sejatinya adalah ekspresi penolakan warga Britania Raya terhadap multikulturalisme. North East England adalah daerah basis Partai Buruh. Idealnya, daerah ini akan memilih untuk tetap di Uni Eropa, sesuai dengan kebijakan Partai Buruh. Namun referendum di daerah ini justru dimenangkan oleh kubu Brexit.
Dari daerah pemilihan di North East England, hanya kota Newcastle upon Tyne yang mendukung tetap di Uni Eropa (50,7%). Hasil referendum di daerah pemilihan lain memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Newcastle upon Tyne merupakan kota multikultural dengan jumlah imigran yang besar. Gerakan anti-rasisme juga kuat di kota ini. Sebaliknya, daerah pemilihan lain di North East seperti Sunderland dan Gateshead memiliki jumlah imigran yang lebih sedikit. Cara pandang masyarakatnya pun cenderung tertutup, mengutamakan warga asli kulit putih dan anti imigran.
Referendum di Wales juga memenangkan kubu Brexit. Hasil ini mengejutkan karena dari empat puluh anggota dewan dari Wales, hanya lima orang yang mendukung keluar dari Uni Eropa. Jika warga Wales memilih sesuai platform partai politik pilihan mereka maka seharusnya Wales mendukung untuk tetap di Uni Eropa. Apalagi, Wales selama ini menerima banyak dana bantuan dari Uni Eropa. Pada tahun 2014, Wales menerima 240 juta poundsterling dari Uni Eropa untuk pembangunan daerahnya. Dengan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa maka Wales akan kehilangan dana bantuan ini. Terlebih, 90% produk peternakan dari Wales selama ini diekspor ke Uni Eropa. Ancaman tarif dan hambatan perdagangan lain akibat keluar dari Uni Eropa tentu akan merugikan para peternak.
Pilihan mayoritas warga Wales untuk keluar dari Uni Eropa ini tidak masuk akal jika dilihat dari kacamata politik ataupun ekonomi. Namun pilihan ini masuk akal ketika mencermati komposisi masyarakat Wales dan sikap mereka terhadap Uni Eropa. Daerah-daerah di Wales yang memiliki jumlah imigran banyak mendukung tetap berada di Uni Eropa. Daerah-daerah dengan jumlah imigran sedikit memilih untuk keluar. Pola di Wales ternyata sama dengan pola di North East England. Sikap terhadap imigran inilah yang menentukan pilihan pada referendum.
Kondisi di North East England dan Wales ini mencerminkan pola umum di Inggris dan Wales. Kehadiran banyak imigran di satu daerah pemilihan membuat masyarakat lokal di daerah tersebut berinteraksi dengan budaya lain dan secara perlahan membentuk masyarakat yang multikultural. Pola pikir masyarakat setempat pun terbuka dan imigran tidak lagi dipandang sebagai kambing hitam kelesuan ekonomi yang melanda Britania Raya.
Sebaliknya, daerah-daerah dengan jumlah imigran sedikit memiliki cara pandang yang kental dengan nuansa tradisional. Warga memiliki keinginan untuk menjaga identitas mereka sebagai orang Inggris atau Wales dan memiliki kecurigaan terhadap budaya asing. Kampanye Brexit yang menyoroti imigran sebagai penyebab sulitnya warga lokal mencari pekerjaan atau buruknya sistem kesehatan nasional di Inggris pun seperti menyiram minyak ke api. Kecurigaan terhadap budaya asing berkembang menjadi penolakan terhadap imigran yang terwujud dalam referendum lalu.
Kekhawatiran bahwa hasil referendum memenangkan Brexit ini akan melunturkan budaya multikultur dan menguatkan rasisme mendorong warga untuk bertindak. Pada Jumat, 24 Juni 2016 sore hari, ratusan orang melaksanakan unjuk rasa di Whitechapel, London. Mereka menyatakan dukungan pada imigran dan kecaman terhadap kampanye rasis yang dilakukan beberapa pendukung Brexit.
Pada akhirnya, Brexit bukan hanya masalah ekonomi namun lebih mendasar lagi, masalah tentang British identity dan multikulturalisme. Apakah Britania masih terbuka untuk warga asing? Apakah kesantunan dan keluwesan warga Britania yang selama ini menjadi pendukung pertemuan dan interaksi ragam budaya masih tersisa? Ataukah telah pudar tergerus kampanye anti imigran yang dilancarkan pendukung Brexit? Mampukah pemerintahan baru, selepas mundurnya Cameron di bulan Oktober mendatang, menjamin keamanan dan kenyamanan warga asing yang bermukim di Britania? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi warga selepas pengumuman hasil referendum. Jika melihat pada sikap Boris Johnson atau Nigel Farage selama kampanye Brexit silam, sepertinya multikulturalisme akan menghadapi masa gelap di Britania.
*Tulisan ini juga dapat dibaca di Harian Republika, Senin 27 Juni 2016 dengan judul “Brexit dan Multikulturalisme”.
*Ganjar Widhiyoga. Staf pengajar di Prodi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Saat ini sedang menempuh studi doktoral di School of Government and International Affairs, Durham University, United Kingdom. Koordinator Divisi Kaderisasi BPP FLP 2013-2017. Penulis bisa dihubungi lewat akun twitter: @GanjarWY
Yah,,kalau nantinya Britania Raya jd anti imigran, kasian orang macam aku nih yg belum ngerasain berkunjung k sana #ehh 😀