Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Attar

padang_pasir_tandusJadi, siapakah jajak insan yang hendak kau jerat dengan jejala retinamu, Jelita? Tanpa peduli detak waktu yang terus berputar, kau terus saja menebar jaring pandangmu. Padahal, piranti penjeratmu begitu sempit. Sementara, padang ini membentang seluas mata memandang.

Dan, tempat ini pun pastinya tak selaras dengan napas keindahan yang kau asakan. Ini bukan wahana penenggat penat. Bukan pula sarana rehat. Ini sebuah tempat yang sangat akrab dengan bahaya. Lihatlah puncak gunung yang terbelah, dengan kepulan asap solfatara yang menguar dari celah kawah. Tataplah bebatang pohon yang pekat. Rumah-rumah separuh rencah, perabot nan sisakan kerangka besi atau belukar hangus yang menghamparkan permadani kelam.

Semua itu, mestinya mampu menggemparkan saraf ketenangan di otakmu. Kau tahu penyebabnya, Jelita? Ya, gumpalan awan panas itu, yang disebut orang-orang sebagai wedhus gembel, telah melelehkan semuanya. Juga gelontoran lumpur dan bebatuan panas yang tiba-tiba termuntahkan dari lambung gunung, yang menjulang di depan kita. Tahukah kau, mereka akan datang sewaktu-waktu tanpa kita duga. Sudah banyak yang bergelimangan sebagai korban. Jadi, mengapa kau tak pergi juga?

Ya, Jelita. Aku mampu mendeteksi kelindan pikirmu. Kau tak lelah, dan mungkin tak akan lelah. Ada sesuatu yang besar, yang mengumpal di dadamu. Sebuah obsesi yang panasnya mungkin mengalahkan bahang wedhus gembel. Paling tidak, aku telah membuktikannya. Sejak lima hari terakhir ini, kau selalu mendatangi tempat ini, bahkan sebelum cahaya mentari menyambangi alam.

Begitu fajar merekah, deru suara kendaraanmu yang bingar, menggetar semak belukar yang hangus terbakar. Saat itulah, aku melihatmu turun dari jeep putih itu, berjalan pelan, dan berdiri memandang lautan pasir ini, dengan sepasang mata penuh kabut. Seharian penuh kau menapakkan kaki mungilmu yang terbungkus sepatu boot, memahat tapak-tapak frustasi, menyusuri depa demi depa lokasi yang telah porak poranda. Kau hanya akan berhenti jika gelap bertandang. Kau pergi dengan seonggok resah, yang kutebak tak membuatmu sanggup lelap saat beristirahat. Buktinya, paginya, dengan setia kau datang kembali.

Kau mencari sesuatu, atau seseorang. Atau seseorang yang telah menjadi sesuatu. Mungkin pasir, mungkin batu. Napasmu menguarkan kesedihan, itu pasti. Bahkan, seolah-olah elan hidupmu telah tercerabut, menyublim dan menyatu dengan hawa.

Kau tampak begitu kusut. Rambutmu yang tergerai indah, mungkin lama tak tersentuh sisir. Beruntung, kain hitam yang kau balutkan di rambutmu itu, cukup mampu melindungi mahkota bajangmu itu. Bahkan pakaian yang kau kenakan pun selalu itu. Kulot baby jeans biru, t’sirt hitam, dan mantel panjang yang menutup lebih dari separuh tubuhmu. Juga syal itu. Syal warna pelangi yang selalu saja berkibar-kibar dimainkan angin.

Namun begitu, tak ada yang bisa menutupi pancaran pesona wadagmu, Jelita. Bahkan, aku pun terpesona tatkala memandangimu. Wajahmu yang lembut, sangat mirip gurat lukisan gadis-gadis klasik yang melintas di petala imajinasi para perupa abad pertengahan. Maka, aku pun tak bisa menyimpan rasa cemburu, sekaligus mengira-ngira, betapa bahagianya orang yang berhasil  merapat di pelabuhan hatimu.

Matahari telah begitu terik, keringat menganak sungai dan menderasi wajahmu yang memerah lelah. Saat itulah, kau mendekatiku. Tetapi, tatapan matamu begitu kosong. Kau tak ingin menyapaku, dan hanya bersedia untuk duduk di sebuah batu di sampingku. Batu yang juga telah pekat tergampar awan panas.

“Attar … dimana kau?” kau bersuara. Aku terkesima. Ya, baru kali ini aku mendengarmu bersuara.

“Attaaaaaaar!” tiba-tiba kau berteriak, sangat nyaring. Seperti sebuah katarsis yang ingin coba kau hempaskan. Sayangnya, teriakan yang pastinya dilambari sekian joule energi itu, menjadi tak bernilai apa-apa saat tertelan hamparan luas yang kini telah berubah menjadi lautan pasir.

Ya, lautan pasir.

Jelita, bolehkah aku bercerita? Dahulu, padang pasir itu adalah sebuah aliran sungai. Sebuah jurang sedalam lebih dari dua puluh meter. Aliran sungai yang membawa kesegaran dari pegunungan. Namun, saat sang arga murka, ia mengeluarkan jutaan ton material vulkanik, yang digelontorkan lewat aliran sungai ini. Pohon, semak dan bebatuan, kini terbenam pasir. Bahkan juga rumah-rumah yang berada di sekitar aliran sungai. Jika lembah ini sekarang telah rata dengan tanah, bisakah kau bayangkan, betapa dahsyat kejadian itu, Jelita?

“Attaaaaaaar!”

Attar? Lengkinganmu yang kedua menghentakkan kesadaranku. Nama itu, ya … tiba-tiba ada yang terasa lekat dalam diriku. Sangat lekat. Coba, beri waktu aku barang sejenak untuk mengheningkan cipta, Jelita. Rasa-rasanya, aku mengenal nama itu.

Sebentar … sebentar, Gadis Ayu! Sepertinya, slide episode itu ada di memoriku. Aku akan memutarnya kembali. Nah, itu … aku melihat film itu terputar kembali.

“Attar, pulang kau! Jangan coba-coba menentang maut!” teriak seorang lelaki tegap, berseragam lapangan yang khas: celana kakhi, kaos lengan panjang, rompi, sepatu boot dan berbagai peralatan yang tak terlalu asing bagiku. Ya, karena hampir empat atau lima tahun sekali, saat hura-hara itu datang, orang-orang seperti mereka selalu saja aku jumpai bertebaran di tempat ini.

“Tak mungkinlah aku pulang, Bang!” lelaki muda itu berkata, keras dan tegas. Sembari berdiri tegak, ia menatap lurus lelaki tegap itu dengan pandangan menusuk. Ah… aku sungguh sangat terkesan padanya. Ia memiliki sepasang mata setajam elang. Pandangan itu melekat kuat pada jejaring memoriku, dengan ujung-ujung dendrit yang begitu peka terhadap memori baru. Itulah sebabnya, begitu kau menyebut nama itu, dengan seketika slide itu muncul di lanskap anganku.

“Aku sudah memutuskan jadi relawan. Aku akan berjuang sebisanya di sini! Jika aku pergi, meninggalkan mereka yang tengah terluka, aku akan sama derajatnya dengan pecundang.”

“Jangan mengorbankan diri. Kubur idealismu sejenak saja. Wedhus gembel bisa datang seketika dan melumatkan tubuh kita. Sudah ada beberapa relawan yang menjadi korban. Apa kau tidak takut?”

“Tidak ada yang kutakutkan di dunia ini kecuali kepengecutan itu sendiri!”

“Attar, sekali lagi aku menasehati. Kau masih terlalu muda. Sangat muda, malahan. Masa depanmu masih sangat panjang. Dan, kau belum berpengalaman menjadi relawan bencana alam.”

“Aku pernah pergi ke Padang saat gempa, beberapa kali musibah tanah longsor, dan ….”

“Letusan merapi berbeda dengan bencana apapun di negeri ini, Attar!” suara lelaki berkumis lebat itu meninggi. “Di sini, kita harus berhadapan dengan badai piroclastic yang sewaktu-waktu meluncur dengan kecepatan ratusan kilometer per jam. Sangat berbahaya jika kita berada di titik luncuran itu. Jadi, pulang sajalah! Nanti, jika status awas sudah diturunkan, kau bisa datang lagi dan menjadi relawan untuk aktivitas yang lebih aman. Recovery misalnya. Bakti sosial, pengobatan massal, atau apalah … yang penting bukan rescue. Terlalu besar resikonya.”

Anak muda bermata elang itu bergeming. Entahlah. Rasa takut dalam jiwanya mungkin telah menguap dan melayang ke angkasa, bergabung dengan atmosfir bumi. Meski koordinator relawan itu berkali-kali mengusirnya, tetap saja ia selalu siap dengan seragam dan peralatan tim rescue-nya. Ia bahkan selalu menjadi yang pertama hadir. Dengan tenang ia meloncat ke atas landrover berban mati—atau terkadang mobil haglun alias kendaraan amfibi milik PMI yang menjadi mobil operasional para relawan.

Apakah Attar itu, anak muda berhati baja yang kau maksud, Jelita? Lelaki muda yang menjadi salah satu dari belasan relawan yang saat subuh menyaksikan ‘neraka’ membentang di hamparan bekas Sungai Gendol. Belasan relawan yang lantas terbelalak menyaksikan luapan material merapi yang menimbun daerah aliran sungai yang semula berkedalaman sekitar 25 meter itu.

Pijar jingga memancar dari areal yang sangat luas. Terasa menyilaukan mata di pagi yang masih pekat. Rasa-rasanya, permukaan itu telah diselimuti selapis tebal, dan lebar: permadani bara.

“Mengejutkan!” desah pimpinan tim rescue itu. “Musibah ini justru terjadi pada titik yang dikira aman, KM ke 17. Lava pijar dimuntahkan dari Merapi, dan hanyut di aliran sungai ini. Berapa banyak korban yang jatuh? Lihatlah, daerah ini telah tertimbun material erupsi. Rumah-rumah penduduk di tepi sungai tak terkecuali.”

“Ini … ini benar-benar neraka di depan mata,” bisik lelaki muda bernama Attar itu. Ada rasa gugup melanda jiwanya. Yah, siapa yang tak akan bergetar hatinya ketika berhadapan dengan sisa bencana sedahsyat erupsi merapi saat itu?

“Kau takut?” tanya sang pimpinan.

Attar mendengus. “Tidak! Sekali aku memancang tekad, maka tak ada seorang pun yang akan mampu menghentikanku.”

Ah, benar-benar anak muda berhati karang. Siapamu kah anak muda itu, Gadis Ayu?

“Kepala batu!” rutuk si senior.

“Lihat, itu ada sebuah rumah!” teriak Attar. “Ya Allah, ada seseorang berdiri di depan pintu. Seorang nenek! Lihat, ia melambaikan tangan ke kita! Ayo, kita tolong!”

Attar bergerak cepat. Namun tangan kokoh sang senior menariknya. “Jangan gegabah. Semua harus penuh perhitungan. Kita memang akan menyelamatkan mereka, tetapi keselamatan kita sendiri juga harus kita perhatikan. Menuju rumah itu harus melewati hamparan lumpur pijar. Kau mau, tubuhmu menjadi seperti ini?!”

Sang senior memasukkan sebatang bambu yang sejak tadi ia pegang ke sebuah tempat yang mengepulkan asap. Sisa-sisa lava. Beberapa relawan berseru kaget, ketika melihat bambu itu terbakar.

“Benar-benar mengerikan!”

“Yeaah! Bayangkan, suhu asal material ini, ketika meluncur dari Merapi, sekitar seribu derajat celcius. Sekarang, mungkin sudah mulai mendingin, tetapi tetap saja bisa menghanguskan tubuh kita.”

Attar mengangkat wajah. Ada resah membayang. Aku tahu, ia gelisah melihat nenek tua yang melambai-lambaikan tangan di tengah kepungan lumpur dan material pijar. “Tetapi, Bang! Kita harus mencari cara, bagaimana bisa mencapai rumah itu, dan menolong nenek itu,” desahnya.

“Ada satu cara, tetapi memang penuh resiko,” desis sang senior. Ia pun kemudian memerintahkan pada relawan mengambil batang-batang bambu yang telah mereka persiapkan. Beruntung, bambu itu tidak sampai terbakar ketika bersentuhan dengan lumpur panas, mungkin karena suhu lumpur yang berada di permukaan tanah, tak sepanas sisa lava yang ada dalam genangan. Namun, tetap saja lumpur itu bisa membuat kaki melepuh jika dilewati secara langsung.

“Sekarang, siapa yang hendak mencoba meniti bambu ini?”

Para relawan saling pandang. Namun, tanpa banyak berpikir, si kepala batu itu melangkah mantap. “Aku yang akan mencoba!”

“Tidak!” tegas sang senior. “Kau belum berpengalaman.”

“Aku yang akan kesana!” tanpa menunggu persetujuan sang pimpinan, Attar beranjak. Ia meniti perlahan titian bambu yang melintasi hamparan penuh lumpur pijar. Sangat hati-hati, namun lincah dan cekatan. Ia menjadi tontonan para lelaki dewasa yang memperhatikannya dengan dada berdebar.

Ah, aku pun ikut merasa berdebar. Bagaimana jika kaki itu tergelincir, dan tubuh itu jatuh dalam genangan lumpur panas yang bertebaran di sana-sini? Namun, anak muda itu memang hebat! Attar, ia berhasil melintasi titian, dan kini ia kembali dengan menuntun seorang perempuan tua dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri dengan erat mencengkeram tongkat bambu yang menjadi tumpuan ke lumpur itu. Beruntung, meskipun masih sangat muda, ia memiliki postur tubuh yang sangat atletis. Tinggi besar, dan terlihat sangat kuat. Sementara, si nenek tampak kurus dan ringkih.

Seruan dan gumaman kagum tercetus dari bibir-bibir para relawan, melihat anak muda itu berhasil menyelamatkan si nenek tua. Sebuah evakuasi gagah berani, yang dilakukan oleh seorang yang mungkin masih duduk di bangku SMA.

“Kau hebat!” si senior menepuk bahu Attar. Wajahnya terlihat haru. “Tetapi, kita harus tetap hati-hati. Di sini, maut mengincar kita dari segala penjuru. Kau masih terlalu muda, tentu banyak yang akan kehilangan jika kau ….”

“Siapa yang akan merasa kehilangan sekalipun ragaku lumat?” tiba-tiba Attar mendesah. “Tak ada, Bang! Tak ada.”

Lelaki muda itu memandang langit yang mulai cerah, sebab sinar mentari mulai menerbarkan bilah-bilah lembut cahayanya. Ada keputusasaan … sedikit, tergores di mata yang selalu bersinar tajam itu. “Jika kedua orangtuaku sendiri tak menganggap ada keberadaan anaknya, apakah aku harus merasa masih ada orang yang mengharapkan kehadiranku? Tidak, Bang! Justru di sini, di tengah jeritan orang-orang yang ditimpa bencana, aku merasa kehadiranku dibutuhkan. Kau tahu Bang, itu sangat berarti bagiku. Bagi orang yang sejak kecil tinggal di panti asuhan, lalu dipungut oleh keluarga yang hanya butuh seorang anak sebagai status, namun tak pernah memberikan perhatian karena terlalu sibuk mengejar dunia.”

Ucapan Attar terdengar ketus.

“Jadi, jika Abang dan teman-teman yang lain terus memaksa aku untuk pergi, maka aku tak akan pergi. Aku akan bergerak sendiri, menolong mereka yang membutuhkan. Aku nggak peduli meskipun wedhus gembel melumatkan tubuh aku. Bagiku, mati karena membantu orang lain, jauh lebih baik daripada hidup tanpa ada yang menghargai aku.”

Tak ada yang bersuara. Semua terkesima dengan ucapan Attar.

“Baiklah,” kata sang senior, akhirnya. “Terserah saja apa mau kamu. Yang jelas, sebagai pimpinan, aku tidak ingin ada anak buahku yang jatuh sebagai korban!”

“Haaai!” teriak seorang relawan yang tengah beraksi di dekat reruntuhan sebuah rumah, tiba-tiba. “Di sini ada mayat anak kecil!”

Belasan manusia berseragam relawan lengkap itu berlarian mendekat, termasuk Attar. Ah, ada yang teriris-iris dalam diriku menyaksikan sesosok tubuh kecil yang kini tinggal tulang belulang itu. Sosok itu begitu kecil, tak ada satu meter tingginya. Aku tahu siapa bocah itu. Ia bernama Danang, anak yang dilahirkan sekitar dua tahun yang lalu. Ia tengah sangat lucu-lucunya. Pipinya tembam, senyumnya indah, menggemaskan.

Lantas terdengar seruan relawan yang lain, yang berada tak jauh dari reruntuhan rumah tersebut. “Hei, ini ada mayat perempuan. Hangus, tapi belum begitu hancur. Masih terlihat jelas wajahnya. Ya Allah, mungkin ini ibu si anak itu ….”

Para relawan terdiam. Seperti ada yang menyumbat tenggorokan mereka sehingga tak mampu sedikit pun mengeluarkan suara. Pemandangan di depan mereka, benar-benar menyayat hati. Aku terpekur. Ya, akupun mengenali perempuan itu. Benar, ia ibu Danang. Seorang ibu muda yang trengginas, baik hati dan lumayan ayu. Mereka tengah tidur berpelukan saat musibah itu datang. Hawa panas yang kuat mengejutkan sang ibu, sehingga ia terbangun. Ia berlari cepat keluar rumah, akan tetapi, gelontoran lava itu menghantamnya. Mereka terpelanting dan tewas dengan tubuh hancur.

Ah, musibah Merapi kali ini, benar-benar dashyat. Tak hanya karena luncuran awan panas, namun juga karena aliran lava yang termuntahkan dan memadati Sungai Gendol. Ratusan korban meninggal, rata-rata dalam kondisi hangus. Bahkan, tulang-tulang mereka pun banyak yang remuk. Aku telah berkali-kali menjadi saksi atas kemarahan Merapi yang secara siklik merancah Bumi. Akan tetapi, kemarahan kali ini, begitu getas.

“Angkut jenazah ke landrover!” perintah sang senior.

Cepat Attar dan beberapa relawan berlari memenuhi perintah sang pemimpin. Mereka bekerja begitu keras, dan aku yakin, ikhlas. Uniknya, mereka bekerja tanpa sorotan kamera media. Ya, karena bagi mereka, popularitas itu tak penting. Kepuasan saat berbuat untuk sesama, itulah yang mereka cari. Bukan sekadar tatapan kagum para manusia. Surga pasti merindukan orang-orang seperti mereka.

Matahari semakin tinggi. Para relawan terus bergerak, menyisir pemukiman yang telah rancah menghitam itu. Belasan korban dievakuasi. Attar menjadi salah satu relawan yang paling bersemangat, meskipun ia adalah relawan termuda di sana.

“Bang, di rumah itu ada seorang kakek yang masih hidup!” Attar menunjuk ke sebuah rumah yang separuh ambruk, sekitar 200 meter dari lokasi mereka beraktivitas. “Aku akan mencoba menolongnya!”

“Hati-hati Attar!”

Remaja itu bergerak lincah. Kakinya yang dilindungi sepatu khusus—yang sebenarnya telah mulai gigis tersantap bahang—melangkah cepat. Namun baru beberapa puluh meter, sang senior mendadak berteriak.

“Awas, luncuran awan panas mengarah kesini! Lariiii!!!”

Para relawan berhamburan. Attar tertegun. Dengan jelas, ia melihat kakek tua itu melambai-lambaikan tangan dengan teriakan minta tolong yang tak terdengar, dikalahkan suara bergemuruh awan panas, namun tampak dari gerakan mulutnya.

“Attar, lariiii!”

Attar nyaris terjatuh ketika dengan cepat beberapa orang relawan menarik tubuhnya.

“Jangan mengorbankan diri sendiri!” bentak seorang relawan.

“Tidak, aku akan menolong kakek itu. Ia membutuhkan kita!”

“Awan panas akan menghanguskan kita!”

“Tidaaaak!” Attar berontak. Namun tenaga tiga orang lelaki dewasa yang kekar itu tak mampu ia lawan. Remaja itu dengan paksa dimasukkan ke dalam landrover yang dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Ah, barangkali rasa sesal terasa begitu dahsyat menghantui Attar. Ya, karena aku tahu pasti. Luncuran wedhus gembel itu menghantam tubuh sang kakek. Lelaki sepuh itu terbanting, berkelonjotan, lalu diam … Ia tewas dengan kulit terkelupas seperti barusan keluar dari wajan penggorengan.

Dan Attar, aku menyaksikan sesalnya yang bercampur linangan air mata, ketika beberapa hari kemudian ia datang. Ia berlutut di depan rumah sang kakek, menangis tersedu. “Maafkan aku… maafkan aku!” bahunya terguncang-guncang. Ia menangis sepuasnya, sampai sang senior datang, mencoba menenangkannya.

Bagaimanapun, Attar hanya seorang remaja SMA yang masih belum mampu mengendalikan emosinya. Namun wahai Jelita, aku sungguh mengaguminya. Jika kau pun memiliki perasaan yang sama, memang Attar layak mendapatkan semua kekaguman itu. Kita sehati dalam hal ini.

Nah, kau ingin tahu, di mana Attar sekarang?

Baiklah, kuceritakan kisah sore itu. Aku tak mengerti, mengapa Attar datang seorang diri ke lokasi bencana ini. Ia datang dengan wajah muram. Langkahnya gontai. Ia menyusuri bangunan-bangunan yang ambruk, dan separuh tertimbun pasir. Ia tersenyum getir ketika melihat beberapa sepeda motor yang tinggal rangka besinya. Menggigit bibir melihat seekor sapi yang juga tinggal tulang belulang, dan menjerit lirih ketika menyaksikan sesosok jenasah yang terjepit di antara puing bangunan.

Di atas, langit mulai pekat. Bukan hanya karena malam bertandang, tetapi juga karena mendung bergelanyut berat. Tetes-tetes air mulai membasahi bumi. Hujan membuat Attar segera berlari, mencari tempat berteduh. Aku terkejut. Ah, mengapa ia justru berteduh pada sebuah rumah yang tinggal puing? Yang memang menyisakan sebagian atap, tetapi bukankah dinding tempat ia bersandar, telah sedemikian rapuh.

Dan, oh Tuhan… ketika hujan semakin deras, aku melihat dinding itu berderak. Attar tak sadar, karena sepasang matanya terkatup rapat. Ia duduk nyaris tertidur, mungkin karena letih, sehingga tak mengerti apa yang tengah terjadi. Ya Tuhan… ingin sekali aku berlari untuk menarik tubuh lelaki itu ketika puing itu mulai ambruk dan menimbun tubuhnya…

Aku ingin berlari, tetapi tak mampu. Tak mampu!

Kau tahu, inilah tamparan terhebat yang pernah aku rasakan, setelah sebelumnya aku menjadi saksi atas gelontoran ribuan tol material erupsi nan berpijar, yang meluluh-lantakkan dusun-dusun di sepanjang aliran Sungai Gendol.

Oh, Jelita… kau mencari Attar? Ada hubungan apa antara engkau dengan Attar? Apakah kau saudaranya, adiknya, sahabatnya?

“Apakah bapak pernah melihat seorang anak muda, usia 17 tahun, bertubuh tinggi besar, berambut lebat dan bermata tajam serta alis tebal berada di sekitar sini?” tanyamu, pada seorang lelaki berseragam relawan yang mendadak melintas di tempat itu.

“Oh, Attar maksudmu?” tanya relawan itu. Aku mengenal relawan itu. Ia adalah sang senior.

“Attar. Ya, Attar. Di mana dia?” suaramu terdengar sumringah.

“Dia… hilang. Sampai sekarang, kami kehilangan jejaknya.”

Dia tidak hilang! Dia ada di sana. Tertimbun puing-puing bangunan yang ambruk. Mengapa kau tak bertanya padaku, Jelita? Aku saksinya.

Mendadak aku tersadar. Kalaupun kau bertanya padaku, aku tak mungkin bisa menjawabnya. Ya, karena aku hanyalah sebatang pohon trembesi raksasa, yang telah hidup sejak puluhan tahun yang lalu. Berkali-kali aku menjadi saksi meletusnya Merapi. Dan di peristiwa kemarin, aku ikut tersembur awan panas. Daun-daunku pun mengering. Tetapi, aku masih bisa tumbuh lagi. Tak seperti Attar, yang terkubur di sana.

Kusaksikan awan yang pekat menutupi pandanganmu. Kau berjalan terhuyung, tanganmu bergetar saat membuka pintu mobilmu. Mendadak, aku teringat kata-kata Attar.

Siapa yang akan merasa kehilangan sekalipun ragaku lumat? Tak ada, Bang! Tak ada.”

Kau salah, Attar. Ada yang sangat kehilangan saat kau tiada. Gadis itu. Dan aku. [aa]

* Ditulis oleh Afifah Afra. Cerpen ini adalah Pemenang Kedua LMCR Rohto-Raya Kultura 2011

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This