Ketika mencoba mengurai benang kusut bertajuk Indonesia, selama ini saya selalu melontarkan bahwa dasar peliknya masalah di Indonesia adalah miskinnya teladan di Indonesia.
Bagaimana tidak, para pemimpin yang seharusnya memberi teladan pada masyarakat ternyata satu demi satu terkena masalah. Mulai dari anggota dewan yang mengkhianati suara konstituennya, hakim yang menerima suap, sampai pemangku eksekutif yang alih-alih membangun negeri, malah membangun dinasti politik.
Kerajaan Republik Indonesia, demikian seloroh pahit saya saat menyebutkan fenomena dinasti politik itu. Praktek yang sudah terjadi sejak lama, dan jamak di berbagai penjuru nusantara. Akhir-akhir ini saja media menyorot, itu pun terbatas di Banten. Bagaimana kabar dinasti politik di Jakarta?
Miskinnya keteladanan, menjadi penjelasan sekaligus alasan ketika saya tidak mampu berbuat apapun untuk Indonesia. Saya pun mampu menghabiskan waktu berjam-jam untuk menjelaskan, betapa si A yang seharusnya begini ternyata begitu. Betapa si B yang saya harapkan demikian ternyata tidak. Betapa si C, D dan seterusnya bertubi-tubi tidak mampu menjadi teladan bagi saya, dan masyarakat Indonesia.
Tapi betulkah Indonesia negeri yang miskin keteladanan?
Ternyata tidak. Hari-hari ini, banyak berita tentang sosok-sosok inspiratif yang layak untuk saya jadikan teladan. Ada seorang nenek yang bekerja sebagai pemulung, giat menabung tujuh tahun untuk menunaikan Qurban. Ada seorang pria yang tidak menerima gaji selama setahun, kontraknya tidak jelas, namun tekun membina pesepak bola muda. Dari tangan dinginnya, para pemuda tersebut berhasil memenangkan piala AFF. Ada banyak gubernur/walikota/bupati yang bekerja serius membangun daerahnya; Herry Zudianto, Jokowi, Nur Mahmudi, Aher, Tuan Guru Bajang, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil adalah sedikit nama yang saya tahu. Saya yakin, Insya Allah ada lagi kepala daerah penuh prestasi yang tidak saya ketahui nama dan prestasinya. Ada Ibu Guru yang tekun mengajar sambil menggendong putranya yang lumpuh. Beliau Insya Allah satu dari ratusan guru yang serius memikirkan pendidikan di negeri ini.
Ah, tapi itu “di luar sana”. Bagaimana “di dekat saya”?
Ternyata sama. Ada banyak sosok yang menginspirasi, layak saya jadikan teladan. Saya kenal dokter-dokter muda yang tidak mata duitan, yang benar-benar mengabdi untuk menyehatkan warga. Mereka melakukan itu baik di semua tempat yang memungkinkan: rumah sakit besar, puskesmas, layanan kesehatan gratis…
Saya kenal para fresh graduate yang alih-alih meniti karir pribadi, memilih mengajar di pelosok Indonesia dan berbagi ilmu bersama adik-adik mereka. Mereka melakukan itu bukan karena tidak laku cari kerja; tapi karena pengabdian.
Saya kenal rekan-rekan yang penuh ketekunan merajut kembali makna “menjadi Indonesia”; mengajarkan toleransi, saling menghormati, proses politik yang sehat, pendidikan anti-korupsi, mencintai budaya sendiri, menggaungkan produk lokal… Mereka masih muda, namun saya iri dengan binar semangat di mata mereka ketika berbicara masa depan Indonesia.
Saya kenal para penulis yang setia menyampaikan nilai kebenaran dan budi luhur, alih-alih menghamba pada syahwat dan popularitas yang didapat melalui sensasi.
Saya pun sampai pada kesimpulan: Ah, ternyata, masih banyak teladan di Indonesia. Jika selama ini saya merasa Indonesia itu miskin teladan, mungkin saya mencari keteladanan di tempat yang salah. Jika selama ini saya merasa pemimpin Indonesia tidak mampu memberi teladan, mungkin saya meletakkan kepemimpinan di tangan orang yang salah. Jika selama ini saya merasa tidak ada yang layak ditiru, mungkin karena saya tidak mau meniru mereka yang bekerja nyata!
Saatnya saya berubah. Saatnya saya melihat dan mengakui semua tindakan positif di sekitar saya sebagai sesuatu yang layak menjadi teladan. Tidak lagi mencari keteladanan di tempat yang sempit dan menuntutnya dari orang-orang tertentu saja.
Saatnya saya menjadikan orang-orang yang giat bekerja sebagai pemimpin. Tidak lagi menjual suara pada janji kosong, tidak juga apatis dan masa bodoh pada proses regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Saatnya saya ikut berkontribusi, menyumbangkan apa yang saya bisa untuk membangun Indonesia. Tidak lagi menjadikan “miskin keteladanan” sebagai alasan dan tabir bagi kemalasan saya untuk bekerja. Tidak lagi menjadikan “miskin keteladanan” sebagai pembenar atas perilaku merusak bangsa.
Saatnya saya menjadi bagian dari keteladanan, dan bersama-sama memperkaya teladan di Indonesia. [gw]
Belajar bersama-sama, bismillah.