Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, saat ini, seperti memosisikan sesuatu di dalam ruang-ruang imajinasi. Ya, karena begitu banyak dan berkelebatannya infiltrasi-infiltrasi identitas budaya. Sebuah ruang yang semula bisa diindra dengan kasat mata, kini bias karena munculnya ruang jenis lain, yaitu ruang-ruang maya. Media, mulai media cetak sampai internet adalah lahan subur penyebar infiltrasi identitas kebudayaan Indonesia.
Sutan Takdir Alisyahbana (1988: 1-2) menyebutkan bahwa ada tiga lapis kebudayaan Indonesia. Pertama, lapis kebudayaan Indonesia Asli. Kedua lapisan kebudayaan India, atau yang seperti biasa disebut kebudayaan Hindu. Ketiga, lapis kebudayaan Islam.
Ketiga lapisan itulah yang kemudian berhadapan dengan kebudayaan modern sejak kehadiran kolonial di bumi Indonesia. Dari pergulatan ketiga lapis dengan lapis kebudayaan modern tersebut, St. Takdir telah mengindikasikan kekomplekan identititas kebudayaan Indonesia. Hanya saja beliau optimistis dengan akulturasi yang ada. Bahwa kemodernan adalah sesuatu yang niscaya setelah Indonesia melewati lapis demi lapis kebudayaan dengan segala pola pikir dan pola tindaknya. Pada budaya modernlah munculnya progresivitas yang (seolah) dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Bila STA, pada masanya, masih bisa memosisikan dengan “santai” atas identitas kebudayaan Indonesia, saat ini justru banyak yang pesimis dengan hal itu. Budiman (2002, 28-52) dalam tulisannya berjudul Indonesia: Perang Tanda mengungkapkan, betapa rumitnya hubungan pengidentitasan tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh konstelasi pergulatan yang telah tidak bersifat dikotomis lagi. Tepatnya, saat ini kebudayaan Indonesia telah menginjak sebuah ruang baru yang disebut pascamodern. Kepascamodernan inilah yang kemudian membiaskan segala batasan. Bahkan di dalamnya terdapat “perang-perang tanda” yang rumit sekali. Tidak hanya Indonesia v.s non-Indonesia, tetapi juga Indonesia v.s. Indonesia. Semua itu pun telah rumit konstelasinya, karena secara politik-ekonomi-budaya berjalin kelindan dengan kecenderungan mengglobalnya akses informasi. Pada titik inilah muncul istilah transnasional.
Kondisi ini oleh Piliang digambarkan sebagai berikut:
Ada sebuah kawasan diskursus, yang di dalamnya terdapat ribuan kontur topografis yang saling tumpang tindih dan saling bertabrakan satu sama lain; ribuan jalan yang berliku-liku dan saling-silang menyilang dengan ribuan titik balik di hadapannya, berbagai konsep, pemikiran, gagasan, yang saling bertemu dan saling bersinggungan satu sama lain yang membentuk indeterminansi; ribuan tanda dan kode-kode yang berasal dari berbagai zaman, tempat dan kebudayaan saling berinteraksi, yang muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi, membentuk jaringan skizofrenik; ribuan idiom dan gaya-gaya dari masa lalu dan masa kini saling berdialog dan menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kaya warna, kaya nuansa, penuh permainan, penuh keriangan, sekaligus penuh kontradiksi. ( Piliang, 1999: 197).
Kuntowijoyo (2002:112), menghubungkan hal ini dengan realitas kebudayaan Jawa, yang menurutnya, telah memasuki pascamodern. Menurutnya pemikiran orang Jawa berkembang sesuai dengan dialektika: tesis-antitesis-sintesis. Tesisnya adalah “alam sebagai subjek”. Antitesisnya adalah “alam sebagai objek”. Dan sintesisnya adalah “alam sebagai subjek-objek”.
Ia mencontohkan fenomena iklan jamu yang diperankan oleh Timbul dengan idiomnya “ueenak tenan” itu. Menurutnya, pada tataran sintesis telah terdapat lapisan kebudayaan baru tentang subjek-objek. Siapa yang subjek, siapa yang objek pada tataran tersebut telah bias. Itulah menurutnya ketika orang Jawa ber-pascamodern-pascamodernan.
Jadi, beranjak dari berbagai pendapat tersebut, tersimpulkan satu hal; Identitas kebudayaan yang semakin sulit diposisikan. Identitas hibrid telah terjadi pada kebudayaan Indonesia seiring semakin sulitnya identitas ruang kultural dipilah-pilah. Proses transmigrasi, urbanisasi, dan imigrasi-emigrasi saat ini telah menuai hasil, yaitu manusia Indonesia baru yang meninggalkan akar budayanya, tetapi belum menemukan budaya barunya. Ia adalah semacam sosok yang dikonstruksi untuk terpecah seperti lukisan mozaik.
Fakta tersebut ada pada karya sastra dan film Indonesia kontemporer. Dalam hal ini saya akan mencontohkan Novel Saman-Larung karya Ayu Utami dan film Arisan karya Nia Dinata. Saya tidak hanya melihat karya-karya tersebut sebagai objek semata tetapi juga sebagai subjek yang telah menggerakkan penilaian para ahli seni (penilaian sebagai pergeseran nilai estetika).
Pada Saman dan Larung, saya melihat sebuah konstruksi realitas manusia postmodern yang terpecah yang juga dikonstruksi oleh inovasi bentuk kesastraan. Jadi, secara fisik dan ideologi novel Saman dan Larung mewakili sosok manusia Indonesia dalam suatu ruang budaya tertentu. Ruang budaya yang telah transnasional, terbukti dengan latar yang dihadirkan. Ruang budaya yang telah transreligi, terbukti dengan munculnya manusia baru (Saman) yang keluar dari kotak dogma kristiani pada wilayah praktis yang tak kalah religius.
Ruang budaya yang transseksual, terbukti dengan hadirnya sosok shakuntala yang lesbian. Begitu juga pada Larung, dengan hadirnya sosok Larung yang transideologi, seorang Larung yang aktivis pergerakan, paham ilmu kedokteran, dan bergulat dengan mistik jawa. Begitu pun dalam film Arisan. Sebuah ruang penuh identitas dihadirkan sehingga, saya, sebagai penonton seolah mendengar bunyi polyponik yang susah sekali diurai nada per nadanya.
Pada film tersebut Nia Dinata menghadirkan terpecahnya identitas budaya, diwakili oleh sosok tokoh utama yang gay yang tercabut dari akar budaya Bataknya. Selain itu, dihadirkan pula realitas hibrid atas bertumpuknya identitas peserta arisan yang menyodorkan kehidupan yang bersifat assesories belaka. Sementara kehidupan utamanya telah menjadi asing (ada sesuatu yang terbalik di sini). Film ini diakhiri oleh sebuah kenyataan yang tak bisa ditutupi lagi, bahkan yang membuat salah seorang ibu peserta arisan pingsan (mewakili budaya dikotomis modern) saat mendengar tentang gaynya tokoh laki-laki yang diharapkan normal.
Seluruh kenyataan tersebut sebenarnya adalah sesuatu yang bergelut dalam ruang imajinasi kita seraya kita becermin sambil mengidentitaskan diri kita sendiri. Kitakah manusia Indonesia itu? Ada pada kitakah identitas kebudayaan Indonesia itu? Atau kita adalah bukan siapa-siapa? Bila STA pada zamannya berhasil membuktikan secara kesejarahan tentang lapis-lapis kebudayaan Indonesia yang berhadapan dengan kebudayaan modern, kini kita hanya mampu berimajinasi tentang sebuah sosok baru kebudayaan Indonesia yang tidak terdapat secara tepat pada fakta, melainkan hanya real pada imajinasi. Untuk hal tersebut saya setidaknya merasa cocok dengan pendapat Tedjoworo (2001, 96):
Berkaitan dengan intelek, ada satu kelebihan imajinasi yang perlu diungkapkan di sini, ialah kemampuannya menghadirkan realitas. Kalau intelek adalah kemampuan untuk mengabstraksi, maka intelek dan imajinasi adalah rangkaian dua kemampuan untuk menghasilkan suatu abstraksi yang “real”.
Bumi Santosa, Juni 2004
Irfan Hidayatullah.