Oleh Afifah Afra
Suatu sore, terjadi sedikit keributan di ruang tengah rumah kami. Si bungsu Fatihan (3 tahun) menjerit dan menangis ketika kakaknya, Hanifan (8 tahun) tiba-tiba berulah. Saat Fatihan sedang asyik menonton serial Tayo kesukaannya, tiba-tiba Hanifan mengambil sebuah bantal besar dan menutupi seluruh layar televisi.
“Itu tidak sopan, gambar ceweknya enggak bagus buat anak-anak, jangan dilihat, Han!” ujar Hanifan sambil terus mempertahankan bantal tersebut agar terus menutupi layar televisi. Fatihan yang marah, memang mencoba merebut bantal tersebut.
Saat itu, saya juga ada di ruang tersebut. Memang di ruang itu, kami sekeluarga biasa bersantai sembari menikmati hobi kami. Ada yang menggambar, membaca, mewarnai, main mobil-mobilan, bongkar pasang lego, dan sebagainya. Juga menonton televisi. Tetapi, selain film Tayo, Upin-Ipin, Robocar Poly dan beberapa film anak lainnya, televisi lebih banyak mati.
“Ada apa, sih, Kak Ifan?” tanya saya kepada Hanifan.
“Itu lho, ada iklan enggak bagus untuk anak-anak,” ujar Hanifan, mencoba menjelaskan alasannya. “Pakaiannya enggak sopan.”
“Iklan Shopee yang pakai bintang Black Pink, Mi…” Rama (12 tahun), yang sedang asyik mengotak-atik Coreldraw di depan komputer menimpali.
“Black Pink itu siapa?” dengan polosnya saya bertanya.
Rama terbahak-bahak. “Masa Black Pink tidak tahu?”
“Memangnya kamu tahu?”
“Iya tahu, banyak yang cerita. Tapi aku enggak pernah nonton, itu kan, grupnya cewek-cewek,” ujar Rama lagi, masih terpingkal.
“Pakaiannya enggak sopan, Mi,” ujar Hanifan. “Anak-anak enggak boleh nonton.”
Saat itu, jujur, saya memang tidak tahu siapa Black Pink. Saya memang emak “geek”, hampir 12 jam lebih online, tetapi saya jarang sekali bersentuhan dengan segala macam K-Pop, entah itu film atau musik. Saya anak seniman, ayah saya mahir bermusik dan mencipta lagu. Saya juga sedikit banyak tahu musik, pernah jadi anggota vokal grup di SMA, pernah ngefans berat dengan Mariah Carey atau Bon Jovi. Tapi, saya sudah tak punya cukup waktu untuk mengikuti perkembangan musik zaman sekarang. Jadi, wajar kan kalau saya tidak kenal Black Pink?
Baru setelah saya membuka media sosial, berlintasanlah dan lini masa saya tentang petisi yang digalang oleh Teh Maimon Herawati. Beliau adalah sahabat dekat saya. Sejak beliau masih tinggal di Inggris, saya sudah sering berkirim email, dan begitu beliau pulang ke Indonesia dan menetap di Sumedang, persahabatan itu tetap berjalan dengan baik.
Meski bersahabat, tak selalu pemikiran kami senada. Kadang kala kami berdebat, karena memiliki pandangan agak berbeda. Namun, karena kami sama-sama memiliki visi melakukan pencerahan dengan literasi, maka perbedaan itu menjadi tidak ada artinya. Mungkin karena kultur saja, yang membuat kami beberapa kali bergesekan pendapat. Beliau asli Minang, dan lama tinggal di luar negeri, sehingga terbiasa lugas, apa adanya. Sementara saya orang Solo, terbiasa dengan kultur Jawa yang serba penuh dengan suba sita, bunga-bunga dalam pergaulan yang “semerbak mewangi” meski kadang justru menyamarkan esensi.
Inti dari petisi Teh Maimon adalah, meminta agar Shopee tidak menayangkan iklan Black Pink di jam tayangan anak. Alasannya, pakaian yang dikenakan Black Pink dianggap tidak cocok untuk anak. Saya sedikit tersentak. Apa bedanya reaksi Teh Maimon dengan Hanifan?
Ya, ada sedikit beda kronologi. Jika Teh Maimon yang mengaku tak punya televisi itu menerima pengaduan dari para emak yang resah, maka Hanifan melihat langsung iklan itu. Jika langkah Hanifan untuk “melindungi” adiknya adalah dengan mengambil bantal dan menutupi layar televisi, maka Teh Maimon yang kandidat doktor jurnalistik itu tentu tak senaif Hanifan. Setidaknya butuh 80 ribu bantal untuk menutup 80 ribu layar televisi (jika dihitung dari jumlah tanda tangan di petisi tersebut, sekadar penyederhanaan saja, karena bisa jadi ada juga penandatangan petisi tersebut yang tak punya televisi, seperti si penggagas).
Teh Maimon yang berpendidikan sangat tinggi dan jauh lebih berpengalaman dibanding si imut Hanifan yang baru kelas 2 SD, memilih mengeluarkan petisi melalui change.org. Lebih taktis lagi, petisi itu dibawa Teh Maimon ke Komisi I DPRD dan Komisi Penyiaran Indonesia. Hasilnya sungguh dahsyat, KPI akhirnya mengeluarkan seruan kepada TV-TV agar menghentikan tayangan iklan Shopee Black Pink di jam khusus anak.
Jika taka da lagi iklan tersebut di televisi, Hanifan akan sangat berterimakasih kepada Teh Maimon, dia tak perlu lagi menutup televisi dengan bantal di depan layar televisi. Tak akan ada lagi keributan saat Fatihan yang mengamuk, mencoba merebut bantal sembari menendang-nendang kakaknya.
Keributan di ruang tengah saya mungkin akan berakhir. Fatihan akan tetap senang dengan si Tayo, sementara Hanifan tak harus mengambil bantal saat iklan itu muncul.
Tetapi, payahnya, keributan di luar ternyata semakin seru. Persis Fatihan yang mengamuk saat layar televisi ditutup bantal, ternyata ada sekelompok besar masyarakat yang merasa terusik dengan petisi Teh Maimon itu. Bully, ancaman, caci-maki, cercaan, terlontar bertubi-tubi kepada Teh Maimon. Semakin seru karena terjadi kesalahan logika dari para pencerca tersebut. Setidaknya, ada beberapa hal yang menurut saya melebar dari permasalahan awal.
Pertama, fans Black Pink menganggap bahwa Teh Maimon telah mengusik eksistensi grup kesayangan mereka. Padahal, apa yang dilakukan Teh Maimon sebenarnya lebih pada tuntutan untuk tidak menayangkan iklan yang dinilai tak pantas untuk anak itu di jam tayang anak.
Kedua, sebagian masyarakat menganggap petisi Teh Maimon berlebihan. Pakaian yang dikenakan Black Pink, merupakan hal biasa saja. Rok mini bukanlah suatu hal yang berbahaya untuk anak-anak. Bagi sebagian orang, mungkin itu benar, apalagi jika mereka pun mengenakan rok mini dalam kehidupan sehari-hari, dan tentunya kita tak akan memaksa mereka untuk menurut pada standar Teh Maimon, dan juga Hanifan. Tetapi, nyatanya ada 80.000 tanda-tangan yang mendukung petisi, berarti ada setidaknya 80 ribu orang tidak setuju. Jika kita gali lagi, maka sesungguhnya rok mini bukanlah kultur asli bangsa Indonesia.
Ketiga, ada pula yang beranggapan, salah sendiri menyalakan TV, matikan saja kan, beres. Ini juga keliru. Sebab televisi adalah ruang publik. Dalam ruang publik, ada aturan yang harus ditegakkan. Di sinilah letak peran dan wewenang pemerintah (lewat komisi I DPR dan KPI) sebagai regulator. Negara kita memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Juga ada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran; Pada pasal 18 peraturan tersebut tercantum:. “Program siaran yang memuat adegan seksual dilarang: a. menayangkan ketelanjangan dan/atau penampakan alat kelamin.”
Apa yang dilakukan Maimon sesuai dengan undang-undang. Karena itu, petisi balasan tentang “Pengusiran Maimon ke Luar Negeri” justru merupakan sebuah teror kepada warga negara yang sedang berupaya membantu pemerintah menegakkan konstitusi.
Keempat, sebagian masyarakat berpendapat, “Kok hanya Black Pink, kenapa sinetron ini tidak, kenapa sinetron itu tidak?” Ini sebenarnya masyarakat yang “malas.” Mereka menyadari bahwa ada konten-konten yang menurut mereka melanggar peraturan, tetapi mereka malas mengadu, dan bahwa ingin membebankan itu kepada Maimon semata. Memangnya siapa Maimon, sehingga dibebani kewajiban untuk membersihkan media dari seluruh tayangan yang tidak sesuai peraturan?
Padahal, berdasarkan Pasal 50 dan 52 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, masyarakat yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap P3SPS berhak mengajukan aduan kepada KPI, yang mana KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.
Berbagai kesalahan dalam berlogika itu membuat keributan di luar semakin membesar. Saya berharap Teh Maimon tetap tenang. Beliau tidak melakukan hal yang salah. Dan sebagai orang tua, saya berterima kasih, karena setidaknya, Fatihan sudah bisa menonton Serial Tayo dengan tenang, dan Hanifan juga tak perlu harus mengambil bantal untuk menutupi televisi setiap iklan itu datang. Bravo, Teh Maimon!