Oleh YANUARDI SYUKUR, FLP.or.id – Pada sebuah sore, Selasa (10/4/2018) tersebar berita bahwa sastrawan Danarto (77 tahun) ditrabrak motor di dekat kampus UIN Ciputat. Tubuhnya kemudian dibawa ke RS Fatmawati. Kritis. Tak lama kemudian dia pergi untuk selamanya.
Menurut berita, istri Danarto sudah tiada. Dia juga tidak punya anak. Keluarganya yang di Jakarta juga tidak diketahui. Orang-orang hanya tahu, Danarto lahir di Sragen Jawa Tengah.
Sebagai penulis, saya sering mendengar nama Danarto. Kendati saya tidak bisa menulis fiksi, tapi karya fiksinya membuat saya tertarik untuk beli.
Di sebuah siang di Masjid UI Depok, saya lihat buku merah judulnya “Ikan-Ikan dari Laut Merah.” Saya tidak bisa fiksi, tapi saya penasaran isi buku itu.
Dalam cerpen tersebut, Danarto membahas tentang tawakal dan keberkahan. Siapa yang ingin mendapatkan keberkahan, maka dia harus mendekat kepada Rasul. Harus ikut apa kata Rasul sepenuhnya.
Ini semacam ketaatan yang maksimal, paripurna kepada Rasul. Kumpulan cerpen dalam buku merah itu bagus-bagus. Walau saya tidak begitu ahli dalam fiksi, tapi saya senang “memungut” diksi dan quote dari cerpen-cerpern tersebut.
Dalam cerpen “Jantung Hati”, Danarto menulis begini, “Jika politik tidak stabil, ekonomi pasti goyah.” Seperti pengamat politik memang. Akan tetapi, tampaknya itu semacam analisis dia terhadap konteks yang terjadi di negeri ini.
Dalam “Nistagmus”, Danarto menulis, “Saya tidak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan.” Ini semacam kritikan kepada mereka yang senang mengutip orang-orang pintar.
Danarto juga senang mengenang orang lewat obituari. “..mengenang lewat obituari menjadi semacam panggilan.” Dari situ, dia hendak berkata bahwa belajar dari kisah orang lain itu cukup penting untuk memberikan perspektif buat diri kita sendiri.
Beberapa kutipan di atas itu diambil secara bebas, bahkan acak. Sebagai seorang yang sekali-kali membaca karya fiksi, saya berusaha banget untuk mengerti apa yang ada di balik tulisan orang. Memang, tidak selalu berhasil, akan tetapi usaha untuk menangkap “makna tersembunyi” menjadi semakin menarik jika dilihat dari teks yang ia hasilkan serta perjalanan hidupnya.
Danarto kini telah pergi. Buku dia menjadi karya yang tak putus dikaji orang, paling tidak namanya diabadikan dalam diskusi-diskusi soal sastra, bahkan khususnya lagi soal “sastra Islam” (atau katakanlah sastra yang bernafaskan Islam).
Lewat tulisan ini saya hendak mengucapkan belasungkawa atas wafatnya sastrawan Danarto. Kita tidak saling-kenal secara langsung, akan tetapi nama buku Danarto telah ada di rumah saya. Walau belum bisa sepenuhnya paham makna dari karya fiksi, akan tetapi belajar dari diksi dan quote-quote pilihan dapat membantu kita dapat mengambil yang terbaik dari karya beliau.
Dalam buku merah terbitan Diva Press (Desember 2016) tersebut, pada bagian “tentang penulis” ada sebuah narasi yang menarik seperti ini, “Saat ini dia memohon Allah azza wajalla berkenan menambahi umurnya sekitar sepuluh tahun lagi, kalau mungkin agak lebih, guna menikmati pemandangan indah di seluruh dunia yang belum sempat dia nikmati. Semoga Tuhan mengabulkan permohonannya itu.”
Jika dihitung dari tahun terbit buku “Ikan-Ikan Dari Laut Merah” (2016), maka Allah memberikan waktu 2 tahun untuknya dari 10 yang dia inginkan sejak buku tersebut terbit. Namun kalau dihitung dari cerpen paling tua dalam buku tersebut (tahun 2000), maka sesungguhnya “doa ditambah umur 10 tahun tersebut”, sesungguhnya telah “bonus” 18 tahun. Atau, jika dilihat dari usia Nabi Muhammad yang wafat di usia 63 tahun, maka Danarto sebagai umat Nabi Muhammad telah mendapatkan bonus usia 14 tahun.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Ketika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkata: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan (kedua orang tuanya.” Karya-karya Danarto semoga menjadi “ilmu yang bermanfaat” buat kita yang ditinggalkan. Kita berharap setidaknya, dari karya-karyanya kita bisa mengambil inspirasi–sesedikit apapun itu–untuk memperkaya jiwa kita dan mendekatkan kita kepada Tuhan yang maha segala.
Selamat jalan Sastrawan Danarto. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Robbighfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu…*