JAKARTA, FLP.or.id — Kegelisahan masyarakat akan menjadi kegelisahan para sastrawan. Begitu pula harapan, penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian dari diri dan jiwa sastrawan (Jakob Soemardjo)
Pendahuluan
Karya sastra sebenarnya selalu berbicara mengenai hal yang sama, yaitu kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah sebuah kenyataan sosial. Oleh karena itu baik karya sastra maupun pengarangnya tak akan pernah bisa menghindar dari berbagai problem sosial yang terdapat di dalam masyarakat, di mana sang pengarang adalah juga bagian dari masyarakat tersebut.
Sebagaimana yang kita pahami, karya sastra sangat terkait dengan latar belakang sosiokultural sastrawannya, atau yang kita kenal dengan unsur ekstrinsik. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut menyebabkan karya sastra memiliki tendensi berupa amanat, unsur-unsur yang mendidik serta makna kearifan hidup (etika) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, tanpa mengabaikan unsur estetikanya. Secara komplit Kuntowijoyo menyatakan bahwa karya sastra terbangun atas strukturisasi pengalaman, struksturisasi imajinasi dan strukturisasi nilai yang diolah oleh sang pengarang.[3]
Pertanyaannya kemudian, sejauhmana karya sastra mampu menggerakkan suatu perubahan sosial? Di mana posisi sastrawan sebagai agen perubahan? Bisakah seorang sastrawan mengakomodir problema masyarakatnya, mengangkatnya dalam karya sastra yang tak lepas dari kaidah estetik, lalu karya tersebut menginspirasi sebuah perubahan sosial?
Sesuai permintaan panitia, dalam kesempatan ini saya akan memaparkan makalah mengenai bagaimana respon dan sikap pengarang terhadap problem–problem sosial budaya masyarakat, berdasarkan pengalaman saya sebagai pengarang.
bersambung
Sumber: sastrahelvy.com. Pertama kali disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Perubahan Sosial yang diadakan Fakutas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17 April 2010.