Sahabat, bagaimanakah pikiran kita ketika pertama kali mendengarkan kata laboratorium? Tentu, bagi kita yang sudah sering melakukan praktikum tidak asing lagi dengan yang namanya laboratorium. Sebuah tempat yang tertutup. Memuat berbagai macam jenis alat-alat percobaan yang akan digunakan untuk membuktikan suatu penelitian yang kelak akan menjadi bukti akan kebesaran-Nya.
Masih ingatkah kita dengan orang-orang yang pernah dilabeli oleh masyarakat dahulu sebagai ‘orang gila’. Orang yang memiliki impian yang berawal dari percobaan-percobaan yang mereka lakukan di laboratorium yang waktu itu orang-orang berpikir mustahil akan tercipta hal-hal yang ‘orang gila’ tersebut impikan.
Beranjak dari laboratorium itulah mereka membuktikan kepada dunia akan maha karyanya yang diakui hingga sekarang. Walaupun dulunya mereka harus dicaci maki, dihina, dianggap orang tak waras. Tetapi, mereka hiraukan sejenak umpatan-umpatan dari orang-orang yang tak memahami kesungguhan mereka.
Wajarlah, jika disebuah penelitian akan terjadi kegagalan. Itulah pilihan bagi orang yang berani melakukan ekperimen. Mereka akan dihadapkan oleh dua pilihan, kegagalankah? Ataukah keberhasilankah yang akan mereka temui ketika usai melakukan eksperimen tersebut?
Jikalau kegagalan yang mereka temui, apakah mereka akan menyerah dan berputus asa dengan cara menghentikan percobaan yang sudah mereka mulai di laboratorium? Jika mereka menyerah dan patah semangat, mungkin zaman sekarang kita tidak akan merasakan maha karya mereka yang hingga saat ini kita manfaatkan dengan percuma tanpa melakukan percobaan seperti yang mereka kerjakan sebelumnya.
Seorang anak berusia sebelas tahun setelah dicap oleh guru sekolahnya sebagai murid yang tertinggal dan tidak berbakat. Diusia belia itu dia mendirikan laboratorium kimia sederhana. sejak itulah impian-impiannya terlukiskan untuk menemukan berbagai temuan-temuan yang akan mengguncang dunia. Salah satu temuannya yakni bola lampu.
Setelah 9.955 kali berhasil menemukan bola lampu yang gagal menyala. Akhirnya, berhasil menemukan bola lampu yang menyala. Bayangkan hingga ribuan kali percobaan yang dia lakukan akhirnya dia menghabiskan jatah kegagalan yang ada pada dirinya.
Siapakah dia? Tak perlu disebutkan namanya pun kita pasti sudah mengenalnya. Dari laboratorium itulah dia mewujudkan impian-impiannya hingga tutup usianya dia memegang 1.039 hak paten atas temuan-temuannya.
Begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik ketika berada di dalam laboratorium. Pelajaran tentang arti kehidupan pun akan kita temui jikalau kita bisa memikirkannya sejenak.
Sebuah tempat yang akan mendidik manusia agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya dengan karya-karya yang akan mengukir namanya kelak di dunia dan di akhirat atas kebermanfaatan yang dapat dirasakan oleh umat manusia di seluruh dunia.
Begitu pula FLP, inilah salah satu laboratorium karya yang akan menjadi wadah menciptakan karya-karya kepenulisan Islami. Dari rahim laboratorium inilah yang akan melahirkan penulis-penulis yang akan melanjutkan perjuangan risalah-Nya lewat tulisan.
Layaknya laboratorium yang nyata, kita pun akan berproses di dalamnya. Kegagalan dan keberhasilan pun akan kita temui laksana percobaan yang memiliki kemungkinan untuk gagal dan berhasil. Namun, kita sebagai praktikan (orang yang melaksanakan praktikum/percobaan) berusaha memberikan yang terbaik dari kemampuan yang kita punya agar diperoleh hasil yang maksimal.
Di FLP juga kita akan menemukan kegagalan dan keberhasilan atas karya yang telah kita tulis. Karya baik itu berupa buku ataupun tulisan lepas (artikel, cerpen, puisi, opini, cerbung dan kawan-kawannya). Tetapi, keberhasilan ataupun kegagalan yang kita peroleh bukan merupakan akhir dari proses yang kita jalani. Dia adalah awal dari perjalanan yang akan kita tempuh untuk mewujudkan impian-impian yang telah kita ukirkan.
Renungkan sebentar. Ilmuwan diatas harus menemukan 9.955 cara yang salah sehingga tidak mematikan semangat dan keinginan dia untuk tetap melakukan percobaan. Apakah kita sudah menemukan kesalahan sebanyak itu juga sehingga jikalau karya kita gagal diterima patahlah semangat kita untuk tetap berkarya?
Jika dia berhenti melakukan percobaan pada saat menemukan cara yang salah ke 9.955. Bagaimanakah nasib dunia sekarang ini? Entah apakah masih dalam gelap gulita? Ataupun bagaimana? Kita tak bisa memprediksikannya
Laboratorium karya inilah yang akan mendidik kita untuk terbiasa bersabar. Bersabar dalam berproses dan bersabar menciptakan hasil yang terbaik. Seperti halnya, titrasi yang dilakukan di laboratorium kimia. Jikalau kita tidak sabar menunggu tetes demi tetes cairan yang keluar dari buret maka dipastikan kita tidak akan menemukan titik akhir titrasi yang sebenarnya.
Begitu juga menulis, dibutuhkan kesabaran untuk dapat menghasilkan karya yang terbaik. Bukan hanya terbaik tetapi juga bermanfaat bagi orang lain.
Belajar ketelitian. Pada saat menimbang suatu bahan jika tidak teliti maka akan berakibatkan fatal terlebih bahan obat. Seharusnya menimbang dengan berat miligram tetapi bahan yang ditimbang dengan berat gram. Apabila itu terjadi pada bahan obat maka akan menimbulkan overdosis.
Tulisan hasil karya kita juga perlu diteliti. Ketika usai menulis. Kita endapkan sejenak kemudian kita baca kembali dengan teliti agar tidak ada kesalahan kata ataupun kalimat yang fatal yang akan merusak atau menimbulkan multitafsir dari tulisan yang telah kita kerjakan.
Bagaimana akibatnya jikalau tidak teliti dalam mengedit tulisan dan dibaca oleh banyak orang tetapi malah melenceng dari makna yang diinginkan oleh penulis? Lebih berbahaya lagi jika sampai membuat pembaca pun ikut berbelok ke arah yang lebih buruk disebabkan ketidaktelitian kita pada tulisan.
Laboratorium karya FLP inilah yang akan mengempa kita untuk menjadi seorang penulis yang tidak hanya menjadikan menulis sebagai rutinitas tetapi menjadikan menulis sebagai ladang dakwah yang akan mengalirkan pahala jariyah serta meningkatkan ketaqwaan kita dihadapan-Nya.
Sesuai dengan semboyan FLP, “Berkarya, Berbakti, Berarti”