Putri adalah anak walikota Malang. Meski begitu, Putri tidak suka kalau orang-orang tahu identitasnya sebagai anak pejabat. Ia ingin lebih dikenal sebagai gadis biasa saja. Karena itu, Putri suka menghindari dari teman-teman yang bergaya hidup glamor dan hura-hura. Putri lebih senang bergaul dengan teman-teman aktifis seperti Neno, Heni, Marzuki, Gundul, Rudi, dan Zizi. Meskipun Putri termasuk generasi apolitik, ia tidak menghindar dari diskusi panas soal keadaan politik Indonesia, termasuk mengenai kekuasaan Suharto yang sudah lebih dari tiga dasawarsa. Belakangan, Putri penasaran ingin membaca roman-roman karya Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan terlarang oleh pemerintah kala itu.
Di sisi lain, Putri memiliki hubungan yang akrab dengan kedua orangtuanya: Suwarno dan Ninik. Di mata Putri, Suwarno adalah ayah yang baik. Suwarno tidak pernah membawa-bawa persoalan kantor maupun politik dalam perbincangan keluarga. Sedangkan Ninik adalah pribadi yang hangat dan terbuka. Ninik sering menguraikan kehidupan masa lalunya dengan Suwarno atau jauh sebelum ia menikah. Tujuannya agar Putri dapat berkaca pada kehidupan orangtuanya, lalu menata masa depannya sendiri agar lebih baik daripada mereka.
Sebetulnya, Putri memiliki seorang kakak laki-laki. Namanya Galih. Tapi menurut Putri, Galih seperti hidup dengan dunianya sendiri dan mengabaikan keluarga–lebih-lebih setelah dia pindah ke Amerika untuk menetap. Yang membuat Putri dan orangtuanya kecewa ialah saat Galih memutuskan menikahi gadis Amerika tanpa meminta pertimbangan keluarga lebih dulu. Menurut Putri dan orangtuanya, perbuatan Galih tidak sesuai tatacara hidup orang Jawa. Apalagi Galih suka mengejek Indonesia sebagai negara carut-marut dan sukar stabil. Mendekati tahun 1998, Galih malah sering membujuk keluarganya, khususnya Putri, untuk emigrasi ke Amerika saja. Alasannya, konon karena rezim militer yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun semakin otoriter dan menunjukkan keegoisannya; tidak mau turun tahta. Tentu saja Putri menolak bujukan kakaknya itu! Ia merasa tetap lebih nyaman tinggal di Malang meski kebenaran kata-kata kakaknya berangsur-angsur mulai terbukti.
Memasuki tahun 1998, kehidupan sosial politik Indonesia mendadak panas. Banyak mahasiswa–termasuk teman-teman Putri–turun ke jalan membawa poster menuntut Suharo turun. Putri yang sejak semula menolak terlibat dalam aktivitas politik–selain karena tidak minat, juga dilarang orangtuanya–merasa heran melihat teman-teman kuliahnya kehilangan kejenakaan dan menjadi idealis. Mereka rela demo bolak-balik Malang-Jakarta.
Bersamaan dengan itu, satu per satu menteri Kabinet Pembangunan mengundurkan diri. Partai Golkar sebagai partai paling berkuasa mendapat sorotan dan hujan kritik dari masyarakat. Suwarno, ayah Putri yang sekaligus anggota Golkar, juga ikut merasakan akibatnya. Wakil walikota mengundurkan diri, sedang kepemimpinan Suwarno terancam jatuh, meski dia dikenal bersih dan tidak suka menilap uang.
Kondisi serba meresahkan itu, dimanfaatkan golongan-golongan tertentu untuk mengail di air keruh. Di antaranya Kolonel Hadi; kepanjangan tangan CIA di Indonesia yang menghasut Neno, Marzuki, Gundul, Rudi, dan teman-teman Putri lainnya untuk menggalang demo menentang Suharto. Kolonel Hadi bahkan mengeluarkan banyak biaya agar Neno dan teman-temannya bisa leluasa berkeliling Indonesia untuk berkonsolidasi dengan teman-teman mahasiswa di berbagai universitas. Kesibukan baru itu membuat Neno mengabaikan Putri, meski keduanya saling menyukai dan sempat sepakat untuk menikah.
Sementara Suwarno menyiapkan kemungkinan terburuk bila dia diturunkan dari jabatan walikota, Suharto mengeluarkan pernyataan bersedia mundur apabila tidak bisa segera mengatasi carut-marut politik. Di sisi lain, Putri akhirnya bersedia membuat paspor untuk jaga-jaga jika keadaan Tanah Air semakin memburuk. Pada saat-saat genting semacam itu, tiba-tiba Neno menghilang! Segelintir orang melihat, dia diseret masuk truk tentara saat akan pergi ke wartel.
Tentu saja hal itu membuat Putri, keluarga, dan teman-teman Neno panik. Mereka khawatir Neno termasuk dalam daftar orang yang sengaja dihilangkan, karena sebelum itu, banyak juga mahasiswa menghilang secara mendadak. Beragam cara dilakukan untuk melacak keberadaan Neno, tapi sayangnya berbuah nihil. Kemudian Putri justru dikirim ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Saat mulai mapan di Amerika, Putri mendapat e-mail yang mengabarkan: Suharto sudah lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Dua tahun berselang, Putri memutuskan kembali ke Malang dan menolak bujukan kakaknya untuk mengambil kewarganegaraan Amerika. Di Tanah Air, Putri menemukan kenyataan bahwa tak seorang pun mau bertanggung jawab atas penculikan mahasiswa. Kemelut politik mulai reda, tapi Neno yang tidak pernah ditemukan menyisakan kemelut tersendii di hati Putri.
Novel 1998 adalah karya terakhir Ratna Indraswari Ibrahim yang meninggal dunia pada 28 Maret 2011. Tragedi orang hilang pada masa 1998 membuat Ratna mendokumentasikannya dalam bentuk novel. Novel ini bisa dikatakan sebuah tribute dari Ratna bagi perjuangan orang-orang yang akan selalu menolak lupa atas tragedi yang disisakan oleh tahun 1998.
Judul : 1998
Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, September 2013
ISBN : 978-979-22-8852-0
Harga : Rp 55.000,00
Ledug, 28 September 2013