Tiga orang terbaring lemas di atas tikar. Dua diantaranya orang dewasa, satu anak-anak yang di tangannya tengah bekerja jarum infus. Harian Kompas merilis foto tersebut di halaman depannya menulis, “Imigran Rohingya asal Myanmar dirawat karena sakit di tempat penampungan.” Ada sekitar 433 imigran Rohingya yang ditampung bekas pabrik kertas di Kecamatan Rantau Selamat, Aceh Timur (Kompas, 22 Mei 2015).
Siapa sebenarnya orang Rohingya yang sekarang sedang ramai diperbincangkan yang menurut PBB mereka adalah etnis yang paling tertindas di dunia itu?
Arakan, Negeri Asal
Arakan adalah wilayah yang menjadi sumbu konflik di Myanmar saat ini. Kawasan di mana orang-orang Rohingya ditindas, dibantai dan diusir dari negeri leluhur mereka. Tanah ini adalah tanah yang kaya akan sumber daya alam yang karena kekayaannya itu pula Arakan telah menjadi rebutan klaim kepemilikan antara bangsa Burma dan rakyat Rohingya sendiri. Tentu saja klaim tersebut kemudian memilki jejak sejarahnya masing-masing. Bagaimanapun dua versi sejarah Arakan tersebut memiliki satu fakta sejarah yang sama-sama disepakati. Baik versi Rohingya maupun Burma, sejarah Arakan dimulai dari kedatangan bangsa ras Indo-Arya (ras anak benua India) ke tanah tersebut ribuan tahun SM (www.rohingya.org & www.myanmar-image.com, 21 Mei 2015).
Artinya, kedua versi sejarah ini sepakat bahwa nenek moyang bangsa Arakan adalah bangsa dari rumpun ras anak benua India. Rumpun ras tersebut adalah rumpun ras yang sama yang dimiliki oleh orang-orang Rohingya sekarang, bukan rumpun ras yang dimiliki oleh orang Burma. Sejak berdirinya berbagai jenis kerajaan di Arakan, entitas agama kerajaannya silih berganti mulai dari Budha, Hindu dan terakhir kerajaan bercorak Islam pada abad 15-18 Masehi sebelum akhirnya diinvasi oleh bangsa Burma pada 1784. Aye Chan (2005), dalam tulisannya The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar) bahwa sampai dengan tahun 1824, bangsa Arya Arakan mengalami intimidasi dan penindasan dari rezim penguasa Burma saat itu.
Ketika Inggris menguasai Burma, kolonalis Barat tersebut menerapkan kebijakan pembagian strata sosial berdasarkan pada tiga kelompok, yaitu: ras penjajah (Eropa) sebagai strata tertinggi, asing non-pribumi strata kedua, dan pribumi pada strata terendah. Kebijakan ini juga memberikan kenyamanan bagi rakyat Rohingya sekaligus sebagai angin segar baru setelah sebelumnya mengalami penindasan luar biasa dari bangas Burma yang merampas tanah mereka. Maka segera setelah itu rakyat Rohingya menguasai pertanian dan perdagangan di Burma termasuk di Rangoon. Struktur sosial yang sama juga diterapkan oleh kolonialis Barat lainnya seperti Belanda yang menempatkan bangsa timur asing seperti Cina pada strata kedua sebagai mitra dalam usaha dagang mereka (www.dutcheastindies.deviantart.com, 21 Mei 2015).
Bisa dikatakan alasan kedekatan dengan kolonialis Inggris ini kemudian menjadi sandaran bagi bangsa Burma untuk mencap rakyat Rohingya sebagai ‘pengkhianat’, kemudian mendapatkan justifikasi untuk membalas pengkhianatan tersebut dengan penindasan, pembantaian dan pengusiran bangsa Rohingya dari tanah leluhur mereka. Itulah yang dialami bangsa Rohingya setelah Inggris meninggalkan Myanmar. Tentu saja ini adalah alasan yang tak pernah terbayangkan sama sekali dalam benak rakyat pribumi—seperti kita di Indonesia—walaupun mengalami pengkastaan yang sama seperti Myanmar ketika memandang saudara-saudara Tionghoa setelah kemerdekaan dari Belanda. Mungkin saja ini adalah justifikasi yang dibuat-dibuat. Cap pengkhianat adalah bahasa yang sangat menarik bagi massa yang sentimen untuk bergerak membumi hanguskan kelompok yang sudah dianggap musuh. Memang invasi bangsa Burma atas tanah air Rakyat Rohingya pada paruh akhir abad 18 adalah bukti bahwa permusuhan itu sesungguhya telah ada sebelum Inggeris menjejakkan kakinya di Myanmar.
Sampai dengan tahun 1930-an, kebencian terhadap Rohingya muslim berubah menjadi kebencian terhadap muslim secara keseluruhan (www.hi.umy.ac.id, 21 Mei 2015). Artinya, kaum minoritas muslim non-Rohingya yang sebelumnya tak terusik kini juga turut menjadi sasaran amarah orang Burma yang dimotori para biksu berpengaruh dan karismatik mereka. Justifikasi yang menjadi pegangan kali ini adalah untuk melindungi ras dan agama Budha (www.dw.de, 21 Mei 2015). Hanya saja karena Rohingya telah ditetapkan oleh penguasa militer Myanmar sebagai kelompok yang tak mendapatkan kewarganegaraan, maka mereka menjadi kelompok muslim yang paling rentan terhadap serangan-serangan intimidasi fisik dan psikis. Faktor utama yang kemudian membawa mereka terombang-ambing di lautan untuk menyelamatkan jiwa dan tentu saja menjaga entitas peradaban mereka.
Soal Kemanusiaan
Ketika para etnis Rohingya ini terdampar di negeri kita yang subur ini, dunia akan tertawa dan melihat rendah kepada bangsa Indonesia seandainya tidak mampu menjadi solusi masalah ini, bahkan Indonesia, Malaysia dan Thailand disebut beberapa waktu lalu, enggan membiarkan mereka memasuki negaranya masing-masing karena lebih takut kepada masalah ledakan penduduk. Sinyal Amerika Serikat untuk bersedia menerima orang Rohingya (www.time.com, 22 Mei 2015), adalah positif, akan tetapi sebagai sesama orang Asia, tentu kita akan malu jika tetangga kita menderita tapi kita tidak membantu, sedangkan bangsa lain yang jauh bersedia mengulurkan tangan untuk membantu.
Keragu-raguan Indonesia untuk membantu secara utuh masalah ini jika dilihat sebenarnya bertentangan dengan Dasasila Bandung yang diikrarkan 60 tahun yang lalu, dan bahkan baru saja diperingati di negara kita beberapa pekan yang lalu. Sebagai bangsa yang besar, kita sesungguhnya tidak bicara masalah etnis dan agama, tidak membahas tentang suku dan ras, tapi kita sedang berkompetisi menjadi negara yang benar-benar menghormati dan mengangkat derajat umat manusia.
Kita tak akan pernah melupakan bahwa Indonesia berhasil menjadi poros tengah kala suasana dunia memanas dengan adanya blok barat dan blok timur, lalu apakah saat ini naluri menjadi solusi itu sudah hilang dari jadi diri kita bangsa Indonesia? Tentu saja, kita harus membantu yang tidak hanya di permukaan, tapi juga membantu secara utuh. Ini tidak hanya masalah bangsa lain, akan tetapi masalahnya pada kemanusiaan. Sebagai bangsa yang berpancasila, kita pastinya tergugah untuk membantu orang-orang yang menderita.
Lahan Produktif dan Bahasan di DPR
Walau belum menandatangani konvensi PBB tahun 1951, Indonesia tetap memiliki kewajiban untuk membantu imigran Rohingya yang terdampar di laut Aceh. Walaupun pengungsi yang ada di Indonesia saat ini, menurut data PBB ada sekitar 12.000, termasuk etnik Rohingya, tapi tetap kita punya ‘naluri kemanusiaan’ untuk membantu mereka. Prinsip non-refoulement—yang melarang pemerintah untuk menolak para pencari suaka karena masalah ras, agama, dan kebangsaan—tetap harus dihargai, sebagaimana kata Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir (www.bbc.co.uk, 14 Mei 2015).
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidiq sempat memberikan solusi beberapa hal terkait bantuan logistik untuk kapal-kapal mereka, menyiapkan penampungan, berkoordinasi dengan UNHCR untuk pengiriman kembali ke Myanmar, dan bersama Malaysia dan Thailand menekan Myanmar untuk menyelesaikan soal politik terhadap warga Rohingya (Republika, 18 Mei 2015).
Apa yang diusulkan oleh Din Syamsudin terkait penempatan imigran Rohingya di sebuah pulau menarik untuk dikaji. Kita masih kayak dengan pulau, dan banyak yang belum terisi. Namun, memang, apakah yang diberikan adalah pulau atau lahan produktif, tetap perlu ada regulasi yang jelas. Memang jika alasannya mereka melanggar imigrasi karena tidak memiliki passport, tentu ini bisa dipahami, tapi konteks secara umum faktanya memang mereka adalah orang-orang yang lari karena ditindas di negaranya. Mungkin ada baiknya hal ini dibahas oleh instansi terkait seperti DPR untuk membahas kasus ‘pelanggar imigrasi’ yang terusir dari negaranya dan meminta suaka ke Indonesia. Sila ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ bisa menjadi landasan untuk melihat hal ini. *
*Yanuardi Syukur adalah Dosen Antropologi Universitas Khairun Ternate; Khairul Fuady adalah Dosen IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Aceh; Adnan Arafani adalah Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Negeri Padang. Ketiganya adalah Awardee LPDP Afirmasi Luar Negeri dan sedang mengikuti pengayaan IELTS di ITB.
Tulisan ini adalah bagian dari keresahan atas tragedi Rohingya, dan upaya untuk mencari solusi masalah tersebut.