Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Memahami Kembali Syariat Islam

Sumber: mnurmusa.wordpress.com
Sumber: mnurmusa.wordpress.com

Penulis pernah mendapat pertanyaan, kenapa dalam Islam banyak sekali ajaran yang membingungkan, kerap terjadi perbedaan pendapat. Bahkan dalam ritual ibadahnya sendiri ada beberapa yang berbeda, semisal ada yang qunut ada yang tidak. Juga masih banyak yg lain. Bukankah dengan ini Islam itu tampak sebagai suatu agama yg sepertinya ambigu, satunya melarang, satunya membolehkan. Ulama’-nya tidak satu suara.

Pertanyaan di atas jika digiringkan kepada muslim yang awam tentu saja akan menimbulkan kebingungan bahkan bisa jadi keraguan (tasykik). Dan secara logika, muslim yang awam yang tidak tahu dengan jelas peta syariat (kecuali hanya mengikut saja), pertanyaan di atas cukup “masuk”. Namun, benarkah ajaran Islam seperti itu? Ambigu sebab banyaknya perbedaan pendapat bahkan madzhab-madzhab? “Islam” yang mana yang bener?

Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus kita ketahui bersama, yaitu kembali kita mengenali dengan baik syariat yang kita peluk dan kita yakini ini, bahwa secara global ajaran-ajaran dalam syariat Islam terbagi menjadi dua, Ajaran yg Prinsip (Ushuliyyah) dan parsial (furu’iyyah).

Hal-hal yang ushuliyyah adalah semisal bahwa Allah adalah Dzat Yang Esa, Muhammad adalah Nabi Terakhir, wajibnya sholat 5 waktu, wajibnya puasa ramadhan, iman dengan keberadaan surga dan neraka, dan lain sebagainya.

Nah dalam hal-hal prinsip ini tak boleh terjadi perbedaan antar ummat, apapun ideologinya. Sebab perbedaan prinsip bisa mengeluarkan seseorang dari lingkaran Islam.

Contohnya jika semisal berkeyakinan bahwa ada tuhan selain Allah, masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad, atau sholat 5 waktu tak wajib, zina tidak haram, dan lain-lain. Hal-hal prinsipil dalam Islam ini sering disebut dg istilah “ma’lum fid din bid dhoruroh”, sesuatu yang harus diketahui muslim paling awam sekalipun.

Sedangkan yang selama ini banyak sekali terjadi perbedaan pendapat antar para Ulama sampai terdapat beberapa madzhab adalah dalam hal-hal parsial (furu’iyyah) saja.  Semisal perbedaan-perbedaan hukum (ada yang bilang boleh ada yang bilang tidak), semisal ada yang qunut dan ada yang tidak, dan lain-lain. Nah perbedaan pendapat ini bukanlah sesuatu yang dipahami sebagai hal yang ambigu, tetapi justru merupakan opsi pilihan bagi ummat.

Tentu di sana masuk dalam bahasan ini adalah 4 madzhab fiqh yg kita kenal (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali). Keempat madzhab ini terbentuk dari perbedaan pemahaman dalam hal-hal parsial (furu’iyyah) yang tak ada pengaruh apapun kepada hal-hal prinsip (ushuliyyah) dalam syariat.

Bahkan sebenarnya persoalan semacam tawassul, tahlil, maulid dan segala macam yang kerap disyirikkan itu pada dasarnya juga furu’iyyah (parsial). Nah karena persoalannya adalah furu’iyyah maka tidak elok jika hal-hal parsial yang tidak pengaruh pada akidah/tauhid itu diributkan. Meributkan hal-hal furu’iyyah (dengan menganggapnya sebagai ushuliyyah) menunjukkan kebelumpahaman orang itu akan syariat yang agung ini.

Menjadi masalah baru lagi saat ada orang yang tak mau mengikut salah satu madzhab. Hal ini juga terjadi dari ketidakpahaman soal syariat. Sebab jika ada seseorang mengklaim bahwa dia tidak ikut madzhab manapun pada dasarnya mau tidak mau dia tetap akan bermadzhab. Lebih parah (dan menunjukkan kalau orang itu tidak paham mantiq) jika mengklaim bahwa madzhabnya adalah madzhab Nabi Muhammad. Karena dengan anggapan Madzhab Nabi Muhammad justru secara kurang ajar orang itu menurunkan kedudukan Nabi menjadi Mujtahid.

Sementara mujtahid itu pasti mengalami dua hal, jika tidak salah maka benar (meski keduanya tetap berpahala dengan klasemen berbeda). Dan Nabi tidak mengalami hal itu (salah), sebab seluruh yang datang dari Nabi adalah kebenaran mutlak karena merupakan wahyu dari Allah.

Intinya, jika ada muslim mengaku tidak bermadzhab, langsung bilang dan mengajak kembali ke Qur’an dan Sunnah, sebenarnya dia sedang menggigau saja. Sebab ujung-ujungnya diam-diam juga dia tetap nyolong madzhab. Bahkan belajarnya pada guru atau pada buku adalah pada dasarnya bentuk lain dari bermadzhab.

Semoga mencerahkan dan menambah ilmu kita sekaligus lebih dekat pada syariat kita. Alhasil sekali lagi tak perlu bingung dengan perbedaan dalam hal parsial (furu’iyyah), sebab itu justru merupakan opsi dan kebebasan bagi ummat untuk memilih yang sesuai dengan kondisi dan situasinya. Hal-hal furu’iyyah ini kita akan menemukan seluruhnya dalam khazanah raksasa Fiqh Islami. Silakan masuk ke museum raksasa itu. Salam. [aa]

Awy’ A. Qolawun (Staf Divisi Rumcay BPP FLP)

1 Comment

  • ada beberapa hal yg perlu saya pertanyakan untuk menjawab kebingunngan.
    siapa di antara 4 imam madzhab yang membolehkan maulidan? dan pernyataan yg berbunyi ” dan segala macam yang kerap
    disyirikkan itu pada dasarnya juga furu’iyyah
    (parsial).” bukankah syrik ini berhubungan dengan akidah yg notabene adalah ushul? syirik bukan perkara main2 loh apapun wasilahnya. orang bisa masuk neraka gara2 menyembelih seekor lalat bukan atas nama Allaah. ini seremeh remeh lalat.

    kemudian berikutnya? bagaimana orang yg hidup di zaman tabiin? kepada siapa di bermadzhab? kemudia sebelum imam malik dikenal apakah orang hanya bermadzhab kepada imam abu habitat? begitupun sebelum imam syafii terkenal di zamannya apakah orag2 sebelumnya hanya mengambil masayang dari yg 2 imam pertama? pun sebelum imam ahmad?

    lalu bagaimana dengan orang2 yg mengambil pendapat yg benar berdasarkan dalil yg kuat saja berdasarkan alquran dan assunnnah tanpa memerhatikan nama besar madzhanbnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This