SAAT INI, dunia Melayu—yang termasuk dalam benua Asia—tengah bangkit. Kebangkitan ini terjadi dalam banyak hal, tidak hanya masalah ekonomi, tapi juga kebudayaan. Kishore Mahbubani, pemikir kebijakan publik dari Singapura, dalam bukunya The New Asian Hemisphere, menulis, “Dulu, bangkitnya Barat mengubah dunia. Bangkitnya Asia sekarang akan membawa perubahan signifikan yang serupa.” Dalam buku tersebut, Mahbubani mengutip sebuah narasi dari Larry Summers yang menulis, “Kebangkitan Asia, berikut semua ikutannya akan menjadi kisah-kisah sukses dalam buku-buku sejarah yang akan ditulis 300 tahun dari sekarang, dengan Perang Dingin dan bangkitnya Islam sebagai kisah-kisah pengiringnya.”
Kata ‘bangkitnya Islam’ yang disinyalir Larry Summers itu tidak bisa dilepaskan dari bangkitnya sastra dan budaya Islam di kawasan Asia. Untuk kita yang tinggal di kawasan Melayu, kebangkitan sastra Islam itu mulai terasa dengan lahirnya karya-karya yang ditulis oleh orang Islam yang secara substansial nuansa Islamnya begitu kuat, walaupun tidak mengutip secara langsung dari teks al-Qur’an dan hadis.
Namun kebangkitan sastra Islam ini juga bukan sesuatu yang final, apalagi kita masih kekurangan tokoh sastra Islam dalam skala Melayu yang dapat menjadi rujukan bersama. Setidaknya dengan begitu besarnya peluang penerbitan buku, itu menjadi motivasi yang baik untuk melahirkan para sastrawan yang tidak hanya kelas daerah dan nasional, tapi juga berskala Melayu, bahkan di tingkat dunia.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyoroti tiga tantangan yang dihadapi oleh penulis muslim, sebagai berikut:
Tantangan 1: Penguasaan Referensi Primer
Jika jeli menulis buku-buku Islami-Populer yang cukup ramai di toko buku, salah satu masalahnya adalah penggunaan bukan referensi primer. Dalam membahas al-Qur’an misalnya, jarang yang mengutip langsung karangan para ulama terkenal yang umumnya dipakai oleh penulis lainnya. Atau ketika menulis sejarah Nabi, jarang yang menggunakan langsung kitab-kitab sejarah yang ditulis para ulama klasik maupun modern. Sebaliknya, dengan adanya Google—sebagai mesin pencari semua tema—membuat ada di antara penulis yang memuaskan dirinya dengan itu. Tidak ada usaha lebih lanjut untuk mencari referensi yang lebih primer dari buku-buku karangan para ulama. Memang, buku-buku para ulama sudah ada yang diubah dalam format pdf, akan tetapi amatan saya terhadap teknik pengambilan referensi—terutama oleh penulis-penulis buku Islami-Populer—lebih banyak puas pada titik mengisi lembar demi lembar halaman tersebut.
Kelemahan para penulis dalam pengutipan referensi primer bisa jadi karena lemah dalam penguasaan bahasa Arab. Buku para ulama banyak yang ditulis dalam bahasa Arab, maka mengerti bahasa Arab menjadi sangat penting bagi seorang penulis muslim. Penguasaannya terhadap bahasa Arab akan memudahkannya dalam mengutip langsung karangan para ulama. Bagi seorang sarjana di kampus Islam, mungkin tidak terlalu repot dengan bahasa Arab, akan tetapi bagi penulis yang berasal dari kampus umum yang kemudian tertarik untuk menulis tema agama, menjadi kendala tersendiri. Para akhirnya, memang buku yang ditulis (oleh penulis yang tidak bisa berbahasa Arab tersebut) memang terbit, namun kualitas dan kedalaman materinya tidak begitu baik. Maka, penting bagi seorang penulis muslim (apakah berasal dari pesantren, kampus Islam atau umum) untuk mempelajari bahasa Arab agar kelak memudahkannya dalam mengutip langsung dari kitab para ulama.
Tantangan 2: Orientasi Cepat Terbit
Saat ini banyak sekali lahir penerbit, yang tiap penerbit itu punya target dalam setahun berapa buku yang harus mereka terbitkan. Peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh para penulis untuk membuat naskah dengan cepat, dan tepat di hari deadline agar terbitnya pas dengan keinginan penerbit. Tentu saja, orientasi membuat naskah cepat selesai itu tidak salah. Dr. Aidh al-Qarni pernah dalam satu kesempatan, ia menulis buku dengan cepat, hanya beberapa jam, dan buku itu terbit. Atau, di antara para ulama ada yang transkrip pidatonya tidak banyak diedit, langsung diterbitkan. Akan tetapi, bagi para penulis—terutama pemula—menulis dengan orientasi cepat terbit terkadang menafikan kewajiban pendalaman materi dan editing. Ya, karena ingin segera terbit, maka tingkat kedalaman tidak terlalu dipentingkan. Hasilnya kemudian, naskah tersebut memang terbit, akan tetapi materinya biasa-biasa saja, dan tidak jauh beda dengan buku-buku sejenis.
Mereka yang berorientasi cepat terbit tidak bisa juga dilepaskan dari faktor finansial. Ada kemungkinan dengan cepatnya terbit, akan lebih cepat juga honor penulis keluar. Ini tentu saja naluriah sifatnya—karena tiap orang butuh uang—namun faktor kualitas isi naskah baik sekali diperhatikan.
Tantangan 3: Merasa Puas dan Tidak Meningkatkan Diri
Penulis yang berkualitas akan melahirkan karya yang berkualitas pula. Maka dibutuhkan up grading kualitas diri secara bertahap, dalam banyak hal. Peningkatan kualitas ini bisa lewat program menulis[1], kajian-kajian rutin keislaman, atau diskusi, dan pendalaman materi secara kontinyu. Ini merupakan bagian dari thalabul ‘ilm (menuntut ilmu) yang seharusnya ada dalam diri tiap penulis. Dengan senantiasa belajar, seorang penulis muslim kelak bisa memperbaiki karyanya dari waktu ke waktu.
Saat ini, dengan mudahnya pengambilan data dan kutipan dari mesin pencari Google, terkadang membuat kita berpikir simplistik. Kita berpikir bahwa data-data yang kita kutip dari Google itu sudah bagus, dan valid. Padahal belum tentu. Tulisan yang ditulis para penulis kenamaan yang diposting di internet itu juga belum menjamin semua ketikannya baik. Kesalahan ketik bisa mengakibatkan kesalahan tafsir dan makna. Maka di titik ini lebih save rasanya mengutip langsung dari buku. Dengan mengutip dari buku referensi langsung sesungguhnya kita melatih diri untuk terus belajar memperbaiki diri.
BISA JADI, selain tiga tantangan di atas, masih banyak lagi tantangan lainnya yang dihadapi penulis muslim. Namun, dalam konteks kebangkitan sastra—dalam arti luas—di tanah Melayu, ketiga tantangan tersebut boleh diperhatikan agar melahirkan karya yang lebih berkualitas, bukan yang sekedar sekali dibaca, langsung ditinggalkan oleh pembaca. Kita butuh banyak karya yang dalam, inspiratif dan menjadi suluh penerang menjawab tantangan zaman tidak hanya di kawasan regional Melayu, tapi juga dalam skala masyarakat dunia.
Padang, 9 November 2013
[1] Dalam konteks dunia Melayu, ada baiknya diadakan semacam Melayu Writing Programme (sejenis program cerpen, novel, esai dan puisi yang digagas Mastera) yang berfungsi sebagai wadah kritik sastra, bengkel sastra, dan perluasan silaturahmi dan gerak antar penulis-penulis Melayu. Bahkan, anugerah sastra dalam regional Melayu juga merupakan suatu kebutuhan untuk menciptakan iklim fastabiqul khairat antar penulis.