Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Sumpah Pemuda, Konflik Horizontal, Common Will

Oleh: Afifah Afra*

Ketika baru memasuki bangku kuliah, lebih dari dua dekade silam, saya ditawari bergabung di sebuah organisasi

mahasiswa yang berbasis daerah asal. Karena merasa membutuhkan informasi dari teman-teman sedaerah, penulis pun memutuskan untuk bergabung. Ternyata, organisasi semacam itu cukup banyak bertumbuhan di kampus, dan biasanya cukup eksis. Mulai dari Sumatera, Jawa hingga Maluku dan Papua. Ada pula yang berbasis suku, atau sub suku. Awalnya saya mengira hal tersebut wajar-wajar saja.

Sampai pada suatu malam, ada sebuah siaran di radio yang menyentakkan kesadaran saya. Sang narasumber saat itu mengatakan, “Sungguh aneh mahasiswa saat ini. Jika dahulu, saat pergerakan

nasional, organisasi-organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dan sebagainya melebur menjadi satu dalam sumpah pemuda, sekarang malah mereka asyik dengan organisasi-organisasi kedaerahan. Ini berarti para mahasiswa melangkah surut ke belakang.”

Ketika terjadi konflik-konflik SARA yang meluas di berbagai tempat di Indonesia, mendadak penulis teringat dengan perkataan sang narasumber tersebut. Apakah menguatnya ikatan berbasis primordial itu berpengaruh terhadap kian banyaknya konflik horizontal?

Masyarakat Majemuk

Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun dari masyarakat yang majemuk (plural societies). Bahkan sejak zaman dahulu, pada pemerintahan Majapahit misalnya, disebutkan bahwa

agama yang dianut masyarakat sudah berbeda-beda. Menurut J.S. Furnivall (1967), masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yakni terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sehari- hari tanpa pembauran di dalam sebuah kesatuan politik. Di zaman Belanda, masyarakat Eropa (Belanda), Tionghoa dan Pribumi, hidup sendiri-sendiri dalam adat-istiadatnya sendiri. Setelah kemerdekaan, pemerintah berupaya melakukan usaha-usaha pembauran. Akan tetapi, selain karena upaya itu terkesan top down dan sangat dipengaruhi kepentingan politis, politik pecah belah alias devide et impera yang diterapkan Belanda juga masih meninggalkan jejak di benak.

Selain itu, masyarakat pribumi bangsa ini juga terbangun dari aneka ragam suku, budaya, agama, bahasa dan sebagainya. Bahkan, di sebuah suku bangsa sendiri, juga terdapat berbagai jenis perbedaan. Misalnya, menurut Clifford Geertz, di suku Jawa terdapat kaum priyayi, santri dan abangan, yang masing-masing memiliki pandangan dan tata cara hidup sendiri-sendiri, mulai dari cara berkomunikasi, hingga keyakinan dalam beragama. Di kalangan santri sendiri, juga terdapat dua mainstream yang legendaris, seperti kalangan Nahdiyin dan Muhammadiyah, yang terlibat semacam ‘rivalitas’ sejak zaman pra kemerdekaan. Meski upaya-upaya diskusi telah ditempuh, hingga kini, kedua mainstream ormas Islam ini seakan-akan tak bisa menemukan titik temu dalam masalah persamaan pandangan.

Disadari atau tidak, kenyataan ini sangat berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya mengarah kepada perpecahan atau disintegrasi. Maka, di dalam perjalanan secara bangsa ini, kita disodorkan pada realita aneka konflik, mulai dari konflik pribumi non pribumi, konflik antar suku, konflik antar golongan masyarakat, serta konflik antar agama. Mulai dari yang sekadar cekcok, hingga yang berdarah-darah dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Setelah dibukanya kran kebebasan pasca tumbangnya rezim Orde Baru, Indonesia mengulang kembali episode konflik yang dipicu oleh persaingan partai-partai politik. Akan tetapi, banyak kalangan berpendapat, bahwa konflik antar parpol saat ini, jauh lebih kejam, beringas dan brutal dibandingkan dengan yang pernah terjadi pada tahun 1950-an. Sekarang, menjelang hajatan besar politik di tahun 2019, persaingan antarparpol sudah mulai terlihat panas, dan jika tak di-manage dengan baik, akan berpotensi meledakkan bom perpecahan.

Common Will

Masyarakat majemuk membutuhkan sebuah kemauan bersama (common will) untuk bisa hidup bersama dan membangun sebuah bangsa yang berdaulat. Itulah yang mendasari, mengapa para pemuda yang semula memiliki organisasi sendiri-sendiri, dari yang berbasis kedaerahan semacam Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon dan sebagainya, atau yang berbasis keagamaan seperti Jong Islamieten Bond, Persatuan Pemuda Kristen dan sebagainya,

berkumpul pada Kongres Pemuda Indonesia II, pada 27-28 Oktober 1928. Kongres yang dikenal dengan Sumpah Pemuda ini menghasilkan tiga sendi persatuan Indonesia, yaitu persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. Bahkan dalam kongres ini, juga diperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, dan bendera merah putih (Poesponegoro & Notosusanto, 2008). Common will semacam itu juga yang kemudian dilakukan oleh Muhammad SAW dengan Piagam Madinah-nya. Isi dari Piagam Madinah adalah semacam kesepakatan bersama antara

umat Islam dan Yahudi, untuk hidup bersama di kota Madinah.

Karena common will, yang tertuang dalam perjanjian tersebut, maka para pemuda kemudian bersatu dan karena persatuan yang kokoh itu, akhirnya Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, meskipun dengan lika-liku yang dramatis. Tujuan pergerakan nasional tercapai dengan gemilang. Demikian pula, Piagam Madinah membuat ummat yang memiliki perbedaan agama di Madinah, bisa hidup bersama secara damai.

Sayangnya, kehidupan memang tak semulus seperti apa yang direncanakan para pendahulu negeri ini. Alih-alih mampu meneruskan komitmen untuk bersatu, saat ini berbagai elemen masyarakat di negeri ini bahkan kembali kepada primordialitas masing-masing. Contoh kongritnya adalah dengan maraknya ikatan-ikatan mahasiswa berbasis daerah seperti tersebut di atas. Bisa jadi, ikatan-ikatan semacam itu cukup penting dan dibutuhkan. Tetapi, jika tidak diimbangi dengan keinginan untuk berbaur dengan elemen masyarakat yang lain, bisa terjadi kontraproduktif.

Demikian juga, kepentingan-kepentingan golongan dan partai, seringkali lebih mendekam kuat di pemikiran para elitnya ketimbang kepentingan bangsa secara umum. Parpol seperti tidak rela menyerahkan kader terbaiknya yang menjadi pejabat publik untuk menjadi milik publik, sehingga masih terus dibebani dengan agenda-agenda politik yang seringkali menyandera objektivitas dan kemerdekaan si pejabat publik.

Kedewasaan Masyarakat

Satu syarat penting munculnya common will, barangkali adalah kedewasaan. Semakin dewasa sebuah masyarakat, mereka akan semakin menyadari bahwa mereka membutuhkan titik- titik di mana mereka saling bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati, namun bertoleransi dalam hal-hal yang masih menjadi perbedaan. Mampukah kita mewujudkan hal semacam itu? Bukan sesuatu yang mustahil, asal setiap individu berupaya untuk selalu belajar mewujudkan social smart masing-masing. Tentu saja tak hanya individu. Pemerintah, Ormas, Parpol, Tokoh Agama dan sebagainya juga perlu menjadikan pendewasaan masyarakat sebagai salah satu agenda penting dalam program-programnya. Membiarkan masyarakat larut dalam perpecahan, sesungguhnya hanya akan membuat bangsa ini tercabik-cabik, dan lambat laun mungkin akan remuk dan hilang dari peta bumi.

*Ketua Umum Forum Lingkar Pena Periode 2017 – 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This