“Setibanya Ramadhan, pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, syaitan dibelenggu.” (HR. Abu Hurairah)
Cobalah kembali menyusun kepingan-kepingan Puzzle Ramadhan yang telah terlewat? Seperti apakah ia? adakah ia seperti susunan tak berbentuk? Atau ada space yang kosong? Bisa jadi mungkin seperti ini : “Puasa ala kadarnya, juga ada dua hari tertinggal. Sholat tarawih seperti mematuk ayam, pun bolong-bolong, Infaq cuma dua kali, maksiat hampir tiap hari, tilawah tidak nyampai 1 juz sehari … dst.”
Telah berlalu berapa kali Ramadhan dalam hidup, telah banyak raga yang tak lagi membersamai hingga kini. Gugahan untuk diri kadang hilang agar Ramadhan tak sekadar rutinitas tahunan yang menjebak setiap jiwa. Menjebak bahkan membelenggu bagi sebagian orang. Tersebab kualitas diri juga hanya jalan di tempat. Hanya karena makna yang serampangan tentang cara menyambutnya. Ia disambut dengan syiar pawai, spanduk-spanduk yang menghiasi ruas jalan (walaupun dibolehkan), gadis juga artis mengubah tampilan, penjaja makanan membentot perhatian pengguna jalan, dan lain sebagainya. Ramadhan datang dan pergi, namun diri tak beranjak ke mana-mana.
Ayat favorit seputar puasa, agaknya hilang makna. Hanya penghias bibir da’i di layar kaca, atau di masjid-masjid. Esensi puasa mencapai taqwa menguap bersama berlalunya madrasah Ramadhan. “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al Baqaroh : 183).
“Sudah sewajarnya puasa diwajibkan atas ummatnya ….” tulis Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an. “Karena puasa merupakan momentum penegakkan kemauan yang kuat dan pasti.” sambungnya. “Ia juga Momentum hubungan manusia dengan Tuhannya dalam ketaatan dan kepatuhan. Sebagaimana ia juga merupakan momentum untuk melepaskan diri dari semua kebutuhan jasmani (fisik), demi mengutamakan ridha dan kesenangan yang ada di sisi Allah SWT.” Subhanallah wajar saja jika Ramadhan juga dikatakan sebagai bulan tarbiyah, bulan pembinaan diri, sehingga ada perubahan ke arah yang lebih baik, meskipun sedikit.
Guratan tulisan ini tak hendak membuat diri pesimis, hanya mengajak merenungi kembali episode Ramadhan yang berlalu. Bukankah kita punya do’a yang terpanjat entah Ramadhan kapan. Dengan keyakinan bahwa “Sesungguhnya orang yang berpuasa, pada saat berbuka, punya do’a yang dikabulkan …” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dalam musnadnya).
Maka, layaknya petani, Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menyemai amal. Laksana musim bercocok tanam, karena tanahnya yang subur, air pun banyak, hamanya telah menjauh dari ladang. Segalanya terkondisikan untuk melakukan amal kebaikan. Agar Ramadhan bersemi selamanya. Melahirkan amal-amal yang bermekaran sepanjang bulan-bulan berikutnya.
Wallohu’alam.
*Alimin Samawa. Ketua FLP NTB Mataram dan BPP FLP Pusat.
Ya Allah sampaikanlah kami pada nikmatnya ramadhan tahun ini.
Semuanya!