Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Perspektif (1)

Akhirnya Munas IV FLP tuntas digelar dengan menghasilkan berbagai perbaikan. AD/ART yang terus disempurnakan sampai terpilihnya Ketua Umum FLP 2017-2021. Tentu saja, terdapat dinamika yang menandakan kedewasaan gerak organisasi tersebut, sejak pengusungan bakal calon, kampanye-kampanye para pendukung dan bakal calon di medsos, sampai lobi-lobi politik menjelang pemillihan. Menariknya, semua itu dilakukan dengan keceriaan dan penuh kesantunan. Alih-alih, membuat suasana Munas (sebelum, ketika, dan setelah) menjadi panas, kontestasi itu malah membuat perhelatan tersebut menjadi indah, hangat, dan berirama seperti sebuah sajak cinta.

Saya sempat khawatir dengan penyelenggaraan Munas, 3-5 November 2017, di Bandung ini. Ada banyak faktor yang membuat rasa tersebut muncul, sejak kesiapan panitia, pendanaan, sampai keberlangsungan acara. Hanya saja, kemudian, saya melihat wajah-wajah dan wacana-wacana verbal para panitia dan SC juga ketua dan pengurus FLP begitu optimistis dan memandang balik ke arah mata saya. Luar biasa, saya yang memandang khawatir dibalikpandangi oleh mereka dan bahkan sebaliknya mereka mengkhawatirkan saya. Baiklah, akhirnya yang akan memecahkan semua kegelisahan itu adalah realitas, pikir saya. Dan akhirnya saya melihat semuanya baik-baik saja, bahkan mata ini berkaca-kaca setiap melihat gerak dan ucap setiap kepala yang hadir sebelum, ketika, dan setelah Munas.

Ada yang takwajar pada Munas IV FLP ini sebenarnya, yaitu hilangnya citra lelah dari hampir seluruh wajah peserta kegiatan tersebut. Saat saya melihat kiriman foto-foto Munas sejak hari pertama sampai hari terakhir, saya justru melihat adanya peningkatan keceriaan. Senyum yang mencitrakan jiwa yang lapang itu menjadi hijab bagi kelelahan yang ada. Bagaimana tidak, hampir semua peserta tidak tidur dengan sempurna selama dua malam, bahkan persidangan komisi A berlangsung sampai hampir pukul 7 pagi. Namun, saat pkl 9 acara digelar mereka bersiap kembali sampai tuntas acara lewat tengah malam. Besoknya, peserta dan panitia berjalan-jalan ke alun-alun Kota Bandung dan berfoto bersama. Dan hasilnya, seperti saya katakan, ada peningkatan keceriaan. Ada sesuatu yang menghijab kelelahan untuk tampak di wajah dan gerak mereka. Saya yakin, Anda dapat menjawab apa penyebabnya.

Pentingnya musyawarah bagi sebuah organisasi adalah mutlak adanya. Ia serupa ruang yang penuh cermin yang akan merefleksikan penghuninya dari berbagai sudut pandang. Ia semacam ruang kedap suara tempat perdebatan sengit dalam rangka saling mengevaluasi. Ia juga sejenis upaya saling memperhatikan, saling peduli, dan saling cinta atas nama gerak yang telah disepakati bersama. Begitulah setiap Munas FLP seharusnya diposisikan. Sebelum dipandang, diapresiasi, dan dirayakan di luar sana, FLP harus menjadi objek pandangan para penggeraknya. Dan itu, saya baca, telah dilakukan empat kali di FLP. Karena itu, bila ada yang bertanya tentang kebertahanan organisasi ini jawabannya adalah: para penghuni FLP telah selesai memandang, mengoreksi, dan merawat dirinya sendiri sebelum ia hadir di ruang masyarakat.

Kehadiran dan keterpandangan FLP di luar sana tentu saja menjadi catatan tersendiri. Pada titik ini, FLP telah menjadi milik masyarakat dan negeri ini. Puisi, cerpen, novel, artikel, esai, catatan perjalanan, berbagai penelitian, sinetron, film, dan lain-lain adalah metafora dari para penulisnya dan organisasi yang menaunginya (FLP). Mereka telah menjadi objek pandangan siapa saja yang membaca dan menontonnya. Di sinilah perlunya sikap rendah hati dari sesosok objek. Ia seharusnya dengan ikhlas menyerahkan semua pada mekanisme kemasyarakatan. Ada wilayah sosial-budaya-politik yang juga menjadi ruang bagi itu semua. FLP melalui karya-karyanya akan dipandang lewat mata dan ideologi yang heterogen. Inilah sumber kekayaan dan hikmah bagi gerak selanjutnya FLP sehingga FLP bisa sekuat tenaga menahan euforia dan seluas-luasnya menampung berbagai pandangan tadi. Percayalah, selalu ada tingkat dan kualitas selanjutnya dari keterbukaan diri untuk dipandang semesta.

Catatan ringan ini saya pungkas dengan sebuah sajak pendek:
TETANDA

Yang kami baca adalah teks zaman
Pesat, tapi takmenyilaukan
Ada mahakekuatan merasuk lewat zikir kefanaan
Mewujud kesadaran bahwa bergerak takmungkin sendirian.

Bandung, 7/11/17

Bandung, 8 November 2017

M. Irfan Hidayatullah. Dosen sastra Universitas Padjajaran. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena. Penulis novel “Sang Pemusar Gelombang”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This