Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Pada Sebuah Subuh yang Terburu-Buru

sunset-from-my-balcon-ruwaisSeorang lelaki merapatkan jaketnya dan melangkah cepat-cepat pada sebuah subuh yang masih dini. Azan terdengar setengahnya, tadi dia sedikit termenung, agak gusar juga karena menyangka azan itu adalah azan panggilan shalat subuh. Tapi air mukanya berubah lagi setelah sadar bahwa yang terdengar sekarang baru azan awal. Dia menggelengkan kepala, masih agak gusar, dan menyesali dirinya yang tidak memiliki jam tangan, penunjuk waktu di telepon genggamnya pun tidak bisa terbaca karena kehabisan baterai. Dia betul-betul buta waktu, yang jadi panduannya hanya langit yang masih gelap dan tentu saja azan shubuh tadi.

“Aku harus segera sampai di sana sebelum azan subuh tiba!” Begitu katanya pada diri sendiri, karena pada subuh seperti ini siapa yang bisa diajak berkomunikasi?

Lelaki itu terus berjalan, dia melintasi jalan setapak, jalan raya, trotoar, melewati lampu-lampu jalan yang masih menyala. Melwwati museum perjuangan yang selalu sepi baik siang ataupun malam. Melewati tiang bendera yang kosong kesepian. Dia mengeluh pendek. Perjalanan terasa terlalu jauh untuk kakinya yang kelelahan. Padahal dia masih muda, seharusnya energinya masih banyak meski tadi malam hanya tidur tiga jam.

Dia meraba dadanya, meraskan sesuatu di sana. Bukan di dalam kulitnya, hanya sampai di dalam jaketnya. Dia tersenyum “Benda ini masih ada, harus kuantarkan segera.” Begitu juga katanya pada diri sendiri, karena pada subuh seperti ini siapa lagi yang bisa diajak berbagi?

Dia terus berjalan sementara langit mulai berubah sedikit, subuh pasti akan tiba tanpa ada yang bisa menahannya, lelaki itu tahu maka dia lebih mempercepat langkahnya. Kini dia sampai di satu tempat yang bukan tujuannya. Di tempat ini tak ada manusia, namun kini dia menemukan banyak aspek yang berpapasan dengannya. Lelaki itu tertegun, nyaris memperlambat langkahnya.

“Begitu banyak aspek disini, datang darimana? Mengapa?” Sambil berjalan dan melihat kiri kanan lelaki itu terus bertanya pada diri sendiri. Harus pada diri sendiri, karena pada subuh seperti ini manusia macam apa yang bisa diajak diskusi?

Begitulah, dengan mata kepalanya sendiri lelaki itu melihat mata-mata sendu memandangnya, Mata-mata itu berbaris di pinggir jalan, mata-mata itu milik orang-orang yang gelisah dan muram. Mata-mata itu milik bapak-bapak yang kebingungan mencari nafkah untuk makan keluarganya. Milik para korban pencabulan dan perkosaan di angkutan kota dan negara tetangga. Milik para istri yang mengerucut bibirnya setiap suami pulang tidak membawa uang. Lalu lelaki itu melihat ratusan potong Giorgio Armani terselip di lemari. Lalu ada rasa sakit menyelip, tidak ada yang salah dengan Armani, tapi rasa sakit itu tetap menyusup sedikit demi sedikit.

“Sekali lagi, aku masih terlalu peduli pada aspek-aspek itu, sampai lupa pada janji sendiri. Aku terlalu memikirkan mereka sampai lupa kewajibanku sendiri! Sialan!” Lelaki itu merutuk, menyadari bahwa kebiasaannya ini seperti lingkaran setan saja. Terjadi berulang-ulang kali, selalu disertai penyesalan dan rutuk geram, namun tetap saja terulang.

Dia lalu meraba dadanya, merasakan lagi sesuatu yang terselip di antara jaket dan kaosnya. Sejenak dia merasa sedang membawa-bawa sampah. Sekejap dia berpikir apa yang terletak di dadanya itu tak sebanding dengan mata-mata yang dilewatinya ini. Apa yang dilihatnya tampak lebih penting dari yang ada dalam dadanya. Tapi lelaki itu terus berjalan dalam diam, tentu saja harus begitu karena pada subuh seperti ini manusia siapa lagi yang bisa diminta untuk mengerti situasi?

Kini dia sampai dia jalan raya, dia tahu tujuannya makin dekat, dia pun tahu waktunya sudah semakin singkat. Tapi aspek-aspek baru terus bermunculan dan kembali memaksanya melambatkan langkah kaki. Kini dia melihat tak hanya sekadar mata, tapi sosok anak-anak kurus telanjang lalu lalang dengan perut buncit, mata besar, dan gigit jari. Anak-anak rambut gimbal lalu lalang tanpa alas kaki berdiam diri di lorong-lorong gelap pembuangan air, berteman dengan tikus got yang sebesar kucing. Ada gadis-gadis dengan rok mini dan belahan dada seksi menawarkan keperawanan yang tak lagi mereka miliki. Lalu lelaki itu juga melihat Crocs Malindi bersisian di rak sepatu, menunggu kaki-kaki jenjang yang akan menggunakannya. Crocs yang kesepian dan berdebu karena kaki itu hanya dua sementara mereka berjumlah ratusan.

Dia meraba lagi dadanya, pertemuan dengan aspek tadi membuat benda itu serasa mati dan tak berdenyut lagi. Lelaki itu menggelengkan kepala, agak gusar dengan perhatiannya yang terpecah. Dia melangkah lebih cepat lagi.

Sementara langit makin berubah, memang masih gelap. Tapi ayam mulai ada yang ribut bersuara. Lelaki itu tahu ayam dapat melihat fajar empat puluh lima menit lebih cepat dari manusia. Mungkin itu sebabnya mereka bisa bersuara lebih dulu dari kita. Maka lelaki itu tahu bahwa sebentar lagi fajar datang dan subuh berkumandang. Sementara tujuannya sendiri belum lagi kelihatan.

Dia sedikit merutuki kelambatan ini, tapi dia tidak punya pilihan selain makin mempercepat langkahnya. Kini justru ada rasa cemas menyusup, cemas yang tidak beralasan namun merasuk dalam pikiran. Mendadak dia khawatir sesuatu yang ada dalam dadanya tidak terisi hal yang pantas, padahal dia ingin menyerahkannya dengan khidmat pada aspek lain yang lebih penting dari aspek-aspek yang dilewatinya sejak tadi, bahkan lelaki itu sebenanrya tahu bahwa dia akan menyerahkan ini pada aspek yang lebih penting dari dirinya sendiri.

Lelaki itu mengingat-ingat apa yang sudah dia tulis dalam benda itu. Benda yang sudah berkali-kali dia antarkan. Lelaki itu terus mengingat-ingat, tapi rasanya tidak ada perbedaan. Isinya nyaris sama, kalaupun ada yang berbeda mungkin hanya susunan kata. Sudah terlalu lama dia malas membuat yang baru dan hanya menyalin saja. Rasanya juga tidak pernah ada yang keberatan.

Lelaki itu berbelok sekali lagi, kini tempat tujuannya sudah kelihatan. Sebuah bangunan dengan menara yang tinggi, rumut hijau membentang di halaman dan cahaya lampu terang menyerobot keluar dari jendela-jendela yang artistik. Lelaki itu sudah sangat hapal tempat itu. Dia tersenyum, menyeka keringatnya dengan punggung tangan, meraba sekali lagi benda di dadanya dan melangkah. Tapi tiba-tiba sesuatu menghalanginya. Sesuatu itu tampak tidak dari mana-mana, sejak tadi seharusnya dia berdiri di jalan yang akan dilalui lelaki itu, sesuatu itu berdiri dalam situasi antara terlihat dan tidak. Lelaki itu hampir berpikir untuk menabraknya, andai saja dia tidak melihatnya.

“Minggir!” dia berkata pada sesuatu itu

“Anda mau kemana?” sesuatu itu ternyata bisa bicara

“Minggir! Aku harus ke sana sebelum subuh tiba!”

Sesuatu itu tampak tersenyum, atau sebenarnya lelaki itulah yang merasakan bahwa ada aura senyuman datang dari aspek penghalang di depannya. “Anda mau apa ke sana?”

“Aku mau membawa ini…” lelaki itu mengeluarkan benda yang ada di dadanya, yang terselip antara kaos dan jaketnya. Ternyata benda itu adalah selembar kertas, hanya itu, selembar kertas yang penuh dengan tulisan tangan.

“Apa itu?”

“Puisi…” suara lelaki itu yakin sekali

“Kenapa anda bawa puisi ke sana? Di sana tidak sedang ada pentas baca puisi atau pengumpulan antologi…”

“Harus kubawa kemana lagi? Ini puisiku, mereka menangis tiap hari, mereka meratap tiap hari, mereka menjerit tiap hari. Mau kujual tak ada yang suka, mau kulelang tak ada yang menawar! Kamu mau beli puisi ini? Atau kamu punya transaksi yang hebat untuk puisi ini? Apa? Tak usah ditukar uang pun tak apalah. Asal semua tangisan di sini bisa lepas dariku. Kalau kamu tidak punya dan tidak bisa membantu apa-apa, lebih baik minggir, disana ada yang lebih baik dari kamu yang mau menerima puisi ini!”

Sesuatu itu tersenyum lagi, dia belum mau beranjak. “Biar saya yang memegang puisi itu…”

“Aku tidak bisa percaya kamu, siapa kamu? Kenal pun tidak!”

 Sesuatu itu tersenyum lagi, mungkin memang yang dia bisa hanya bicara dan tersenyum “Kalau anda tidak percaya saya, maka anda tidak akan bisa melepaskan puisi itu, lagipula untuk masuk ke sana sebelum subuh tiba anda harus melewati saya. Tidak ada pilihan, bukan anda penguasa di sini.”

“Setidaknya katakan, kamu siapa?”

“Aku Isya, aku pemeluk malam, dan yang memiliki kesabaran paling panjang! Mari, berikan puisimu!”

Lelaki itu termenung, sementara langit makin berubah. Lelaki itu tahu sekian menit lagi mungkin azan subuh berkumandang. Beradu argumen di sini hanya akan memperlambat waktu. Lelaki itu memandangi kertas di tangannya, membaca larik-larik kata di sana, dia merasa bisa menghapalnya dan perasaannya berangsur membaik. Tidak gusar lagi, ketika itu dia mengulurkan kertas tadi pada sesuatu itu, yang langsung diterima, tentu saja sambil tersenyum.

“Silahkan lanjutkan perjalanan…” Isya bergeser, membuka jalan.

Lelaki itu melangkah masuk ke tempat tujuannya. Sebuah tempat berpintu gerbang, dan bertembok tinggi, sehingga dalam sekejap lelaki itu menghilang dari pandangan mata. Dia tidak keluar lagi, dan Isya pun ikut menghilang membawa selembar puisi.

Lalu tak berapa lama kemudian, di kejauhan azan subuh berkumandang. Meninggalkan bunyi klesak-klesik yang aneh dalam rongga telinga.

aaa

Bandung, Januari 2013

Terispirasi dari Puisi Erri Subiakti yang berjudul:

“Puisiku Terinjak Stiletto Louboutin”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This