Lelaki itu termangu. Lama. Dia tahu teman-temannya pasti akan mencibir dia habis-habisan jika hari ini dia memutuskan untuk tidak ikut. Cibiran itu mungkin akan lebih dalam jika mereka tahu alasannya.
Kini sudah dihabiskannya dua cangkir kopi meski hari masih terlalu pagi untuk ngopi. Suasana senyap. Dingin. Dia sudah di ruangannya, sementara teman-temannya mungkin masih di jalan atau masih melingkar dibalik selimut, atau memeluk anak istri.
Diliriknya jam, empat jam lagi.
Kini dia melihat jarum detik yang berdetak maju. Mendengarkan suara ketukan yang entah kenpa mendadak jadi sangat keras. Hidup itu bergeser Japri! Dia memaki dirinya sendiri. Lalu merenung-renung tak jelas. Setengah jam yang lalu masih dirasakannya kopi panas dan pisang goreng Bu Leha, masih ditepuknya bahu Kang Samron—tukang baju yang tangannya tinggal satu. Tertabrak lari dengan sebuah Kijang berplat kepolisian—yang ikut nimbrung dengannya di warung.
“Wah kang Japri tumben nyubuh nih?” begitu sapa kang Samron tadi
Ketika itu Japri tak dijawab, dia rasa seusap senyum sudah cukup. Lagipula pisang goreng yang mengepul lebih penting. Tapi sempat ditatapnya sekilas. Wajah Kang Samron. Tua. Lusuh. Belum tersentuh air. Japri seperti sadar kalau Kang Samron sudah tua.
Japri sudah kenal orang tua itu lebih dari sepuluh tahun, dan diamerasa belum ada tukang baju bekas sebaik Kang Samron. Misalnya, waktu Japri sakit dan tidak punya uang, Kang Samron mau meminjamkan, bahkan ikut mengantar ke rumah sakit. Padahal siapapun tahu anak kang Samron ada lima, istrinya—yang rajin mengiriminya lauk makan—pun cuma berdagang gorengan di pasar.
Lalu Japri menatap Bu Leha. Janda anak dua, dia juga sudah tua. Japri ingat hutangnya ke Bu Leha sudah banyak. Bulan kemarin saja empat puluh ribu, bulan ini sudah sepuluh ribu. Gajinya belum keluar, padahal sudah tanggal delapan. Maka dia belum bisa bayar, tapi tidak pernah Bu Leha minta atau menagihnya—begitupun kepada pelanggan lain—Perempuan tua itu selalu menunggu dengan sabar
Dia baik. Aku kenal sejak kecil, dia yang membantu kelahiranku!
Pikiran Japri kembali. Diliriknya jam. Tiga jam lagi! Teman-temannya belum tentu datang sekarang, paling lambat mereka datang jam setengah delapan. Kopi di cangkir masih setengah. Sudah dingin. Mestinya dihabiskan dari tadi. Tapi Japri tidak terburu-buru, dia ingin menikmati setiap teguknya. Menikmati setiap menitnya.
Mumpung masih bisa.
Japri tidak mau kehilangan setiap menit yang seharusnya bisa dinikmati. Sebab dia sudah terlalu sering berhadapan dengan orang-orang yang belum menikmati setiap menit hidup mereka, namun terpaksa harus tersentak ketakutan ketika Japri dan teman-temannya datang.
Apakah Japri seorang malaikat maut yang kedatangannya selalu mengejutkan? Tidak, dia juga seorang pekerja seperti orang lain. Karyawan. Buruh. Budak. Apapun namanya dia tidak peduli. Yang penting dia tahu dia akan selalu dibawah.
Japri lalu meneguk lagi kopinya. Masih belum habis.
Perlahan dielus rambutnya. Agak meringis ketika telapaknya mampir dekat ubun-ubun. Ada benjol kecil. Masih untung, tiga belas hari yang lalu di titik itu ada luka menganga. Tidak besar tapi berdarah banyak. Dilempar batu oleh anak kecil.
Anak kecil! Delapan tahun (mungkin). Kurus, dekil dan beringus banyak. Celana pendek putih (coklat?) seragam SD tanpa kancing. Tangannya terkepal, dia menggenggam sesuatu, tidak jelas apa yang digenggamnya sampai tangan itu terayun
Bug!
Semuanya terlalu cepat. Japri sempat mendengar teriakan marah (teman-temannya?), dan sorakan keras (entah siapa, dia tidak kenal). Lalu yang dia lihat teman-temannya merangsek maju. Mengejar anak kecil itu—yang sudah hilang sedari tadi—tapi terhalang tubuh-tubuh lain. Pagar betis. Teriakan kasar. Hewan kaki empat.
Mereka marah!
Lalu saat itu semuanya gelap. Selanjutnya Japri mendapati dirinya tersadar di bangsal rumah sakit, tertutup seprai putih, tidur di bantal bersarung putih, ada perban putih di kepala. Nyeri. Berdenyut sendiri. Tiga hari dia disana lalu dokter—juga berbaju putih—mengizinkannya pulang. Di rumahnya dia dapati koran tiga hari yang lalu. dengan headline yang besar-besar:
Penggusuran, Petugas Dilempari Batu
Saat itu kepalanya terasa sakit lagi. Betapa hidup ini hampir tidak memberinya pilihan. Dibukanya koran itu. Ada gambar-gambar yang menusuknya. Japri melihat wajah seorang ibu—Japri merasa dia dan ibu itu memiliki kesamaan—Mereka sama-sama harus makan, sama-sama harus bertahan. Sedang hidup semakin keras. Siapa yang akan membela?
Lalu ada foto seorang bapak memunguti pakaiannya yang berserakan tumpah dari dalam lemari. Mungkin baju-baju itu tidak ada yang baru, mungkin lemarinya juga sudah usang. Japri menatap lemari di kamarnya. Ternyata mereka pun sama, lemari Japri juga sudah usang dan baju-bajunya tidak ada yang baru. Mungkin juga beberapa kecoak bersarang disana. Atau tikus? Rayap? Semut?
Siapa yang peduli?
Lalu di koran itupun Japri melihat seorang anak yang ngejemprak di atas tumpukan sampah. Dia tidak menangis, dia tidak tersenyum. Wajah itu kaku, memandang rumahnya yang tinggal tiang belaka.
Lalu ada…
Tiba-tiba pintu kantornya terbuka. Japri tersentak. Dia tahu ada yang masuk, dia terlalu malas untuk menoleh. Tapi sapaannya dia kenal sekali. Itu tentu salah satu temannya!
“Ah, kau datang pagi-pagi? Ada apa pula Japri?”
Japri menggeleng. Percuma menjelaskan perasaannya.
Lalu satu persatu teman-temannya datang. Dia melirik jam. Satu jam lagi. Lalu komandannya datang. Semuanya briefing. Cekakakan. Serius. Cekakakan lagi. Serius lagi. Tulis-tulis, catat peralatan yang dibawa. Catat rute. Catat… catat…
Japri tidak tertawa. Dia termangu di sudut saat mendengar rute yang akan dilalui, membaca tempat yang akan disinggahi. Tidak sanggup rasanya menghadapi wajah-wajah disana. Belum-belum dia sudah membayangkan wajah Bu Leha, Kang Samron, Usin, Kimpul, Udjo, Sarti Pijit, Katiyem, Bang Tompel, Mas Sastro.
Japri merasa tidak akan sanggup lagi pulang ke rumah. Mereka pasti akan mencibirnya ketika bertemu. Lelaki itu merasa sebagai pengkhianat. Dia menikmati pelayanan mereka setiap hari dan sekarang menghancurkannya.
Tapi dia juga tidak mampu bercerita pada teman-temannya disini. Apa mereka tidak akan mencibirnya juga? Memandangnya pengecut dan aneh.
Mendadak dia merasa menyesal sudah dilahirkan. Mendadak dia merasa menyesal sudah diberi kesempatan hidup
Tapi waktu terus berjalan. Sebentar lagi mereka semua berangkat. Dan tidak ada yang bisa mundur, Japri menatap wajah kawan-kawannya. Ternyata mereka semua sekarang bertanduk. Berekor dan meneteskan air liur. Sementara dia merasa badannya menyusut hingga tinggal sebesar kelingking.
Sungguh, tidak pernah dia merasakan seperti ini.
Apa aku sudah terlalu biasa? Jangan-jangan selama ini aku sudah mati?
Mendadak Japri merasa hati itu dia akan mati.
Bandung, September 2013