Perbedaan Pandang Dunia (1)
Oleh: Intan Savitri
Saya selalu mengatakan pada mahasiswa saya bahwa: psikologi bukan agama, agama bukan psikologi. Karena Psikologi adalah ilmu tentang proses-proses mental manusia, dan perilaku, sedangkan agama adalah system kepercayaan dalam kehidupan tentang apa yang benar dan salah. Apakah dalam ilmu tidak ada belief sistem? Ada. Apakah dalam agama tidak ada ilmu? Ada. Lalu apakah berarti agama tidak perlu ilmu, dan ilmu tidak perlu agama? Saya serahkan itu pada perjalanan keilmuan dan perjalanan keberagamaan Anda, itu pilihan untuk menjadi Teis, Ateis, Gnostik, Agnostik. Namun bagi saya, ilmu adalah syarat untuk memahami agama dan menyempurnakan kehidupan beragama.
Ilmu pengetahuan (sains), bahkan masih terus-menerus diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para ilmuwan, berdasarkan pendekatan filsafat masing-masing (filsafat Realisme/Materialis, Idealism, Relativism) sebagaimana agama diperdebatkan berdasarkan pendekatan dan tafsir para ulama dan asatidznya masing-masing. Saya menyukai diskursus berdebat dan berdiskusi), bukan karena ingin menang-kalah, tetapi untuk tetap rendah-hati (tahu bahwa saya tidak tahu) dan mengerti sudut pandang orang lain. Persoalan yang kemudian muncul ketika saya belajar psikologi dan saya sebagai seorang muslim, adalah bahwa psikologi yang berasal dari filsafat Barat, Islam berasal dari Alquran yang para filsufnya pun memiliki pijakan berpikir sendiri-sendiri (ingat perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd). Jangan khawatir, nanti akan ada orang yang mengkafir-kafirkan orang yang belajar psikologi, dengan alasan psikologi berasal dari filsafat Barat, dan mari ditanggapi dengan nyengir saja.
Berdasarkan dua paragraf diatas kita mengerti bahwa semua produk manusia, pastilah berasal dari ilmu-atau filsafat ilmu yang berbeda, semua produk agama (tafsirnya) berasal dari para ulama yang berbeda. Maka, -setidaknya bagi saya- memahami bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah keniscayaan untuk berpikir, memahami dan memberikan suara atas ilmu dan tafsir agama.
Nah, bagaimana dengan RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual. Jika Anda belajar filsafat Barat (paling tidak pernah membaca, walau sedikit), Anda akan mengetahui bahwa secara implisit RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual berangkat dari Filsafat Materialisme-Liberalis-Humanisme, tentang manusia –khususnya tubuh dan seksualitasnya. Bahwa tubuh adalah benda, bahwa tubuh adalah milik manusia, bahwa manusia berhak untuk menentukan bagaimana tubuhnya diperlakukan.
Pasal 1: Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial-budaya, dan atau politik.
Mari kita pretelin satu-satu:
1. Kekerasan seksual adalah PERBUATAN merendahkan, menghina, menyerang atau atau perbuatan lainnya terhadap:
2. Obyek dari kekerasan seksual adalah:
a. TUBUH
b. HASRAT SEKSUAL
c. FUNGSI REPRODUKSI
3. Dalam konteks/kondisi: Secara Paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, orang tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas, ketimpangan relasi kuasa, relasi gender
4. Akibatnya: penderitaan, kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial-budaya dan atau politik
Bagi saya definisi : Kekerasan seksual terhadap TUBUH, masih bisa berterima. Tidak seorang pun boleh melakukan kekerasan terhadap tubuh saya tanpa kecuali (bahkan suami saya, kecuali saya rida (mau, senang, oke, bahagia), dan sebaliknya saya tidak boleh melakukan kekerasan bahkan pada suami saya, kecuali dia rida)
Bagaimana Kekerasan terhadap: HASRAT SEKSUAL?
Mari kita definisikan hasrat seksual: dalam KBBI, frasa ini tidak menjadi 1 lema, melainkan 2 lema (Hasrat dan Seksual). Hasrat yang berarti keinginan, dan seksual berarti berkenaan dengan seks, berkenaan dengan persetubuhan laki-laki dan perempuan.
INI YANG PROBLEMATIK RUPANYA.
Pertanyaan kritis:
1. Apa saja wujud hasrat seksual? : Bersetubuh? Masturbasi? Nonton porno? Atau apa?
2. Bagaimana sebuah tindakan kekerasan bisa ditimpakan pada hasrat seksual?
Tafsirnya bisa macam-macam:
1. Si C sedang berhasrat seksual (berkeinginan seks, berkeinginan melakukan persetubuhan), lalu si K melakukan kekerasan terhadap hasrat si C
Bentuk kekerasannya apa?
1. Merendahkan si C yang sedang berhasrat?
2. Menghina si C yang sedang berhasrat?
3. Menyerang si C yang sedang berhasrat?
Apakah ada tafsir dan cara analisis lain selain ini?
Jika dikembalikan pada filsafatnya yang materialis-liberalis-humanis maka pendekatan ini menjadi berterima. Tapi berdasarkan falsafah lain, dalam hal ini dikontestasi dengan Islam yang berpendapat: Tubuh adalah amanat dari Allah yang harus diperlakukan sebagaimana aturan-Nya, maka menjadi tidak berterima.