KRITIK KARYA, FLP.or.id – Menurut penulis Nurbaiti Hikaru yang sempat menjalani pembinaan di FLP Bandung, Pengadilan Penulis mengingatkannya kepada acara rutin Kamisan FLP Cabang Bandung. Kegiatan dimaksud pada masanya biasa diadakan di selasar Masjid Salman ITB. “Salah satu tradisi Kamisan dulu ada pembantaian karya. Terus kitanya malah senang kalau karya kita yg dibantai. Kalau aku ambil baiknya, orang pada sibuk, masih pada sempat baca karya kita, baik hati kan,” kata wakil Indonesia dalam workshop Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Novel tahun 2016 itu pada Selasa (26/12/2017).
Bertindak sebagai Hakim yakni M. Irfan Hidayatullah, Jaksa Penuntut Topik Mulyana, serta Pengacara Dedi L. Setiawan dan M. Dzanuryadi. Ada sebanyak 8 terdakwa dihadapkan ke meja tulis yaitu HD Gumilang, Robi Afrizan Saputra, M. Ginanjar Eka Arli, Asep Dani, Sri Wahyuni Sastradiharjo, Aya NH, Tuti Frutty, dan Windra Yuniarsih.
Itulah susunan petugas dalam Pengadilan Penulis 2017. FLP Wilayah Jawa Barat mencatatkan sejarah dengan menghidupkan kegiatan tersebut. Persidangannya diselenggarakan pada Sabtu, 24 Desember 2017 di Sekolah Alam Jatinangor. Kegiatan itu diadakan di antara rangkaian acara Musyawarah Wilayah ke-5 FLP Jabar. Kendati semula direncanakan berlangsung selama 1 jam, tetapi serunya persidangan membuat pengadilan digelar hingga lebih dari 2 jam.
Untuk kepentingan penyebarluasan khazanah kepenulisan, Notulensi Pengadilan Penulis akan dimuat secara berseri di laman ini. Pertama dimulai dengan terdakwa H.D. Gumilang dan karyanya yang mengulas sejarah nabi. Kedua, ditampilkan catatan Pengadilan atas penulis Robi Afrizan Saputra dan buku “Sedang Memperjuangkanmu”. Ketiga, merupakan isi notulensi atas karya M. Ginanjar Eka Arli.
Catatan untuk M. Ginanjar Eka Arli dan Atas Nama Buku: Memoar Teladan Para Pembelanja Buku
Hal pertama yang ditanyakan oleh Jaksa adalah Mengapa mengambil judul Pembelanja, bukan Pembeli? Penulis tidak dapat berkomentar banyak karena hal tersebut sebetulnya ditentukan oleh penerbit dan penggagas buku ini. Karena itu, jaksa tidak memperpanjang masalah tersebut karena, lagi-lagi, hal tersebut terkait dengan editor seperti penamaan buku Selayang Pandang Sirah Nabawiyah kang HD Gumilang yang telah diungkap sebelumnya.
Jaksa lalu bertanya kembali, Mengapa kita harus membaca buku ini?
Penulis menjawab karena buku ini memuat pengalaman-pengalaman empirik para pembelanja buku di negeri ini dari berbagai aspek, ada tentang sosial, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini juga terkait kampanye literasi agar orang-orang mulai membeli buku, tidak hanya membaca dari hasil pinjam saja.
Hal ini lalu dipermasalahkan oleh jaksa. Apakah membaca buku memang harus membelinya terlebih dahulu? Lalu, untuk apa ada perpustakaan, taman baca masyarakat, dan lain sebagainya? Apakah buku memang hanya menjadi bisnis dan terkait finansial semata?
Memang, penerbitan buku pasti selalu berkaitan antara penerbit, penulis, dan pembeli (pembaca). Hakim pun menegaskan, kegelisahan perbukuan dalam tradisi dan budaya itu bagus. Namun, kalau buku hanya dikaitkan dengan industri saja, maka hal tersebut bisa menjadi penyakit. Pernyataan Keharusan dalam berbelanja itu harus dikritisi. Baiknya, kita memang bisa mengambil sudut pandang sosiologis antara buku-penulis-penerbit-dan pembaca.
Jangan bangga dengan jumlah buku yang banyak, karena sekarang tidak ada perbandingan yang jelas tentang hakikat memiliki tersebut. Buku-buku saat ini sudah dapat dilipat dalam laptop ataupun gadget kita. Bisa saja orang lain jarang menenteng buku, di rumahnya tidak ada rak buku, dan terlihat asik pada gadget-nya. Padahal, koleksi bacaannya disana sudah ribuan, melebihi jumlah buku dan bacaan yang pernah kita miliki.