Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Mantra Penawar Bisa

2013-year-of-the-snake-list_64139_600x450
Sumber: news.nationalgeographic.com

Tadi malam aku bermimpi yang sangat aneh. Aku sedang berjalan di depan rumah ketika seekor ular berwarna coklat menghentikan langkah kakiku. Semula tubuhnya hanya sebesar jempol kaki dengan panjang tidak lebih dari sejengkal orang dewasa. Ular yang biasa dikenal oleh orang kampungku dengan sebutan Ular Bodoh. Disebut begitu karena biarpun disenggol kaki, kecuali terinjak, ia tidak akan bereaksi. Diam seperti mati. Meski begitu, kalau menggigit bisanya terkenal mematikan dan ditakuti oleh warga pesisir di sekitar tempat tinggalku.

Saat aku berusaha mengusirnya dengan sebuah kayu, tiba-tiba saja tubuhnya membesar dengan cepat. Dalam sekejap ukuran kami menjadi seimbang. Matanya menyala ketika menatapku. Melihat bahaya aku berusaha berlari ke dalam rumah. Berusaha berteriak memanggil ayah. Tetapi suaraku terkunci di kerongkongan. Kedua kakiku lunglai. Si Ular yang meraksasa terus mendekatiku dengan cepat. Mulutnya terbuka siap menelanku. Aku menjerit sekali lagi …

Saat itulah aku terbangun dari tidurku. Sekujur tubuhku basah oleh keringat dan jantungku berdenyut lebih cepat. Aku beristighfar beberapa kali menenangkan diri. Begitu kuatnya pengaruh mimpi tersebut karena selama ini aku jarang bisa mengingat mimpiku sendiri. Mungkin karena itu saat bersiap diri berangkat ke sekolah aku masih terbawa perasaan cemas.

Mungkin aku cemas dengan mimpi tersebut. Tapi ayahku tidak. Saat kuceritakan mimpiku padanya, ia bahkan tertawa lebar.

“Kata orang tua dulu, kalau anak gadis mimpi digigit ular itu artinya akan ada seorang pemuda yang datang melamar. Tapi masa’ sih anak Ayah ini masih sekolah sudah buru-buru mau menikah?” canda Ayah sambil membawa setumpuk ikan asin Otek dalam keranjang untuk dijemur di pekarangan.

“Ih, siapa yang mau menikah cepat!” sahutku tersipu dan menyusulnya ke pekarangan sambil membantunya membawakan keranjang yang satu lagi.

“Sudah, kamu pergi sekarang. Nanti terlambat sampai sekolah. Hari ini ada ulangan ‘kan?” perintahnya ketika melihatku masih berlambat-lambat. Seperti berat rasanya meninggalkannya sendirian di rumah.

Sejak ibuku meninggal karena serangan darah tinggi 5 tahun lalu Ayah membesarkan aku dengan bekerja keras. Seperti kebanyakan warga Kecamatan Pantai Lunci, jika tidak melaut, ia mengasinkan sebagian ikan hasil tangkapannya dan menjualnya ke penampung dari Sukamara. Tapi meski bekerja keras, ia selalu punya waktu untuk berbagi cerita denganku. Biasanya malam hari setelah shalat Isya, sebelum letih dan lelap menyergap.

Seharian itu aku tidak begitu bisa menyimak pelajaran dengan baik. Mimpi mengerikan tentang seekor ular raksasa yang ingin menggigitku terus membayang di mataku. Dalam saat yang sama aku selalu teringat Ayah di rumah. Dan itu membuatku gelisah. Tak ada yang dapat kulakukan selain berdoa semoga ia selalu dalam perlindungan Yang Maha Kuasa.

Mendung bergulung mengantar kepulanganku ke rumah. Khawatir kehujanan di tengah jalan aku mempercepat langkah kakiku menyusuri jalan pengerasan yang biasa kulewati. Beberapa menit berjalan aku sampai di rumah.
Di rumah kulihat beberapa orang tetangga berdiri di halaman.
“Ayah …!” jeritku menyibak kerumunan.

Orang-orang menyisih. Kulihat Ayah bersandar di sebuah pondok yang dibuat sekedarnya untuk tempat bernaung.
“Ayah kenapa?” tanyaku pada orang-orang yang berkerumun.

“Ayah digigit Ular Bodoh. Ayah kurang hati-hati. Sewaktu melihat mendung Ayah cepat-cepat memungut ikan asin yang dijemur agar tidak kehujanan. Siapa sangka diantara tumpukan ikan itu ada Ular Bodoh,” sahutnya sambil menunjukkan jari manis sebelah kanannya yang dibungkus perban.

“Sudah dibawa ke Pak dr. Azis?” tanyaku cemas sambil menyodorkan segelas air yang disiapkan orang-orang yang membangun pondok sederhana tersebut. Sebagai warga pesisir aku tahu persis bagaimana ganasnya racun dari ular yang ukurannya tidak lebih dari jempol kakiku itu.

Ayah menggeleng lemah.

“Ayahmu sudah dimantrai sama Pak Nawir!” sahut Pak Ujang tetangga sebelah rumah.

Hah? Mantra?

“Ya, mantra penawar bisa ular. Tangan ayahmu yang digigit sudah pula ditaburi abu daun nipah sebagai serapah ular itu,” paparnya seperti seperti seorang pakar biologi yang menjelaskan cara menanggulangi gigitan ular.

Beberapa waktu kemudian para tetangga pulang ke rumah masing-masing. Tinggal aku dan ayahku yang tertinggal di pekarangan. Tapi ayah menolak saat kuajak masuk ke dalam rumah. Ternyata itu pantangan yang diyakini oleh orang-orang di kampungku selama ini. Katanya kalau ada yang dipatuk oleh ular, maka ia tidak boleh masuk ke dalam rumah selama beberapa hari sampai sembuh.

“Ayah tidak naik ke rumah supaya racunnya tidak ikut naik sampai ke jantung!” katanya menirukan pesan dari Pak Nawir.

Jadilah siang itu kami berkemah di pekarangan. Sore harinya selesai mandi aku kembali ke kemah menemani Ayah. Kami bercerita seperti biasa. Tapi kecemasan kembali menyergapku ketika melihat lengan kanannya terlihat bengkak membiru sampai mendekati siku.

“Ini … Ayah …!” sulit bagiku menyelesaikan kalimatku karena air mataku berhamburan tanpa dapat dicegah.

“Jangan cemas, Luh. Percayalah, Ayah tidak apa-apa!” bujuknya sambil menyandarkan tangannya di atas kepalaku karena sekarang tangannya tak bisa dipakai untuk mengusap seperti biasa.

“Kenapa kita tidak ke rumah sakit saja, Yah?” desakku yang tidak bisa mengusir rasa cemas.

Ayah cuma menjawab dengan senyum yang nampak patah. Uangnya dari mana? Itulah tafsir yang dapat kubaca dari senyumnya yang getir. Serum anti bisa ular hanya tersedia di Rumah Sakit di Sukamara. Ketiadaan listrik di tempat kami menyebabkan serum yang harus selalu tersimpan di ruang pendingin tersebut tak tersedia di Puskesmas kecamatan. Dapat kubayangkan berapa biaya yang harus kami tanggung kalau seandainya ayah harus dirawat di rumah sakit Sukamara. Setidaknya mungkin untuk 2 hari lamanya.

Aku teringat pada Arif teman sekelasku di SMP. Hampir setahun lalu ia digigit ular yang sama ketika bermain bola di lapangan dekat kecamatan. Keluarganya juga tidak mampu seperti kami. Untuk meringankan biaya mereka segera mengurus surat keterangan tidak mampu seperti yang disarankan bagi orang-orang miskin seperti kami. Malang baginya itu hari minggu, kantor kecamatan sunyi seperti kuburan. Sebelum surat sakti itu bisa didapat, semuanya sudah sangat terlambat. Racun sang ular bergerak lebih cepat dari waktu yang mereka miliki. Karena itu bagi orang-orang seperti kami, mantra adalah pilihan yang wajar walau terlalu rapuh untuk menggantungkan harapan.

Selepas Isya, perkemahan kami kedatangan tamu. Pak Nawir datang dengan membawa sebotol air untuk diminumkan pada ayah satu jam sekali. Tidak banyak basa-basi, ia langsung pergi begitu melihat kondisi ayah yang tidak lebih baik dari siang tadi.

Malam itu meski ayah mendesakku untuk tidur di dalam rumah, aku bersikeras membantah. Kuambil beberapa bantal dan selimut dari dalam rumah dan memilih tidur di sampingnya di dalam tenda.

“Kalau di dalam, Galuh pun tidak akan bisa tidur memikirkan ayah bermalam di luar rumah seperti ini,” bantahku. Akhirnya ia membiarkan aku menggelar perlengkapan yang kubawa di sampingnya.

Sekitar jam sepuluh malam cuaca mulai berubah tak ramah. Mendung yang sejak sore menggantung mulai jatuh ke bumi. Mulanya rintik gerimis, kemudian menderas. Angin menderu lebih kencang dari biasanya. Dingin yang sampai ke sini membawa isyarat kedatangan badai.

Kami basah kuyup berdua. Tubuhku yang kecil tak dapat memagari ayah dari terpaan hujan. Di bawah temaram cahaya lampu badai kulihat ayah menggigil dengan wajah pucat membiru. Seruanku yang memanggilnya tak dihiraukan sama sekali kerena kesadarannya tak penuh lagi.

Ya Allah …, haruskah aku cuma pasrah dan menyerah?

Biarpun sudah basah kukenakan jaket sekedar penahan dingin. “Ayah …, saya ke dr. Azis!” bisikku di telinganya sebelum menghambur meninggalkannya sendiri di tenda.

Dengan senter yang tidak terlalu terang aku berlari menembus hujan. Jalan pengerasan yang licin dan berlumpur menghalangi kecepatanku berlari. Beberapa kali aku terpeleset hingga pakaian dan tubuhku basah dan berlumpur. Tapi aku tidak peduli. Aku harus bertemu dr. Azis di Puskesmas. Bahkan kalau harus dibawa ke rumah sakit di Sukamara aku sudah tidak lagi memikirkan dari mana biayanya.

Rumah dokter terlihat gelap. Tapi ini harapanku satu-satunya. Terburu-buru aku menggedor pintu rumahnya. Berusaha mengalahkan deru angin dan raung mesin generator di belakang rumahnya.

Lampu rumah menyala dan daun pintu terbuka. Sebuah wajah ramah muncul di depan pintu. Dr. Azis. Alhamdulillah

“Galuh? Ada apa, Nak? Ayo masuk!” serunya begitu melihat aku menggigil kedinginan di depan pintunya.

Aku menggeleng. Bibirku bergetar mencoba melawan dingin dan kecemasan. “Ayah, Dok …!” cuma kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

“Kenapa Ayahmu?” tanyanya sambil menyodorkan segelas air yang diambilnya dari dapur.

“Ayah digigit ular!” seruku setelah mulai bisa mengatasi dingin. Mendengar itu ia langsung memasang jas hujan yang tergantung di pintu. Dengan menggunakan ambulan ia mengantarkanku pulang ke rumah.

“Kapan kejadiannya?” tanyanya padaku di mobil.

“Pagi tadi di depan rumah,” desisku sambil menggigil.

“Masya Allah …, kenapa tidak cepat-cepat dibawa ke rumah sakit?” cetusnya kaget mendengar begitu lambatnya penanganan korban.

Aku tidak menyahut. Di luar badai mulai reda. Kami sudah tiba di rumah.

“Buka pintu belakang!” perintahnya padaku sementara ia berlari mendatangi ayah dalam tendanya yang porak poranda. Pintu belakang mobil telah kubuka. Kususul dr. Azis yang masih berjongkok di samping ayahku. Memeriksa dengan stateskop-nya.

“Bagaimana, Dok?”

Dokter menatapku sekilas kemudian membuang pandangannya kembali ke arah ayah. Perlahan bahunya yang kukuh runtuh. Tangannya terulur mengusap mata ayah yang masih setengah terbuka.

“Innalillahi wainna ilaihiraajiuun …!” desisnya lemah. Itulah ucapan terakhir yang kudengar sebelum kedua tungkaiku terkulai karena tak bisa lagi menyangga berat tubuhku.

“Ayahmu terlambat ditawar, atau tak sengaja melanggar pantang!” begitu kata Pak Nawir yang kudengar dari orang-orang yang pagi itu bertakziah ke rumah. Sepeninggal mereka aku melemparkan botol berisi air mantra penawar bisa itu ke belakang rumah.

Sukamara, 11 Mei 2012

*Ditulis oleh Ibnu H.S.

Ibnu H.S. adalah nama pena dari Deddy Setiawan. Tinggal di Sukamara, Kalimantan Tengah.  Staf Divisi Karya Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This