Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Kita Perlu Konsistensi Moral

asuransi karyawan 2Saat berkunjung ke Jepang, ada dua hal menarik yang diperoleh Koentjaraningrat dari sarjana-sarjana di sana terkait sikap mental orang Indonesia, yaitu: tidak mau bertanggungjawab penuh terhadap tugas yang disanggupinya dan kurang setia pada instansi yang diikutinya (Marzali, 2007: 136).

Sikap mental negatif—atau bisa disebut sebagai ‘kelemahan moral’—ini pernah diungkapkan juga oleh Mochtar Lubis (1977) ketika menulis ciri-ciri pokok manusia Indonesia yang menurutnya punya sifat seperti hipokrit, enggan bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah.

Jika memperhatikan berita di media massa, sebagai salah satu media kontrol sosial, rupanya tesis Lubis dan sarjana-sarjana Jepang yang dikutip Koentjaraningrat itu masih bisa dirasakan kebenarannya hingga sekarang.

aaa

Tidak Bertanggungjawab Penuh

Orang Indonesia, di mata sarjana Jepang, kata Koentjaraningrat dalam salah satu tulisannya, tidak mau bertanggungjawab penuh terhadap satu tugas yang telah disanggupinya. “Setelah dia menyatakan sanggup untuk memikul satu pekerjaan, maka pekerjaan itu dilakukannya dengan semau-maunya sendiri tanpa tanggungjawab penuh,” tulis Marzali dalam buku Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jika terjadi kesalahan atau kegagalan dalam pekerjaan tersebut, maka kesalahan dan kegagalan itu ditimpakan kepada orang lain alias dicarikan kambing hitam pada diri orang lain.

Menurut Amri Marzali, jika seseorang telah menyatakan sanggup melaksanakan suatu pekerjaan, maka seharusnya dia bertanggungjawab atas keberhasilan pekerjaan tersebut. Jika perlu, demi keberhasilan tersebut, dia harus sanggup mengorbankan dirinya sendiri. Socrates (469-399 SM) misalnya, berani menghadapi hukuman mati karena taat pada konstitusi Athena, demi menegakkan keyakinan (belief) dan prinsip-prinsip (principles) yang diyakininya benar.

Dalam sejarahnya, anak dari Sophronicus yang masyhur kekuatan intelektualnya sebelum usia 40 itu dihukum mati karena dituduh merusak kaum remaja dan dianggap menyebarkan ajaran yang salah. Padahal, kepada anak muda dan khalayak, Socrates mengajarkan tentang pengetahuan: bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan (Solomon dan Higgins, 2010: 31; Titus, Smith, dan Nolan, 1984: 16; Gie, 2012: 31).

Jika saat membaca tulisan ini kita baca juga berita-berita di surat kabar, maka pasti kita menemukan perihal tindakan tidak bertanggungjawab penuh itu. Dalam pembangunan jalan dan jembatan misalnya, belum cukup satu atau dua tahun, jalanan atau jembatan tersebut sudah retak-retak. Apalagi jika disertai hujan turun agak besar, akan terlihat lubang-lubang yang menganga.

 Begitu juga pembangunan gedung-gedung, dan berbagai fasilitas, pada bagian tertentu ada saja kerusakan ‘tidak masuk akal’ yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tidak terkecuali dengan masalah toilet—yang kelihatannya sepele tapi cukup penting dalam hajat hidup kita—apakah itu di bandara atau di kantor-kantor pemerintah, belum apa-apa sudah rusak. Beberapa hal ini menjadi bukti bahwa ada yang tidak beres dalam sikap tanggungjawab kepada pekerjaan yang diembannya. Berarti, pendapat orang Jepang di atas, memang ada benarnya, karena faktanya ada.

aaa

Kurang Setia

Orang Indonesia juga dianggap kurang setia kepada instansi yang diikutinya. Amri Marzali memberi contoh, “Jika dia murid sebuah SMU, maka ia kurang setia kepada sekolah tersebut. Apabila dia bekerja pada sebuah perusahaan, maka dia kurang setia kepada perusahaan tersebut.” Kurang setia bermakna bahwa kesetiaannya tetap ada, akan tetapi masih kurang, belum maksimal.

Harusnya manusia yang baik, mengikut kata orang Jepang—sebagai contoh saja sebagaimana mengutip Amri Marzali—adalah manusia yang setia secara total terhadap kesatuan sosial, organisasi, atau instansi yang sudah dipilih untuk diikutinya (hlm. 136). Dan memang betul, di berbagai budaya—tak terkecuali kita di Indonesia ini—kita lebih senang kepada orang yang loyal dan punya integritas kepada pekerjaannya. Tampaknya ini memang sudah naluri alamiah, bahwa kita senang dan suka pada totalitas.

Masalah kesetiaan yang totalitas ini, kita bisa belajar dari sejarah. Dalam sejarahnya, dulu kejayaan nusantara kita berfokus pada maritim, akan tetapi setelah itu kita tidak lagi berfokus pada maritim dan itu membuat kita lemah. Pada tahun 1954, Kepala Staf Angkatan Perang RI TB. Simatupang menulis bahwa sejarah kejayaan nusantara ini tidak lepas dari kejayaan di laut. Gajah Mada misalnya, ketika ia bertekad menyatukan nusantara, ia juga berfokus pada armada laut yang kuat. Sedangkan kita jadi bangsa yang mundur, itu karena kita terdesak dari lautan.

 Dalam buku Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, TB. Simatupang  menulis, “Kemunduran bangsa kita dimulai tatkala pelayaran dan pergadangan kita terdesak dari lautan, dan apabila kita hendak menjadikan zaman kemerdekaan kita sekarang menjadi zaman kejayaan yang baru, maka kita haruslah mengembalikan bangsa kita ke laut” (Simatupang, 1981: 31).

 Belakangan ini, ide Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim adalah baik untuk meningkatkan kejayaan maritim kita, olehnya itu maka pemerintah kita perlu serius dan setia untuk mengembalikan dan membuktikan “Jalesveva Jayamahe”—di laut kita berjaya.

Kesetiaan mengawal ide ini perlu sekali, dan jangan sampai ketika pemerintahan Jokowi berakhir lima tahun ke depan, ide ini mentah lagi dan kembali ke titik yang tidak berarti apa-apa.

aaa

Perlu Konsistensi Moral

Masalah bangsa kita yang multidimensional ini disebut-sebut tidak lepas dari moralitas. Berbicara masalah moralitas, mengutip Immanuel Kant (1724-1804), tidak bisa dilepaskan dari konsep kehendak baik (good will) yang terkait dengan prinsip-prinsip moral yang masuk akal dan memandu aktivitas kita.

Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins (2010), dalam buku mereka, The Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, menulis bahwa moralitas memberikan kita aturan bagaimana kita hidup dengan orang lain (morality gives us the rules by which we live with other people); menjelaskan kepada kita apa saja yang boleh dan yang tidak boleh; dan memandu kita dalam pengambilan keputusan (hlm. 244, 250, dan 257). Artinya, jika seseorang berperilaku yang berlawanan dengan moralitas, maka besar kemungkinan ada masalah dalam wilayah moralitas.

Moralitas terkait sekali dengan konsistensi. Seorang politisi yang kemudian menjadi pejabat ketika diambil sumpah dengan kitab suci yang diyakini kebenarannya itu. Berjanji untuk menjalankan aktivitasnya dengan baik dan benar.

Akan tetapi ketika waktu berjalan, konsistensi pun diuji, dan jika tidak punya moralitas dan ketahanan personal yang baik, maka bisa saja ia menjadi pribadi yang mementingkan dirinya sendiri (selfishness) dan jatuh pada lembah penyalahgunaan wewenang dan kuasa. Artinya, semua orang baik—atau yang secara zahir terlihat baik—tidaklah bisa disebut baik sampai konsistensinya diuji dengan berbagai problema, terutama para politisi dengan mentalitas yang disebut Hannah Arendt (1958) sebagai “animal laborans” (yang berobsesi pada siklus produksi-konsumsi sangat dominan dan berorientasi menjadikan politik sebagai mata pencaharian utama) yang sangat rentan untuk melakukan tindakan korupsi (Haryatmoko, 2014: 137).

Maka saat ini, untuk menjaga gerbang moralitas tersebut, kita butuh: konsistensi antara ucapan dan tindakan, kata dan laku. Ya, perlu keselarasan antara ucapan (dan tentu saja janji-janji saat kampanye) dan realisasi ketika telah sukses mendapatkan hasrat hidup yang baik (good life) yang dalam pandangan Friedrich Nietzsche (dalam Solomon dan Higgins, 2010) disebut sebagai “kehendak untuk berkuasa” (will to power).

Sejujurnya, kita semua pasti malu dengan perbuatan anggota dewan kita yang karena perbedaan pendapat sampai mendorong meja yang mengakibatkan kerusakan—yang walaupun kecil, itu sesungguhnya besar—karena terkait dengan mentalitas dan moralitas. Tentu saja ini sikap yang tidak konsisten dan menjatuhkan marwah pribadi dan lembaga sebagai wakil rakyat yang terhormat. Konsistensi dan penguasaan diri (self-control) pastinya diperlukan oleh semua kita—apakah kita berprofesi sebagai pejabat, dosen, guru di sekolahan, dosen di kampus, mahasiswa, siswa, dan apapun atribut sosial yang kita sandang.

Konsistensi membawa kita pada sikap tanggungjawab penuh pada apa yang kita pikul, dan setia pada apa-apa yang telah kita berjanji untuk setia.

aaa

Tulisan pernah dimuat di Malut Post, 22 November 2014.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This